Tradisi tua itu kini terus berlanjut. Sekelompok kiai Nahdlatul Ulama (NU) berkumpul di kantor Kramat Raya, Jakarta, Kamis malam pekan silam. Mereka mencermati sebuah persoalan serius: Ketua Umum Pengurus Besar NU, Abdurrahman Wahid, santer dicalonkan sebagai presiden RI keempat. Para kiai se-Jawa dan Madura itu menemui Gus Dur untuk tabayyun, konfirmasi, juga bermusyawarah seputar dukungan yang pertama kalinya terjadi buat seorang santri NU itu.
Musyawarah macam ini, untuk pelbagai urusan dunia, termasuk politik, memang kebiasaan lama NU yang diperkenalkan K.H. Hasyim Asy'ari dan sepupunya, K.H. Wahab Chasbullah, seorang santri pengelana yang masyhur—dua dari founding fathers NU—jauh sebelum paruh pertama abad ke-20. Maka, belasan kiai khos (waskita) itu pun begitu khusyuk mendengar uraian si Gus, cucu K.H. Hasyim Asy'ari dan ''putra mahkota" pesantren Tebuireng Jombang, yang dicalonkan resmi oleh Fraksi Reformasi—terdiri dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Keadilan.
Pertemuan tertutup selama satu jam itu diakhiri dengan sebuah pengumuman: Gus Dur tetap mencalonkan diri sebagai presiden. Namun, dukungan PBNU baru akan diputuskan para kiai satu hari sebelum pemilihan. Apakah ini semata-mata sikap hati-hati khas NU tanpa sebuah pretensi politis? Tidak terlalu mudah menjawabnya.
Pencalonan Gus Dur bermula dari Poros Tengah, aliansi partai-partai Islam yang mendapat kursi pemilu lalu dengan Amien Rais sebagai penggerak. Tujuannya, meredam suhu panas akibat polarisasi pendapat antara dua calon lainnya, Habibie dan Megawati. Ide ini didengar para kiai NU bukan tanpa sikap skeptis. Unsur kemuhammadiyahan Amien dan keraguan terhadap integritas beberapa tokoh Poros Tengah menjadi alasan. Lebih dari itu, para kiai cenderung menempatkan Gus Dur pada tataran yang lebih spiritual, yakni menjadi bapak bangsa, the best son of the land, tanpa harus bersentuhan langsung dengan kekuasaan.
Musyawarah kiai NU se-Jawa di Pondok Pesantren Langitan di Tuban, Jawa Timur, pimpinan K.H. Abdullah Faqih—seorang kiai sepuh NU yang sangat dihormati—pekan pertama September silam, jelas menyuratkan hal itu. Mereka memutuskan Gus Dur sebaiknya tak usah menjadi presiden. Ini bukan keputusan main-main. ''Suara langit" itu diserukan setelah mereka melangsungkan salat istikarah, ritual doa dalam sembahyang yang dilaksanakan sebelum menentukan sebuah pilihan penting.
Meraba isyarat langit ini ternyata bukan perkara sepele. Cukup pelik juga rasanya. Apalagi ada tiga kubu pesantren yang dijadikan tolok ukur untuk menangkap sinyal ketuhanan: Langitan (Jawa Timur), Rembang (Jawa Tengah), dan Buntet (Jawa Barat). ''Masalahnya, tak semua kiai pesantren tadi punya isyarat yang persis sama. Ketiganya berbeda-beda, bahkan berbenturan," kata seorang sumber TEMPO di NU. Perbedaan napas dari pesan itulah juga disampaikan dan dibahas bersama Gus Dur.
Masalahnya makin rumit ketika sinyal khas ini dibenturkan dengan realitas politik, yang juga punya ''ritual" tersendiri dan kadang menuntut kompromi. Hasil Sidang Umum MPR dan DPR menunjukkan: Poros Tengah bukan lagi aliansi enteng-entengan. Dalam waktu singkat mereka tampil sebagai kekuatan penentu. Ketua PAN Amien Rais, yang partainya hanya meraih 7 persen suara dalam pemilu lalu, terpilih menjadi Ketua MPR. Adapun Akbar Tandjung, bos Partai Golkar, yang menyimpan begitu banyak sejarah hitam Orde Baru, berjaya sebagai Ketua DPR.
Bagi Gus Dur, kemenangan Poros Tengah mau tak mau menuntutnya berpikir dan ''bermain" lebih taktis. Karena itu, sampai saat ini pencalonan Gus Dur masih tetap dengan dua versi. Ia akan maju—walau tanpa dukungan PBNU—jika bursa akhir hanya mencatat satu calon presiden. Dalihnya adalah menjaga kelangsungan demokrasi. Versi kedua, Gus Dur bisa terus maju, tak peduli berapa kandidat yang bersaing, jika PBNU memberi restu pada 19 Oktober atau sehari sebelum pemilihan presiden.
Tampaknya, di sinilah ujian itu ditentukan, bukan saja bagi Gus Dur dan para kiai. Mereka tampaknya hati-hati menafsirkan realitas politik tersebut—tanpa melepaskan kewaskitaan ''pesan-pesan langit". Buktinya? Pertemuan 15 kiai khos itu tidak lagi ditutup dengan sebuah seruan setegas Kesepakatan Langitan. ''Pencalonan presiden menyangkut masalah negara yang besar. Para kiai tidak bisa begitu saja memutuskan ya atau tidak. Akan ada pembahasan selanjutnya hingga sidang umum," ujar K.H. Mustofa Bisri dari Rembang.
Habibie, Megawati, dan Gus Dur adalah tiga kandidat presiden negeri ini, paling tidak hingga pekan lalu. Khusus bagi Gus Dur, langkah pamungkasnya akan ditentukan oleh dua hal: suara para kiai dan suara hatinya sendiri. Ia bisa maju setelah PBNU memberi restu. Ia bisa juga ''menolak" restu para kiai dan ganti meneruskan restu itu ke Megawati. Atau, ia tetap memilih maju—tanpa dukungan PBNU sekalipun.
Apa pun pilihannya, Gus Dur harus lebih awas menjaring bisikan di atas ''langit"-nya sendiri, sebelum menutup langkah dengan caranya yang khas: memberi kejutan pada saat-saat akhir.
Hermien Y. Kleden, Ali Nur Yasin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini