PERSOALAN, 900 orang bekas buruh proyek LNG Bontang (Kalimantan
Timur) menghangat lagi. Setahun sudah usia tuntutan mereka namun
tak ada titik terang akan berhasil. "Betul-betul kami
dipermainkan seperti bola saja," ujar Hantong yang mewakili
rekan-rekannya.
Hantong memang sudah ke sana ke mari mengajukan tuntutan
terhadap CV Suba, karena pihak terakhir ini belum membayar uang
makan, perumahan, dan uang cuci pakaian, sebagaimana tercantum
dalam kontrak kerja. Karena masa kerja mereka cukup lama
(sekitar 2 tahun) nilai uang yang mereka tuntut lumayan juga
besarnya. "Tiap orang paling sedikit setengah juta rupiah," ujar
seorang buruh sambil setengah berkhayal.
Hantong cukup gigih memperjuangkan nasib rekan-rekannya, sampai
ia menghadap menteri Nakertranskop Prof Subroto. Tetapi kenapa
belum juga? Dari jalan cerita yang dikumpulkan wartawan TEM PO
berikut ini, tampaknya memang terdapat keruwetan:
Sebagai kontraktor membuat pabrik gas alam cair itu, Bechtel
tidak pernah mencari tenaga kerja sendiri. Perusahaan ini
menunjuk PT Calmarine sebagai "tukang cari buruh" dengan komisi
10% dari penghasilan buruh yang didapat. Karena buruh yang
dipesan Bechtel dari berbagai jenis keahlian, Calmarine
kadang-kadang harus mencari sampai ke Balikpapan, bahkan sampai
Jakarta. Karena itu Calmarine menyiapkan tiga jenis blanko surat
perjanjian: "Perjanjian Jakarta," "Perjanjian Balikpapan" dan
"Perjanjian Bontang."
Dalam perjanjian "Jakarta" dan"Balikpapan" tercantum bahwa buruh
memperoleh uang makan, uang perumahan, pengganti cuci dan uang
transpor dari dan ke daerah asal. Sedang dalam perjanjian
"Bontang", karena dianggap mereka tinggal di kampungnya sendiri
tidak memuat berbagai macam uang tersebut.
Salah Blanko
Suatu saat, pemerintah mengeluarkan peraturan bahwa kontraktor
asing titlak boleh mempunyai sub kontraktor asing. Calmarine
terkena peraturan itu dan harus merelakan keagenannya dipegang
oleh CV Suba yang sebelumnya pernah jadi "agen buruh" pada
Daelim, kontraktor penggusuran tanah calon lokasi proyek LNG.
Pada waktu pergantian dari Calmarine ke Suba inilah terjadi
keruwetan tersebut. Surat-surat perjanjian kerja harus segera
diperbaharui. Padahal Suba belum siap dengan blanko "Perjanjian
Bontang." Yang ada tinggal blanko "Perjanjian Jakarta" dan
"Perjanjian Balikpapan." Maka ramailah para buruh (baik yang
berasal dari Jakarta maupun buruh setempat) mengisi blanko
"Perjanjian Balikpapan. Tidak terfikirkan bahwa kesalahan
mengisi itu bakal menimbulkan tuntutan yang berlarut-larut.
Pimpinan CV Suba di Balikpapan dan Bontang kini sudah sulit
ditemui, karena proyek LNG sendiri sudah selesai. Tapi dari
seorang bekas karyawan CV Suba diperoleh keterangan bahwa
sebenarnya Suba tidak berkeberatan memenuhi tuntutan para bekas
buruh itu, karena yang wajib membayar tokh Pertamina. "Suba kan
hanya terima komisi," ujarnya.
Dari pengamatan TEMPO, umumnya bekas buruh yang menuntut
tersebut berasal dari Bontang yang seharusnya memang mengisi
blanko "Perjanjian Bontang" Saat ini, sebagian mereka bahkan
sudah meninggalkan Bontang, kembali ke daerah asalnya di
Sulawesi. Tapi masih banyak juga yang berharap tuntutan mereka
akan berhasil. "Yah, kalau berhasil mau beli Tlonda," ujar
seorang buruh.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini