Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mereka baru kelas enam sekolah dasar. Masih bau kencur, kata orang. Tapi coba dengar pertanyaan para anak kencur ini: “Untuk apa sex toy itu?” atau “Apakah foreplay?” Kaget? Pasti. Pengetahuan mereka tentang seks ternyata jauh melebihi anggapan para orang tua. Jangankan para ayah-ibu, Kodariyah, koordinator konsuler Yayasan Kita dan Buah Hati yang aktif memberikan pendidikan kesehatan alat reproduksi untuk anak sekolah, sering terkaget-kaget mendengar pertanyaan dan pernyataan mereka.
Seorang anak kelas lima SD bertanya, “Kenapa kalau melihat yang porno, itunya berdiri dan mengeluarkan cairan sperma?” Ada juga pertanyaan lugu, “Kalau sudah pubertas, boleh nggak dipeluk papa?” Kakak kelasnya seorang siswi SMP menyambung, “Petting bisa bikin hamil enggak?” Atau pengakuan murid sekolah lanjutan pertama tentang pengalamannya melakukan seks oral. “Kadang kami kaget, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan yang seram-seram seperti itu,” kata Kodariyah.
Pelbagai pertanyaan yang biasanya sungkan ditanyakan seorang anak pada orang tuanya inilah yang dicoba dijawab oleh Yayasan Kita dan Buah Hati. Sejak lima tahun lalu, yayasan ini bergerak ke sejumlah sekolah untuk menggelar pendidikan seks sejak dini. Menurut ketuanya, Elly Risman, pendidikan ini menjadi penting karena gempuran industri pornografi sudah masuk ke ruang keluarga. “Anak-anak perlu mendapat bekal cukup tentang seks. Sekarang ini begitu mudah seorang anak mendapatkan pornografi dari tayangan televisi, video, Internet, atau handphone,” katanya.
Tayangan pornografi itu kadang mereka lihat tanpa sengaja. Seorang murid mengatakan pernah melihat tayangan film biru yang diputar orang tuanya. “Saya bertanya itu adegan apa, tapi ibu saya malah menyuruh saya tidur,” kata remaja putri yang sekarang sudah duduk di bangku SMP itu.
Kecelakaan seperti itu juga bisa terjadi ketika anak menjalankan tugas gurunya untuk mencari bahan pelajaran melalui Internet dan secara tak sengaja masuk ke situs porno.
Namun, menurut Elly, lebih banyak lagi anak-anak bau kencur itu terjerat menyaksikan pornografi karena terpengaruh teman-temannya. Sekali mereka kenal, mereka akan ketagihan. Apalagi saat ini ada lebih dari 1,3 miliar halaman situs porno dalam jaringan Internet. Juga, begitu mudahnya mendapatkan video porno bajakan di lapak-lapak.
Itu sebabnya, pendidikan seks bukan lagi diperuntukkan bagi anak yang sudah memasuki masa pubertas. “Persiapan sebelum masa akil balik lebih penting karena inilah masa-masa kritis,” kata Elly. Ada benarnya. Sejumlah peserta pendidikan ini mengaku sudah melihat video porno ketika masih kelas 2 sekolah dasar!
Memang, tidak semua anak punya pengetahuan seks yang sama. Masih cukup banyak yang baru dalam taraf pernah mendengar kata menstruasi atau sperma, tapi belum tahu apa artinya. Karena itu, peserta pendidikan yang digelar Buah Hati dibagi dalam dua kelompok, reguler dan tingkat lanjut berdasarkan pengetahuan seks mereka.
Biasanya, pendidikan ini diadakan dalam tiga tahap. Pada tahap pertama, konsuler memberikan kesempatan kepada peserta untuk mengajukan pertanyaan tertulis tentang apa saja menyangkut seks.
Setelah itu, digelar kelas berdasarkan pengetahuan dan jenis kelamin. Di sinilah pertanyaan peserta dibahas dan dijawab. Konsuler, yang kebanyakan sarjana psikologi berusia muda, lebih berlaku sebagai teman daripada guru. Melalui berbagai permainan, pengetahuan tentang seks ditularkan. Seorang konsuler yang memberikan pelatihan untuk murid SD, misalnya, mengambil permainan Samson dan Delilah untuk mengajarkan ihwal perbedaan jenis kelamin.
Setelah merasa cukup akrab, para peserta biasanya mau menceritakan permasalahan dan pengalaman mereka. Maka, muncullah pertanyaan atau cerita lebih dahsyat. Menurut Kodariyah, sejumlah anak SMP mengaku sudah terlibat aktivitas seksual bersama pacarnya. “Yang bisa kami lakukan untuk menyadarkan mereka adalah dengan memberikan contoh akibat seks bebas, seperti penyakit menular atau bahaya aborsi jika ternyata mereka hamil,” ujarnya.
Para pengajar ini harus taktis. Ketika seorang murid SMP mengajukan pertanyaan tentang posisi-posisi dalam hubungan seks, konsuler biasanya mengunci pertanyaan itu. “Pertanyaan itu ditunda saja sampai nanti saat kalian menjelang menikah. Ini nomor telepon saya, silakan menghubungi saya nanti.”
Hasil temuan ini kemudian dibicarakan para konsuler dengan para orang tua. Tanpa menyebut identitas, mereka jelaskan kondisi anak-anak mereka. Reaksi orang tua? Ada yang tertawa, ada pula yang kaget.
Retno Dewanti Purba adalah salah satu orang tua yang mengaku geli mendengar pertanyaan nakal itu. Masalah alat reproduksi memang bukan hal baru di antara ibu dan dua anak lelakinya yang duduk di kelas 1 SMP dan 5 SD itu. Ia biasa bicara tentang soal ini secara terbuka. Kendati demikian, ia membuat rambu pengaman dengan tidak akan membiarkan anaknya berselancar di Internet sendirian.
Pentingnya pendidikan seks ini juga dirasakan beberapa pengelola sekolah. Mereka kemudian berinisitaf menggelar sendiri, seperti Sekolah Alam Ciganjur, Jakarta Selatan. Selain Buah Hati, pemain lama dalam pendidikan seks untuk remaja adalah Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI). Bedanya, yayasan nirlaba berumur 50 tahun ini lebih banyak menggelar pendidikan di berbagai komunitas dan organisasi kepemudaan. Sasarannya juga remaja yang sudah memasuki masa pubertas.
Menurut Lucy Herny, penanggung jawab pendidikan seks remaja PKBI, kegiatan biasanya digelar di youth center yang ada di 24 provinsi. Tapi ada kalanya mereka mendatangi remaja berisiko, seperti kelompok anak jalanan, pengamen, atau penghuni lembaga pemasyarakatan. Materi pendidikan tentang kesehatan alat reproduksi, perubahan fisik pada masa puber, sampai bahaya infeksi melalui hubungan seks dan HIV/AIDS.
Konselor PKBI tidak pernah bicara tentang dosa kepada peserta yang mengaku telah melakukan aktivitas seksual pranikah. “Kalau bicara tentang dosa, mereka akan merasa dihakimi. Jadi, untuk menghentikan kebiasaan dan mencegahnya, kami memberikan contoh akibat dari hubungan seks bebas. Ini akan membangkitkan kesadaran mereka,” kata Lucy.
Selain kepada remaja, PKBI mulai 2005 menggelar pendidikan seks untuk anak-anak umur 4-6 tahun. Kegiatan ini, kata Lucy, dilakukan karena banyak kasus kekerasan dan pelecehan seksual pada anak-anak. Yang digarap lebih dulu adalah guru, orang tua, dan masyarakat sekitar, baru anak-anak sebagai sasaran terakhir.
Materi pendidikan untuk anak sangat sederhana, seperti memperkenalkan bagian tubuh, larangan mengucapkan alat kelamin dengan bahasa lokal, sampai menjelaskan bagaimana bayi lahir, “Peran orang tua di sini sangat penting,” katanya.
Meskipun penting, tidak semua orang tua mau mengirimkan anaknya mengikuti pendidikan ini. Menurut Kodariyah, di beberapa sekolah, pendidikan berbiaya seratus ribu rupiah ini hanya diikuti sebagian murid. Padahal manfaatnya sangat besar, karena biasanya anak tidak cukup punya keberanian untuk bertanya kepada orang tua atau gurunya tentang masalah seks. Sementara ada juga orang tua yang merasa gamang berbicara tentang alat reproduksi dengan anaknya.
Simak pengalaman Lis ketika harus mengatakan apa itu menstruasi kepada anak perempuannya yang berumur 10 tahun. “Saya harus berpikir kalimat apa yang tepat agar anak saya tidak takut,” kata warga Bekasi Barat ini. Sementara ia sibuk berpikir-pikir, sang anak sudah mendapat informasi tentang haid dari guru mengajinya. Beruntung ia punya guru mengaji yang tidak sibuk berpikir dan bisa memberikan keterangan yang tepat. Bagaimana kalau si anak mendapat penjelasan keliru dari orang lain?
Yudono Yanuar
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo