SURATNO berkoperasi. Darius Frederick Lasut memberi penyuluhan pada nelayan. Hasyim Usman menghijaukan kampung. Dan Nadjahi Hatta berkebun di pedalaman. Pada peringatan ke-59 Sumpah Pemuda, di Balai Sidang Senayan pekan lalu, Presiden Soeharto menganugerahi empat pemuda itu penghargaan: Pemuda Pelopor 1987. "Sejarah menunjukkan," kata Presiden, "bahwa perjuangan bangsa Indonesia selalu dipelopori oleh kaum muda." Inisiatif penghargaan itu mula-mula datang dari Menpora Abdul Gafur: memberi penghargaan kepada pemuda yang berprestasi. Tujuannya, menurut Gafur, "Menggugah jiwa kepeloporan pemuda, supaya lebih banyak berkarya, lebih berorientasi ke desa." Desa, dalam urusan pemuda pelopor ini, jadi sentral. Kriteria pemuda pelopor salah satunya adalah harus tinggal di desa, meninggalkan kota. Mereka harus teguh pendirian, tahan uji, tak putus asa, berkemauan keras. Mereka juga harus berani menyisihkan sebagian kepentingan keluarga. Lalu melakukan sesuatu untuk kepentingan masyarakat. Tentu, untuk ini harus ada karya nyata. Syarat lainnya: umur 15-35 tahun. Pemilihan Pemuda Pelopor diawali pada 1985. Hanya seorang yang memperoleh penghargaan dari Menteri Gafur. Tahun lalu, Wakil Presiden Umar Wirahadikusumah memberi julukan pada dua pemuda sebagai pelopor. Tahun ini Presiden sendiri yang menyampaikan penghargaan. Pemilihan pun dilakukan mulai di daerah, lalu diseleksi dari 92 calon. Hanya Timor Timur yang tak mengirim wakilnya. Empat terpilih memang memenuhi kriteria. Mereka muda. Suratno 31 tahun, Darius dan Nadjahi 35 tahun, sedang Hasyim malah baru 22 tahun. Mereka bergelimang dengan persoalan desa. Suratno terlibat kegiatan di banyak desa di Yogya. Di antaranya di Krapyak Lor, Sidoarum, hingga Desa Bergola, Magelang. Nadjahi memotivasi pemuda di Sintang -- pedalaman Kalimantan Barat. Untuk ke desa Hasyim di Belitung, Sumatera Selatan, orang perlu jalan kaki 8 kilometer. Sedang Darius menggarap desa-desa pantai di Sulawesi Utara. Mereka memang sama-sama pemuda pelopor. Tapi gerak dan ragam kegiatan mereka berbeda. Lihatlah Suratno, misalnya. Secara fisik, ia tak istimewa. Kecil, berdahi lebar, berambut lurus agak gondrong, dan kedua tangannya selalu menggenggam tongkat penopang cacat kaki. Semua itu tak menjadikan Suratno rendah diri. Dengan selalu mengulum senyum, dan sorot mata tajam, ia ternyata telah berbuat banyak hal. Kegiatan Suratno, kata M. Habib Chirzin -- Ketua PP Pemuda Muhammadiyah adalah da'wah bil haal (berdakwah dengan berbuat nyata). Di desanya, Sidoarum, Godean, Sleman, ia membentuk usaha bersama. "Prakoperasi," begitu ia menyebutnya. Sebuah usaha yang kini menjadi tempat bagi warga setempat untuk mendapatkan kebutuhan sehari-hari. Suratno juga masuk ke Desa Krapyak Lor. Ia kembangkan "eksperinovasi pendidikan populer". Kegiatannya membangun usaha bersama di bidang ekonomi, penerapan teknologi sederhana untuk masyarakat desa, dan pembangunan TK. Pola semacam ini lalu disebarkannya ke banyak desa sekitar. Suratno masih belum mau diam. Ia mengumpulkan para pedagang kaki lima di Yogya. Lalu membentuk koperasi. Di Wonogiri, dibentuknya juga Koperasi Pencari Rumput dan Koperasi Tukang Ojek. Ia melaksanakan pula program kesehatan jiwa balita di permukiman-permukiman miskin di Jakarta. Suratno juga menulis empat buku. Yang paling berarti, Panduan Tentatif Latihan Hasrat Berprestasi. Sedang organisasi yang dimotorinya, PPM (Pusat Peranserta Masyarakat), terus aktif di berbagai provinsi. Lain Suratno, lain pula Darius. Ia anak bekas gubernur Sul-Ut, Willy Lasut. Ia pernah kuliah Teknik Mesin di Jerman, tapi terbengkalai. Balik ke Jakarta ia memperdalam hobinya menyelam. Di Manado ia mengembangkan wisata bahari. Mulanya ia hanya calo. Ia membujuk para turis asing agar memakai perahu nelayan untuk menuju obyek wisata. Dari situ ia mendapat komisi. Hasilnya dikumpulkan lalu dibelikan julung, perahu nelayan. Dengan julung itu ia menjual paket wisata sehari ke taman laut, seharga 13,5 dolar perorang. Cara ini ditiru nelayan. Lalu ia membuka warung, yang berkembang menjadi restoran. Kini ia memiliki julung, 2 motor tempel, dan penginapan dengan 4 kamar. Sekitar 50 anak muda putus sekolah dan nelayan sekarang menjadi anak buahnya. Diimbaunya agar para nelayan memelihara hutan bakau. Ia mendirikan klub pecinta alam dan membina olah raga selam. Benar peloporkah Darius? Laki-laki berbadan besar itu tergelak. "Ini agak lucu. Saya anggap yang saya lakukan biasa-biasa saja," ujarnya merendah. Gaya Nadjahi Hatta lain pula. Ia memilih keras kepala dan menggelegak dalam mewujudkan keinginannya. Ia gagal menjadi sarjana IAIN karena bertentangan dengan dekan. Ia memberi nama anaknya: Ichwan Yasser Arafat, Tripoli Islami, atau Green Maesaroh. Ia memilih orientasi pengembangan masyarakat dan keislaman. Caranya dengan mengadakan latihan kepemimpinan hingga di desa-desa. Mula-mula ia mengadakannya di Sambas. Kemudian pindah ke Pemangkat dan terakhir di pedalaman Sintang. Di sana ia mengaku mendapat tantangan. "Masyarakatnya statis, rasio ndak jalan." Ia, lagi-lagi, mengadakan latihan kepemimpinan. Pesertanya adalah lulusan SPG yang hendak ditempatkan. Berkat campur tangan instansi resmi, latihan-latihan itu wajib dikuti. Kursus keterampilan juga diadakan. Peternakan, perkebunan, dan perikanan. Dengan lahan 30 hektar, ia membikin kebur kolektif cokelat dan cengkih. Ikan di kolam kini sudah besar. Pohon cokelat sudak semeter. Dengan itu, menurut Nadjahi, ia berhasil menarik para lulusan IAIN untuk datang ke desa itu. Yang paling sederhana adalah Hasymi Usman. "Ia masih sangat muda," ujar Menteri Gafur memuji. Langkahnya pun tidak aneh. Ia ketua karang taruna di daerak Belitung, dekat Bangka. Keberhasilannya, ia mengajak anggotanya untuk menghijaukan desanya. Sekarang lingkungan sekitarnya tak lagi tampak gersang. Pada mereka hadiah juga diberikan. Masing-masing Rp 1,25 juta. Kalau semua pemuda Indonesia seperti mereka, kata Gafur, "Tak ada yang ribut soal pengangguran, Bung." Zaim Uchrowi, Tri Budianto (Jakarta), I Made Suarjana dan Rustam F. Mandayun (Yogya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini