Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Momen

28 Juli 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Jenderal Budiman Diberhentikan

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membuat keputusan mengejutkan pada pekan lalu. Ketika tentara sedang berkonsentrasi menjaga keamanan pengumuman presiden dan wakil presiden terpilih oleh Komisi Pemilihan Umum, Presiden justru memberhentikan Kepala Staf TNI Angkatan Darat Jenderal Budiman. Ia diberhentikan Jumat pekan lalu atau dua bulan lebih cepat dari akhir masa jabatannya pada 25 September nanti.

Budiman mengatakan pemberhentiannya disampaikan Panglima TNI Jenderal Moeldoko pada Senin petang dua pekan lalu. "Panglima menelepon saya dan mengabarkan pemberhentian tersebut," katanya. Budiman mengaku tak menanyakan alasan pencopotannya. "Saya cuma bilang, 'Siap laksanakan, silakan Pak!'," ujarnya.

Kepala Pusat Penerangan Markas Besar TNI Mayor Jenderal Fuad Basya mengatakan Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) Letnan Jenderal Gatot Nurmantyo, 54 tahun, ditunjuk sebagai pengganti. Serah-terima jabatan keduanya dilakukan melalui upacara militer, Jumat pekan lalu.

Pada masa kampanye pemilu presiden, Budiman dan Moeldoko sempat melontarkan pernyataan berlawanan soal keterlibatan bintara pembina desa dalam pemilu presiden. Markas Besar TNI Angkatan Darat menghukum Kopral Satu Rusfandi, anggota babinsa yang dituduh mengarahkan warga Gambir, Jakarta Pusat, agar memilih pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Tapi Moeldoko menyatakan tak ada babinsa yang terlibat.

Juru bicara Presiden, Julian Aldrin Pasha, mengatakan usul pemberhentian Budiman diajukan oleh Moeldoko. Presiden mempertimbangkan usul itu karena Budiman sudah memasuki masa pensiun pada September nanti. Julian mengatakan usul penggantian tak harus dilakukan pada tanggal pensiun Kepala Staf Angkatan. Ia membantah anggapan bahwa pemberhentian itu berkaitan dengan pemilihan presiden. "Pergantian ini lebih sebagai proses regenerasi pimpinan TNI," katanya.

Moeldoko mengatakan pemberhentian Budiman merupakan keputusan Presiden. Ia membantah jika pemberhentian itu disebut karena alasan politik. "Itu hal yang biasa di TNI. Sebelumnya, banyak petinggi TNI yang diberhentikan lebih awal."

Moeldoko sebelumnya mengusulkan kepada Presiden tiga nama jenderal bintang tiga sebagai calon pengganti Budiman, yaitu Gatot Nurmantyo, Wakil KSAD Letnan Jenderal Muhammad Munir, dan Sekretaris Jenderal Dewan Ketahanan Nasional Letnan Jenderal Waris.


Gatot Nurmantyo

Tempat dan tanggal lahir:
Tegal, 13 Maret 1960

Pendidikan:
Akademi Militer lulus tahun 1982

Karier militer:

  • 2006-2007
    Komandan Korem 061/Suryakencana
  • 2009-2010
    Gubernur Akademi Militer
  • September 2010-Oktober 2011
    Panglima Kodam V/Brawijaya
  • 21 Oktober 2011-5 Juni 2013
    Komandan Komando Pembina Doktrin, Pendidikan, dan Latihan TNI Angkatan Darat
  • 5 Juni 2013-25 Juli 2014
    Panglima Kostrad
  • Sejak 25 Juli
    Kepala Staf TNI Angkatan Darat

    Sumber: Pdat

    KPK Tahan Orang Dekat Akil

    Muhtar Ependy akhirnya ditahan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi pada Senin dua pekan lalu. Komisi antirasuah menduga orang dekat bekas Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar itu menghalangi proses penyidikan dan persidangan serta memberikan keterangan palsu dalam perkara korupsi dan pencucian uang yang menjerat Akil. "Muhtar Ependy langsung ditahan di Rumah Tahanan Salemba, Jakarta Pusat, selama 20 hari pertama," kata juru bicara KPK, Johan Budi S.P.

    Muhtar mengaku siap menempuh proses hukum. "Sebagai warga negara yang taat hukum, saya akan taat terhadap KPK," ujarnya. Dalam surat dakwaan terhadap Akil, Muhtar disebut sebagai perantara suap kasus sengketa pemilihan kepala daerah. Muhtar menjadi tersangka sejak 18 Juli lalu. Dia mencabut keterangannya dalam berita acara pemeriksaan dengan alasan ia dalam keadaan tertekan ketika memberikan keterangan kepada penyidik KPK.

    Muhtar dijerat Pasal 21 dan Pasal 22 juncto Pasal 35 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman hukuman maksimal 12 tahun bui dan denda maksimal Rp 600 juta. Pengacara Muhtar, Yunus Wermasaubun, mengatakan kliennya belum tentu bersalah. "Akan di-cross-check dengan pihak kami dan pihak KPK apakah bukti-bukti yang dikumpulkan itu telah memenuhi syarat pasal yang disangkakan terhadap Muhtar Ependy," katanya.

    Bara di Hutan Riau

    Hutan di Provinsi Riau kembali terbakar. Dari hasil pantauan Satelit Tera dan Aqua Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika, titik panas bermunculan di sejumlah wilayah Riau. Dari 570 titik panas di Pulau Sumatera, 417 di antaranya berada di wilayah Riau. "Kebakaran lahan masih terus terjadi, terutama di Rokan Hilir," kata Kepala Bidang Data dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana Sutopo Purwo Nugroho, Senin dua pekan lalu.

    Dari 12 kabupaten/kota di Riau, hanya Kota Pekanbaru yang bebas dari kebakaran hutan. Kabut asap menyelimuti dua wilayah kabupaten, yang menyebabkan jarak pandang semakin pendek. Di Rengat, ibu kota Kabupaten Indragiri Hulu, jarak pandang menurun hingga empat kilometer, sedangkan di Kabupaten Pelalawan lima kilometer. Sutopo mengatakan pemerintah daerah Riau belum optimal mengendalikan pembakaran hutan dan lahan. "Jika tidak segera diantisipasi, hotspot dapat terus meningkat."

    Gubernur Riau Annas Maamun membantah tudingan itu. "Kami serius. Tidak mungkin juga petugas harus berjaga 24 jam di hutan," ujarnya di Pekanbaru.

    Menurut Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana Daerah Riau Said Saqlul, wilayah Riau berstatus siaga darurat asap hingga November 2014. Pemadaman api lewat darat dan udara terus dilakukan. Cuaca panas disertai angin kencang, kata dia, masih berpotensi meningkatkan jumlah titik api.

    PDI Perjuangan Gugat UU MD3

    Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan mengajukan uji materi Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) ke Mahkamah Konstitusi pada Kamis pekan lalu. Anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi PDI Perjuangan, Trimedya Panjaitan, mengatakan terdapat "pengkhianatan konstitusi" dalam undang-undang yang telah direvisi dan disahkan pada 8 Juli lalu itu.

    Trimedya mengatakan salah satu yang disoroti PDIP adalah pasal 84, yang menyatakan Ketua DPR beserta wakilnya harus berasal dari usul fraksi dan dipilih secara musyawarah. Sebelum aturan itu direvisi, partai pemenang pemilihan umumlah yang berhak atas kursi Ketua DPR. "PDI Perjuangan, yang kebetulan diberi amanah oleh rakyat, merasa dizalimi," kata Trimedya di gedung Mahkamah Konstitusi, Kamis pekan lalu. Ia datang bersama kuasa hukum PDIP, Andi Asrun.

    Andi Asrun berharap MK membatalkan undang-undang itu atau minimal mengembalikan pasal-pasal yang menyatakan Ketua DPR berasal dari partai pemenang pemilu. "Ini alternatif yang paling halus, tapi kami minta UU ini dibatalkan," ujarnya. Ia mengatakan, sebagai konsekuensi negara demokrasi, partai pemenang pemilihan umum harus menjadi pemimpin di parlemen.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus