Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAU kayu yang membusuk meruap ketika Indra Mutiara membuka pintu gudang penyimpanan pabrik PT Cahaya Pertiwi Abadi. Ada dua ribu peti berukuran delapan meter kubik berdesakan di dalamnya. Rayap-rayap menggerogoti kayu peti yang menampung 39.778 pasang sepatu olahraga itu. Di sudut, teronggok puluhan mesin jahit penuh debu, terciprat hujan yang mengguyur Tangerang pada Selasa dua pekan lalu.
Tak ada tanda-tanda pabrik sepatu di Jalan Masjid 178, Kecamatan Curug, itu tersentuh tangan manusia. "Sudah enam bulan berhenti operasi," kata Indra, pemilik pabrik. "Sebanyak 300 karyawan saya menganggur."
Menurut Indra, puluhan ribu pasang sepatu olahraga itu dipesan oleh CV Kreasi Dipta Mandiri, yang ditunjuk Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara dalam proyek pengadaan sepatu. Ukurannya bervariasi, dari nomor 36 sampai yang terbesar, 47. Menurut Indra, CV Kreasi melakukan subkontrak pembuatan sepatu karena mereka tak punya pabrik.
Namun, hingga sepatu selesai diproduksi dengan memakan biaya Rp 5,5 miliar, baik Markas TNI Angkatan Udara maupun CV Kreasi tak kunjung mengambilnya. "Alasannya, tak sesuai dengan spesifikasi," ujar Indra. PT Cahaya merugi karena sudah mengeluarkan biaya pembuatan sepatu-sepatu itu. Akibatnya, pabrik tutup dan karyawannya menganggur.
CV Kreasi hanya membayar 80 persen biaya atau Rp 4,45 miliar sebelum pembuatan sepatu dimulai. Hingga selesai produksi, sisa uang tak pernah dibayarkan. Anehnya, CV Kreasi kemudian melaporkan PT Cahaya ke Kepolisian Resor Bekasi—karena Kreasi berada di sana—dengan tuduhan penipuan.
Tak terima dituduh menipu, Indra pun melawan. Setelah mediasi berkali-kali gagal, ia melaporkan balik CV itu bersama tergugat lain, yakni Kepala Staf dan Wakil Kepala Staf TNI Angkatan Udara, ke Pengadilan Negeri Bekasi. "CV Kreasi yang wanprestasi," kata Michael Agustin, pengacara PT Cahaya. Digugat ke pengadilan, CV Kreasi menggugat balik lagi ke pengadilan yang sama.
Menurut Sugiarto, pengacara CV Kreasi, sepatu-sepatu yang dibuat PT Cahaya tak sesuai dengan spesifikasi dan cacat produksi. Ia mencontohkan, sepasang sepatu nomor 41 setara dengan ukuran 43 sepatu standar buatan pabrik lain. "Kualitasnya juga jelek, tak seperti contoh yang ditunjukkan kepada klien saya," ujarnya. Karena itulah Kreasi menggugat balik PT Cahaya.
Saling gugat ini ternyata menguak sengkarut pengadaan sepatu olahraga untuk prajurit di Markas Besar TNI Angkatan Udara. Syahdan pengadaan itu dimulai pada 28 Februari 2012 ketika terbit surat perintah pengadaan sepatu, Sprin/207-UP/II/2012. Dalam surat itu disebutkan Markas TNI Angkatan Udara menawarkan pengadaan 39.778 pasang sepatu olahraga dengan harga Rp 215.500 per pasang. Anggarannya Rp 8,57 miliar.
Bersama tiga perusahaan lain, PT Cahaya mengajukan penawaran Rp 192.500 per pasang. Namun, menurut Direktur PT Cahaya Sukrie A. Razak, tawaran itu tak pernah digubris panitia lelang. Ia baru tahu kemudian bahwa Markas TNI Angkatan Udara mengadakan lelang tertutup dengan menunjuk CV Kreasi Dipta Mandiri. Sukrie memprotes penunjukan itu secara tertulis pada 9 Maret 2012.
Setelah diancam bahwa kasus lelang fiktif itu akan dibawa ke Komisi Pemberantasan Korupsi, panitia lelang mengajak perwakilan PT Cahaya dan CV Kreasi bertemu di Bale Bengong di kompleks Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur. "Kami diminta mengalah," kata Sukrie. "CV Kreasi tetap pemenang lelang, lalu subkontrak pembuatan sepatu kepada kami."
Penunjukan CV Kreasi itu janggal karena menyalahi Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2010 tentang pengadaan barang dan jasa. Pembuatan sepatu itu, ujar Michael Agustin, tak masuk pengadaan barang yang harus melalui penunjukan khusus karena tak tergolong rahasia negara, seperti alat tempur.
Sekretaris Pengadaan Sepatu Olahraga TNI Angkatan Udara Tahun 2012 Letnan Kolonel Humaedi mengakui berkas penawaran PT Cahaya tidak pernah dibuka. Setelah beberapa perusahaan mengajukan harga, panitia langsung menunjuk CV Kreasi. "Itu perintah atasan. Pesannya supaya Kreasi yang dimenangkan," kata Humaedi kepada Tempo, Jumat pekan lalu. Ia menolak menyebutkan atasan yang memerintahkan penunjukan itu.
Seorang sumber yang mengetahui pengadaan tersebut menuturkan penunjukan CV Kreasi karena kedekatan M.E. Hartatih, pemiliknya, dengan sejumlah petinggi TNI Angkatan Udara. Namun cerita Humaedi disangkal Sugiarto, pengacara CV Kreasi. Menurut dia, kliennya ditetapkan sebagai pemenang tender, bukan melalui penunjukan langsung.
Hartatih tak bisa ditemui. Di perusahaannya, perempuan setengah baya itu tak tampak. "Ibu sedang ke Solo," ucap Nana, pegawai sumber daya manusia di CV Kreasi. "Silakan temui pengacara saja."
Menurut Sugiarto, setelah dinyatakan sebagai pemenang, CV Kreasi diminta Markas TNI Angkatan Udara menggandeng PT Cahaya dalam pembuatan sepatu itu. Rupanya, setelah pertemuan di Bale Bengong, PT Cahaya tunduk atas skenario itu. Sebab, kedua perusahaan lalu membuat nota kerja sama, yang diteken pada 23 Mei 2012. Kesepakatannya, seluruh produksi sepatu disubkontrakkan kepada PT Cahaya.
Subkontrak pembuatan sepatu ini sebetulnya dilarang Peraturan Pemerintah Nomor 54. Di sana disebutkan, untuk pengadaan yang melalui tender, pemenang lelang tak boleh mendelegasikan proyek ke perusahaan lain.
Harga yang disepakati dalam kerja sama antara CV Kreasi dan PT Cahaya sebesar Rp 135 ribu, jauh dari harga dari TNI Angkatan Udara sebesar Rp 215.500 atau harga yang ditawarkan Cahaya sebesar Rp 192.500 per pasang. Sebulan kemudian, harga itu dinaikkan menjadi Rp 140 ribu tanpa alasan jelas.
Dengan harga itu, biaya pembuatan mencapai Rp 5,56 miliar. "Itu semua uang CV Kreasi karena TNI AU belum memberikan uangnya," kata Sugiarto. Tak jelas apakah CV Kreasi akan mengail untung Rp 3 miliar karena biaya yang ditetapkan anggaran Markas TNI AU untuk proyek ini sebesar Rp 8,57 miliar.
Sengkarut pembuatan sepatu ini sudah lama menyebar di kalangan petinggi TNI Angkatan Udara. Asisten Pengaman Kepala Staf TNI Angkatan Udara Marsekal Muda Zulhasymi ditunjuk sebagai ketua tim investigasi untuk menyigi pengadaan itu. Namun ia enggan menjelaskan hasilnya. "Nanti saya jelaskan melalui Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara," ujarnya.
Tapi Kepala Dinas Penerangan Angkatan Udara Marsekal Pertama Azman Yunus juga tak memberi keterangan soal kisruh ini. "Masih dalam perkembangan," katanya.
Maria Rita, Indra Wijaya, Sukma Loppies
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo