PAGI itu langit cerah. Angin laut bertiup pelan. Sungguh, suatu suasana yang sangat cocok untuk bersantai di Taman Impian Jaya Ancol (TIJA). Kamis pagi pekan lalu itu, 158 anak TK Cenderawasih, Jakarta Selatan, berekreasi ke TIJA bersama dua guru dan pengasuhnya. Mula-mula, mereka menonton berbagai pertunjukan di Gelanggang Samudra. Setelah itu, dilanjutkan dengan bermain di tepi danau buatan yang ada di sebelahnya. Ada yang sekadar main pasir, ada juga yang mencebur ke air, seperti dilakukan Rony Purba yang baru berusia 6 tahun itu. Sesekali disuapi ibunya, Rony berlari-lari di danau itu. Sebentar berlari, lalu datang kembali untuk disuapi. Namun, kedatangan Rony lalu terhenti. Karena mengira anaknya asyik bermain, ibunya membiarkannya. Setelah dua jam ia tak muncul juga, ibunya mulai khawatir. Kemudian, blek ... perempuan itu pingsan ketika tahu anak sulungnya tenggelam di danau dan langsung meninggal. Rony tak tewas sendiri. Kici Miswarita, 6, teman sekolahnya di TK Cenderawasih, juga tenggelam dan meninggal. Tak cuma mereka berdua yang terkena musibah. Ternyata, hari itu, danau buatan di Ancol yang kelihatan damai itu juga menyeret korban lain. Mereka adalah Benny, 9, dan Edi Yusuf, 9. Kedua anak itu terpaksa kembali ke dekapan orangtuanya tanpa nyawa. Rony dan Kici tewas karena sebab yang sama. Air danau yang tampak dangkal menggoda anak-anak untuk bermain. Tetapi diam-diam bahaya menganga. Dasar danau itu semakin ke tengah semakin dalam, sampai lima meter dan licin, hingga kaki kaki kecil gampang terpeleset. Benny dan Edi semula korban yang tak dikenal. Ketika ditemukan mayatnya, mereka berpakaian renang, berbeda dengan Rony dan Kici yang mengenakan seragam taman kanak-kanak. Mayat kedua bocah, yang ternyata bertetangga, ini sempat menginap di RSCM dan baru ketahuan setelah orangtuanya datang. Hari Kamis itu, Benny ditemani adiknya, Akong, 7, bersama Edi Yusuf, juga asyik bermain air di danau buatan Ancol. Ketika Benny dan Edi berenang, Akong hanya menonton di tepi danau -- menjaga pakaian. Akong sempat melihat Benny dan Edi mengangkat tangannya ke atas. "Saya tidak tahu bahwa mereka lalu tenggelam," kata Akong polos. Benny, yang kelas I SD ini, menurut ayahnya, merupakan anak paling bandel dibandingkan 5 saudaranya." Benny juga suka main dan tidak betah di rumah, kata Lie Tjun Tjiung, sang ayah, yang tinggal di Pademangan, Jakarta Utara. Semula, hilangnya Benny dilaporkan oleh adiknya. Tetapi kepastian meninggalnya baru didapat dari yang berwenang. "Saya sudah pasrah. Barangkali ini memang sudah takdir," kata Sakim, ayah Edi Yusuf, tentang kematian anaknya. Pedagang keliling ini kaget ketika pulang di rumahnya sudah banyak orang kumpul. "Saya diberi tahu bahwa Edi meninggal," kata Sakim memelas. Danau buatan (seluas 7 ha kalau sedang pasang dan 4 ha jika surut) di Ancol ini bukan baru pertama kali memakan korban. "Kalau tidak salah, tahun 1970 pernah ada juga korban yang tenggelam di danau itu, kata Ciputra, Dirut PT Pembangunan Jaya, yang juga pimpinan Badan Pelaksana Pembangunan Proyek Ancol. Upaya pengamanan memang sudah dilaksanakan. Misalnya kata Ciputra, pada batas bahaya ada tali dan pelampung warna merah yang bertuliskan larangan mandi. Petugas pengamanan pun iuga disediakan. "Masalahnya, saat itu, untuk mengawasi anak begitu banyak memang sulit," kata Ciputra. Ciputra hadir pada pemakaman keempat korban tersebut. TIJA konon memberikan bantuan Rp 2,5 juta untuk setiap keluarga korban. TIJA juga memberikan kelonggaran sebagai tamu kehormatan selama 10 tahun untuk keluarga korban. "Memang, ini kejadian naas," kata Pak Ci. "Tapi, sudahlah. Mungkin merupakan takdir," katanya. Gatot Triyanto, Laporan Riya Sesana (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini