KETIKA Nyonya Ng Siak Far, 41, dan Nona Lee Fung Ling, 15, menyerahkan paspornya di Bandara Soekarno-Hatta, awal bulan lalu, petugas imigrasi langsung curiga. Mata terlatih petugas langsung menangkap adanya kelainan pada paspor penumpang pesawat GA 967 tersebut. Maklum, lambang negara Singapura yang biasanya berwarna kuning keemasan terlihat agak putih, warna dasar merahnya terlalu mencolok, kertasnya agak kasar dan setelah diteliti lebih lanjut -- tanda tangan petugas pembuat paspor juga mencurigakan. "Lagi pula, mereka tak bisa bahasa Inggris, padahal umumnya orang Singapura 'kan bisa," kata H.S. Widjaja, Kepala Humas Imigrasi. Keduanya pun segera diinterogasi. Hasilnya: mereka mengaku sebagai warga negara Hong Kong. Maka, seperti imigran gelap lainnya, kedua wanita yang mengaku ibu dan anak ini diamankan di karantina imigrasi, Kalideres Cengkareng. Dalam pemeriksaan intensif di sana, nama asli mereka pun diketahui, yakni Ny. Lam Yuk Wah dan Nona Sze Lie Mun. Kepada petugas mereka mengaku datang ke Indonesia dengan tujuan untuk mengobati Sze Lie Mun yang mengidap sakit jiwa. Tapi pengakuan ini layak diragukan kebenarannya berhubung Sze Lie Mun tak memperlihatkan tanda-tanda kelainan jiwa. Lagi pula, sejak kapan penduduk Hong Kong menganggap Indonesia sebagai klinik ideal? Kalaupun itu maksudnya, Ny. Lam Yuk Wah tak perlu mengeluarkan sepuluh ribu dolar Hong Kong (sekitar 2,15 juta rupiah) untuk membeli paspor palsu. Sebagai pemegang KTP (Certificate of Identity -- CI Hong Kong mereka tak dilarang masuk Indonesia. Dengan membayar 400 dolar Hong Kong seorang mereka bisa mendapatkan visa. Asalkan saja penyidikan Bakin tak menunjukkan ada hal yang mencurigakan. Yang dikhawatirkan pihak berwajib, pembuatan paspor palsu ini dilakukan oleh sebuah sindikat internasional. Tanda-tanda ke arah itu sudah ada. Sebab, penjual paspor di Hong Kong, yang mengaku bernama Sing Lee, menjanjikan kepada Ny. Lam dan putrinya bahwa seseorang akan menemui mereka di Hotel Jayakarta. Menurut penuturan Ny. Lam, utusan ini bertugas mengantarkan mereka kepada tabib yang dapat mengobati penyakit anaknya itu. Apa daya, mereka keburu tertangkap di bandar udara. Penggunaan paspor Singapura palsu bukanlah yang pertama kali. Menurut Humas Ditjen Imigrasi, tahun lalu saja tertangkap tiga warga RRC yang menggunakan cara ini. Memang banyak kemudahan yang dapat dinikmati pemegang paspor Singapura ketimbang pemegang CI Hong Kong. Antara lain -- seperti pemegang paspor negara ASEAN lainnya -- warga Singapura dapat masuk dan tinggal di Indonesia selama dua minggu tanpa visa. Sedangkan pemegang CI Hong Kong harus mendapatkan visa setelah melalui pemeriksaan yang ketat. Selain itu di Indonesia mereka harus keluar dari gerbang yang sama dengan ketika masuk. Maksudnya agar memudahkan petugas imigrasi memantau mereka. Maklum, imigran gelap asal Hong Kong termasuk paling besar jumlahnya. Belum lagi kemungkinan terselusup warga RRC yang tak diinginkan kehadirannya itu. Alhasil, seperti nasib ketiga warga RRC yang tertangkap, kedua anak beranak ini pun dipulangkan ke negerinya, Selasa pagi pekan ini. Dengan wajah sayu Ny. Lam pun berjalan diikuti sang anak, yang tampak agak ketakutan, ke pesawatnya. Bawaan mereka tak menyiratkan maksud berhijrah. Cuma dua plastik jinjingan kecil saja. Rasanya, sulit percaya mereka punya maksud buruk. Tapi siapa tahu, 'kan? Yang jelas, wajah lugu kedua anak-beranak ini berubah pucat pasi ketika mereka keluar dari kantor imigrasi menuju mobil yang akan membawanya ke terminal pesawat. Sebab, segerombolan wartawan lengkap dengan perlengkapan kamera menyerbu mereka. Secara refleks, kedua tangan mereka angkat untuk menutup muka. Tapi genangan air mata masih tampak di baik kaca mata Ny. Lam. Sze Lie Mun tampaknya harus berobat ke negara lain. Laporan Antosiasmo & Riya Sesanan (Biro Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini