SETELAH hampir tiga bulan meringkuk di Rutan Salemba, Widodo Sukarno tampak lebih kurus, tua, dan rambut makin memutih. Presiden Direktur PT Mahkota Real Estate, yang mengelola gedung tinggi Arthaloka, mengaku sedang sakit, dan menderita tekanan darah tinggi. Ia, ketika diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Selasa pagi pekan ini, atas tuduhan korupsi, mengaku belum pula memiliki pembela. Dengan alasan itu, "Saya mohon agar sidang ini ditunda tiga bulan," kata Widodo. Itulah hari pertama Widodo, beserta Rudy Pamaputera, direktur pada perusahaan yang sama, diadili. Widodo sendiri kepada hakim mengaku terkejut bahwa perkaranya disidangkan demikian cepat. Meski jaksa keberatan, akhirnya majelis hakim, yang diketuai Oemar Sanusi menunda sidang hingga Sabtu ini. Perkara yang dituduhkan pada Widodo dan Rudy adalah contoh korupsi sepanjang usia sebuah gedung jangkung. Kisah bermula 1972, ketika Gedung Arthaloka di Jalan Sudirman, Jakarta, mulai dibangun. PT Mahkota, menurut sebuah sumber di Kejaksaan, kala itu adalah Directie Voering dan Paying Agent PT Taspen. Mestinya, dialah untuk dan atas nama PT Taspen yang membayarkan biaya pelaksanaan pembangunan Gedung Arthaloka itu. Tapi, selama masa 1972-1976 ini, ternyata Widodo dan Rudy justru telah "memutarkan" uang itu untuk kepentingan mereka. Misalnya, uang pembangunan gedung itu ditransfer ke rekening pribadi. Dengan sangat lihai, kedua terdakwa kabarnya memainkan "pemindahbukuan", dan dari situ memetik manfaat uang pembangunan gedung melalui berbagai deposito d berbagai bank - baik di dalam maupun di luar negeri. Permainan juga terjadi ketika gedung Arthaloka itu sudah dibangun. Adalah pihak Widodo pula yang diserahi Taspen mengoperasikan gedung berlantai 19 itu. Tapi, sejak 1976 itu pula, Widodo tak pernah melaporkan situasi keuangan gedung yang kini disewa oleh 44 perusahaan tersebut. Dalam periode pengelolaan ini (1976-1985), Jaksa menuduh Widodo dan Rudy, antara lain, "menilap" uang pengelolaan dan uang sewa gedung itu. Dalam pengelolaan gedung, Widodo tidak pernah menunjukkan bukti-bukti pemakaiannya. Dalam hal uang sewa, antara lain, diselingkuhkan untuk membayar tagihan fiktif bagi penambahan biaya gedung. Juga, sebagian didepositokan atas nama PT Mahkota Real Estate, misalnya, pada American Express Bank di Singapura. Dengan berbagai cara permainan pembukuan dan transfer keuangan itu, selama sekitar 14 tahun, PT Taspen telah dirugikan total sebanyak Rp 11 milyar lebih. Sengketa antara PT Taspen dan PT Mahkota Real Estate ini memang berlarut-larut. Ia tak hanya mengundang Opstib turun tangan untuk mengusut perkara penyelewengannya, tapi juga turun tangan untuk mengakhiri pengelolaan gedung itu sendiri dari tangan Widodo. Serah terima terjadi dengan mendadak, dan Widodo sempat pula menggugat PT Taspen, pemilik gedung, yang kini juga bertindak sebagai pengelola, secara perdata. Melalui kuasanya Talas Sianturi, PT Taspen digugat Rp 40 milyar hampir empat kali lebih banyak dari korupsi yang kini dituduhkan pada Widodo dan Rudy. Perkara perdata itu sendiri belum putus. Tapi perkara pidana Widodo dan Rudy begitu cepat diproses oleh jaksa, dan diadili sebelum gugatan perkara itu divonis. "Saya memang tidak mengira akan disidangkan begini cepat," ujar Widodo pada TEMPO. "Saya merasa tetap tidak bersalah." Ia tak bisa menerima tuduhan korupsi - menyelewengkan iuran pegawai negeri yang dikelola Taspen. Hubungannya dengan PT Taspen, menurut Widodo, adalah dalam dana investasi. Kerja sama ini disetujui oleh Menteri Keuangan, katanya, dan dari dana yang semula Rp 3,8 milyar telah menjadi Rp 25 milyar. "Jadi, dalam kasus Arthaloka ini, saya berjuang dengan keringat sendiri," tambahnya. Yang ia sangat heran, katanya, mengapa Direktur Taspen tidak dijadikan terdakwa. "Dulu dalam pemeriksaan jaksa ada dua orang dari PT Taspen yang terlibat. Mereka inilah pejabat pemerintah, yang mestinya turut diadili. Tapi mengapa sekarang hanya saya dan Rudy," kata Widodo. S.H., Laporan Agus Basri (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini