SORE itu Solikin, 30, sedang memperbaiki sepeda motor di bengkelnya tatkala mendadak ia mendengar suara benturan keras dari arah jembatan Metro. "Dalam hati saya menduga, wah, ini pasti ada kecelakaan," katanya. Rumah Solikin terletak di utara jembatan Metro, 3 km arah utara kota kecil Kepanjen, sekitar 20 km dari Malang, Ja-Tim. Masyarakat yang tinggal di sekeliling sungai segera bermunculan. Sore itu, sekitar pukul 17.00, dasar sungai yang dalamnya sekitar 30 meter itu mulai remang-remang, tapi apa yang terjadi masih cukup jelas kelihatan. "Waduh ngeri sekali, tubuh manusia seperti ikan kerambangan (terapung-apung)," kata Solikin. Sebagian bak sebuah truk tampak mencuat di sungai. Kepala truk itu sendiri ternyata terlepas dari tubuhnya tatkala membentur pagar jembatan yang terbuat dari beton bertulang itu. Beberapa orang, tanpa luka yang berarti, berjalan tertatih-tatih naik ke atas. Solikin dan kawan-kawan membantu memapah mereka yang megap-megap itu. Beberapa di antaranya bercerita bahwa mereka rombongan pekerja proyek PLTA Sengguruh, terletak sekitar 7 km sebelah selatan Kepanjen, yang naik truk untuk kembali ke Blitar. Sekitar 1.200 pekerja proyek ini memang setiap hari biasa diantar-jemput memakai truk, yang diperlengkapi dengan tempat duduk dari kayu. Meski menurut peraturan muatan maksimumnya 22 orang, truk tersebut biasanya dijejali tiga kali lipat daya muatnya. Seperti yang terjadi di sore yang nahas itu. Menurut Agus Susilo, 30, salah satu penumpang yang selamat dan kini dirawat di RS Panggungrejo, Kepanjen, truk Toyota buatan 1965 yang mereka tumpangi sejak semula agak sulit distarter. Di tengah perjalanan truk tua itu malah dua kali mogok. Hingga ketika mesin yang rewel itu bisa hidup lagi, banyak pekerja yang mendesak Soewono, sang sopir, agar ia ngebut. Namun, sesampai di jembatan Metro yang menikung tajam sekitar 90 derajat, truk itu tak bisa dibelokkan dan langsung menghantam pagar dan terjun ke sungai. Agus sendiri terlempar tatkala benturan terjadi. Bersama sekitar 10 penumpang lain, ia jatuh ke sungai dan lolos dari maut. Tapi 48 rekannya tewas. Kebanyakan karena tertindih bak truk. Mayat mereka dikeluarkan oleh tim SAR bersama penduduk setempat, lalu disemayamkan di kantor proyek di Sengguruh. Dibanding beberapa musibah sebelumnya di Ja-Tim akibat truk yang bermuatan lebih, kecelakaan pekan lalu itu menimbulkan korban paling besar. Di Bondowoso, 1980, tercatat 32 orang yang mati. Di Probolinggo, 1982, jumlah korban yang tewas 34 orang. Tak heran Kapolda Ja-Tim Mayjen (Pol.) Wik Djatmika jengkel atas terjadinya musibah itu. Ia menganggap pelanggaran itu sudah keterlaluan hingga mengabaikan jiwa manusia. "Kalau polisi berdisiplin untuk menertibkan, dianggap jahat," katanya bersungut-sungut tatkala meninjau lokasi kecelakaan pekan lalu. Jumat pekan lalu itu Wik Djatmika langsung menginstrukslkan aparatnya untuk melancarkan Operasi Turangga. Tujuan: menjaring truk barang yang digunakan mengangkut manusia. Rupanya, operasi ini tanpa pandang bulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini