Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Becak, ke laut engkau pergi

Perang dengan becak akan berakhir thn ini. awal tahun depan jakarta sudah bebas becak. ribuan becak yang terjaring operasi ditenggelamkan ke laut. yang lainnya ada yang hijrah ke tangerang dan lampung. (nas)

30 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

. . . Iihat becakkl- lari/ serasa tak berhenti/ becak, becak, coba bawa saya. DI Jakarta, nyanyian anak-anak ciptaan Bu Fat itu, awal tahun depan, mungkin akan tinggal sebagai nyanyian nostalgia. Hampir tiap malam sejak pertengahan bulan ini, di Muara Angke, pantai utara Jakarta di sisi barat, sekitar 500 becak yang tertangkap operasi dibawa ke tengah laut, ditenggelamkan. Dihitung sejak pembuangan becak ke laut tahap pertama, Oktober telah 8.000 becak kini jadi rumah ikan-ikan di pantai Jakarta. Sesungguhnya rencana meniadakan angkutan beroda tiga yang digerakkan oleh tenaga manusia itu sudah diputuskan 13 tahun yang lalu. Lewat sebuah Peraturan Daerah, Ali Sadikin, Gubernur DKI Jakarta waktu itu, menyatakan " . . . meniadakan alat angkutan umum di darat yang digerakkan oleh tenaga manusia ...." Tapi, dari tahun ke tahun, sejak 1972, Pemda DKI Jakarta masih menerima pendaftaran becak baru. Pajak pun masih ditarik dari kendaraan ini. Baru pada April tahun ini, pendaftaran becak baru ditutup, dan pajak becak dihapus. Sejumlah rambu untuk becak juga disingkirkan - meski belum semua rambu lenyap. "Dengan demikian, becak tak lagi punya landasan hukum," kata Muchrodji Sutomo, Kepala Penanggulangan Bencana Pemda DKI Jakarta. Maka, sejak saat itu pemandangan petugas ketertiban dan keamanan Pemda mengejar-ngejar becak, menaikkan ke pik-up atau truk, makin sering terlihat. Terdengarlah kemudian beberapa kali insiden. Seorang warga kompleks perumahan Kalibata Indah, Jakarta Selatan, hampir saja dikeroyok para abang becak. Persoalannya, warga itu menulis surat pembaca di sebuah harian Ibu Kota bahwa ia mendukung penghapusan becak, karena jenis kendaraan satu ini dianggapnya tak manusiawi. Untung, persoalan bisa di damaikan. Lalu bulan lalu, rumah seorang anggota Keamanan dan Ketertiban di Jakarta Utara dirusakkan oleh sejumlah tukang becak. Kejadian serupa terulang atas rumah seorang anggota Koramil, juga di Jakarta Utara. Agaknya, memang tak mudah melaksanakan bebas becak untuk Jakarta. Menurut pihak Pemda, di Jakarta beroperasi sekitar 40.000 becak. Tapi hanya 8.000 yang terdaftar di DKI - menurut perhitungan April yang lalu. Dan sejak pendaftaran becak dihapuskan, becak yang ditahan tak mungkin dikeluarkan lagi. Di kawasan Cakung, hingga pekan lalu, telah ditumpuk sekitar 10.000 becak. Dari Cakung inilah, dengan 16 truk, hampir tiap malam becak dibawa ke Muara Angke. Dari pantai itu, dengan 10 perahu tongkang, becak dibawa ke tengah laut di kawasan Kepulauan Seribu. Cara pemusnahan ini konon meniru cara Jepang membuang mobil-mobil bekas. Menurut Soemaryo Wijoyo, Kepala Dinas Perikanan DKI Jakarta, cara ini justru menguntungkan lingkungan laut. Becak-becak itu lama kelamaan akan berlumut, menjadi rumah bagi anak-anak ikan. Memang ada syarat pembuangannya. Harus di laut dengan kedalaman minimal 20 meter, dan bukan di wilayah jalur lalu lintas laut. Satu syarat lagi, dibuang sedemikian rupa hingga becak tak dihanyutkan oleh ombak. Menurut Soemaryo, becak-becak yang dibuang bulan lalu kini telah menjadi habitat baru bagi anak-anak ikan. Ini menguntungkan, karena wilayah Kepulauan Seribu banyak kehilangan batu karang karena diambili untuk bahan bangunan. Akibatnya, habitat ikan berkurang, perkembangbiakan ikan terganggu, nelayan makin susah mendapatkan ikan. Dalam hal ini becak, yang digusur dari daratan, diharapkan bermanfaat di lautan. Bukan untuk tukang becak, tapi untuk ikan, dan pada gilirannya untuk para nelayan - bukan becaknya, tapi ikannya. Tak semua becak Jakarta akan diceburkan ke laut. Pemda DKI Jakarta memberi kesempatan bagi siapa saja untuk memanfaatkan becak Jakarta, asal dioperasikan di luar Ibu Kota. Konon, memang sudah banyak abang becak yang, baik dengan terpaksa maupun suka rela, hijrah dari Jakarta. Pekan lalu, Kapolres Tangerang, Jawa Barat, mengeluh, daerahnya kini dipadati becak dari Jakarta. Tapi Pemda Lampung malah memesan 1.000 becak dari Jakarta untuk pengangkutan sayur. "Tinggal menunggu ongkos kirim dari Pemda Lampung," kata Sudarsin, Kepala Biro Hubungan Masyarakat Pemda DKI Jakarta. Pada umumnya, para abang itu tak merasa rugi becaknya dibawa ke laut. "Yang rugi 'kan pemilik becak," kata Darto, 20, yang biasanya beroperasi di kawasan Kebayoran Baru. Toh, ada juga pemilik becak yang tak mau tahu. Suharno, abang becak yang suka mangkal di Kampung Melayu, punya usul agar operasi becak langsung saja ke rumah tauke. Sebab, katanya, selama ini teman-temannya yang kena operasi diharuskan membayar Rp 75.000 oleh taukenya, untuk ganti becak yang hilang. Dibayar? "Lha, kok, tujuh puluh ribu, untuk makan sehari-hari saja penghasilan kurang." tutur Suharno, yang rata-rata memperoleh penghasilan Rp 2.000 setelah dipotong sewa becak Rp 1.000 sehari-semalam. Kini, tinggal bagaimana menyediakan lapangan kerja baru bagi para abang itu. Dinas Sosial Pemda DKI Jakarta sudah memulangkan 80 keluarga tukang becak ke daerah. Pihak Kanwil Transmigrasi juga sudah membuka pintu. Cuma, peminatnya belum masuk. Sementara itu, kini, sekitar 200 bekas abang becak sedang menjalani latihan keterampilan di Balai Latihan Kerja (BLK) Cijantung, Jakarta Timur. Antara lain keterampilan las, montir, dan tukang batu. "Mereka diberi uang saku Rp 2.000 per hari," tutur Sudarsin. Tapi bila benar bahwa becak di Jakarta berjumlah sekitar 40.000, tentulah jumlah yang mudik dan yang diberi keterampilan sangat belum memadai. Dan itulah yang dikhawatirkan Menaker Sudomo. "Tukang becak prospeknya memang tak ada," kata Sudomo kepada wartawan TEMPO Indrayati. Tapi, tuturnya lebih lanjut, membuka lapangan baru bagi mereka juga tidak gampang. "Asal jangan menimbulkan gejolak sosial dengan hapusnya becak," tambah Menteri. Becak, becak, sampai tahun depan nasibmu? Bambang Bujono Laporan Yusroni Henridewanto (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus