Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Opera Sabun Kongres Partai Banteng

Megawati terpilih kembali memimpin PDI Perjuangan. Dia belum bicara pencalonan presiden. Keretakan kembali membayang.

4 April 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KONGRES itu berakhir dua hari lebih cepat dari jadwal. Seharusnya Sabtu pekan lalu perhelatan di Bali itu baru tutup layar. Rupanya, pertikaian panas tak jadi menggelegak. Bahkan gerakan protes yang sempat membuat partai politik itu terancam terbelah dua pun berujung antiklimaks. Di arena kongres, semua peserta pada akhirnya setuju Megawati Soekarnoputri terpilih kembali sebagai Ketua Umum PDI Perjuangan, di Hotel Inna Grand Bali Beach, Sanur, Bali, Kamis malam pekan lalu.

Sebagai ketua terpilih dan formatur tunggal, Megawati mengumumkan struktur pengurus baru partai. Di antaranya masih terdapat nama lama. Misalnya Pramono Anung Wibowo sebagai sekretaris jenderal. Sebelumnya, Pramono bersama Sutjipto dan Gunawan Wirosarojo dijuluki "The Gang of Three" oleh tokoh senior partai Kwik Kian Gie dan dianggap sebagai biang kekalahan partai pada pemilu lalu.

Memang, mereka yang berharap perubahan radikal dari kongres itu patut kecewa. Selain tak menghasilkan landasan baru, acara dengan biaya Rp 10 miliar itu kelihatannya serba bergegas. Setelah empat hari ditekan urusan organisasi, Megawati putri Bung Karno yang di tubuhnya mengalir darah Bali itu mengatakan kongres rampung lebih cepat karena anugerah Pulau Dewata. Selanjutnya, "Silakan jika mau jalan-jalan, melihat-lihat keindahan Pulau Dewata," kata Megawati kepada 1.800 peserta dari penjuru negeri. Dia menutup acara dengan senyum lebar.

Hari itu, pada Kongres II PDI Perjuangan, Megawati mengukuhkan kembali kuasanya atas Partai Moncong Putih. Gejolak di dalam partai itu sempat mengadu dua anak Soekarno: Guruh Soekarnoputra melawan kakaknya, Megawati Soekarnoputri. Apa boleh buat, kekisruhan itu berakhir seperti cerita opera sabun. Guruh, yang dijagokan Gerakan Pembaruan untuk menggantikan Megawati, di akhir kongres justru berbelok: dia memilih kembali ke pangkuan Mega. Tapi, kendati layar sudah diturunkan, jejak keretakan di tubuh partai itu terus membayang.

Kubu Megawati ditopang oleh Dewan Pengurus Pusat. Operatornya, selain suaminya sendiri, Taufiq Kiemas, juga diperkuat "The Gang of Three". Kekuatan kedua, disebut sebagai kubu Pemurnian, dengan tokoh Kwik Kian Gie dan sejumlah sesepuh partai seperti Soetardjo Soerjogoeritno. Tujuannya ingin bersih-bersih di kandang "banteng". Misalnya, mereka meminta Mega tidak memasukkan "The Gang of Three" dalam kepengurusan mendatang.

Yang paling ngotot menggusur Mega adalah kubu Gerakan Pembaruan. Tokoh gerakan ini sebetulnya kader andalan partai, seperti Sukowaluyo Mintorahardjo, Laksamana Sukardi, Arifin Panigoro, Sophan Sophiaan, Roy B.B. Janis, Didi Supriyanto, dan Noviantika Nasution. Mayoritas tokoh kubu ini adalah Kelompok Jenggala, merujuk tempat kongko mereka di rumah pengusaha Arifin Panigoro di Jalan Jenggala, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Sudah lama kelompok itu kritis terhadap kepemimpinan Megawati. Mungkin saking kesalnya kepada si Mbak, pada putaran pertama pemilu presiden 2004 lalu Arifin dan Sophan bahkan mendukung pasangan Amien Rais-Siswono Yudo Husodo.

Tuntutan kubu ini lumayan progresif. Mereka menginginkan pembaruan total. Cita-citanya, menjadikan PDI Perjuangan sebagai partai modern. Tentu, ketergantungan pada tokoh harus dikurangi. Itulah alasannya mengapa kubu itu mengusulkan kepengurusan PDI Perjuangan harus dibuat menjadi dua: Dewan Pengarah dan Dewan Pengurus. Megawati duduk sebagai Ketua Dewan Pengarah. Posisinya, ya, seperti Dewan Pembina pada Golkar masa Orde Baru.

Lalu, untuk menampung kekuatan di dalam partai, ada presidium dengan kepemimpinan kolektif. Di level itu, banyak tokoh yang bisa ditampung. Kubu ini juga mengusulkan perubahan sistem pemilihan pengurus, tidak lagi formatur tunggal di tangan ketua umum terpilih, tetapi formatur gabungan. Mereka juga menggugat hak prerogatif ketua umum (lihat Tempo 28 Maret-3 April 2005). Intinya, Megawati sudah saatnya turun, dan figur baru harus dimunculkan.

Jaringan gerakan itu juga menyebar sampai ke daerah. Mereka merangkul banyak kader PDI Perjuangan yang tak suka dengan kepemimpinan Mega. Di Jawa Tengah, koordinator gerakan itu adalah Mardijo, tokoh PDI Perjuangan di Jawa Tengah yang dipecat Megawati karena mbalelo dalam pemilihan gubernur setempat. Demikian pula Basuki, mantan Ketua DPRD Surabaya, yang didepak Megawati karena kasus korupsi.

* * *

KONGRES rencananya berlangsung sepekan, dimulai Senin 28 Maret dan berakhir 2 April. Tapi, sehari sebelum kongres, pertarungan sudah menajam ke dua kubu: Megawati dan Gerakan Pembaruan. Kubu "tengah" Kwik akhirnya melunak setelah Mega mendekatinya dengan berbagai macam cara. Rupanya, tujuan Kwik hanya ingin mendepak "The Gang of Three" dari kepengurusan. Dia bilang kampanyenya adalah gerakan moral. "Jika daerah sudah menanggapi, tugas saya selesai," kata Kwik. Bagi Mega, sekarang urusannya tinggal menghadapi Pembaruan.

Kubu Pembaruan ternyata sudah membuat konsolidasi. Mengaku menyabet dukungan 900 utusan, kubu itu memaparkan skenario deadlock sidang. Juga sejumlah pilihan yang diambil jika rencana itu gagal. Salah satunya adalah membuat kongres tandingan.

Selama kongres, taktik bersidang tertuju pada soal tata tertib dan tekanan massa dari luar arena. Urusan aksi tarik otot ini agaknya digarap betul oleh sejumlah anggota Pembaruan. Mereka juga mendapat bantuan dari Brigade Siaga Satu (Brigass) pimpinan Pius Lustrilanang, bekas korban penculikan aktivis 1998 yang kini menjadi kader PDI Perjuangan. Dari Bali, urusan massa diserahkan kepada Ketut Bagiada.

Taktik Gerakan Pembaruan berubah lagi di Hotel Mercure Sanur, Senin pekan lalu. Arifin dan Sophan menyatakan mundur dari pencalonan. Dalam jumpa pers di Seminyak, Arifin dan Sophan mengatakan memberikan kesempatan bagi tiga kader di Pembaruan, yaitu Guruh, Laksamana, dan Roy, untuk maju. Belakangan, keputusan mengerucut lagi: hanya Guruh yang maju. Disebutkan, sekitar 31 daerah dan ratusan cabang PDI Perjuangan sudah memberi dukungan. Selain itu, masih disepakati kepengurusan dalam bentuk format presidium.

Sejak hari pertama kongres, keamanan berlangsung ketat. Polisi berjaga di setiap sudut dan pintu masuk Ruang Agung Hotel Inna itu. Pemindai logam dipasang, plus pemeriksaan ketat kartu pengenal. Pecalang—polisi adat Bali—bersiaga di mana-mana. Yang tak punya kartu tak bisa masuk. Uniknya, Megawati sendiri meneken kartu pengenal buat peserta sekaligus panitia. Semuanya berjumlah 2.500 orang. Tak ada tamu pejabat pemerintah yang hadir. Dari dunia partai politik, yang tampak hanya bekas Ketua Umum Partai Golkar Akbar Tandjung dan Ketua Partai Damai Sejahtera Ruyandi Hutasoit.

Kedua kubu seperti adu konsolidasi. Pada hari pertama kongres, Mega bertemu dengan pimpinan Dewan Pimpinan Daerah di suite 1014 Grand Bali Beach. Mereka menyamakan persepsi soal materi sekaligus mengecek dukungan. Menurut Ketua PDIP Jawa Tengah, Murdoko, pertemuan itu mengantisipasi terjadinya deadlock. Para utusan dari tiap daerah harus dijaga dengan baik. "Kami diperintahkan menangani ketua tingkat kota atau kabupaten," ujar Murdoko.

Sejak kongres dibuka, perang pengerahan massa mulai meletup. Kedua kubu pendukung saling berhadapan di Jalan Hang Tuah itu. Kepala Poltabes Denpasar, Komisaris Besar Pol. Dewa Parsama, mondar-mandir ke kedua kubu, mencegah mereka bentrok.

Pertarungan panas itu merambat ke arena sidang. Apalagi Senin malam pekan lalu Megawati menyerahkan pimpinan sidang kepada Gunawan Wirosarojo, salah satu Ketua Pengurus Pusat PDI Perjuangan. Hujan interupsi mulai berhamburan. Dalam sidang itu pula, sejumlah anggota kubu Pembaruan melancarkan protes keras karena ketentuan tiap kabupaten dan kota yang terdiri dari 4 utusan, ternyata hanya memiliki 1 suara. Peserta dari Papua, Sulawesi Selatan, dan Sulawesi Tenggara menolak keputusan sistem blok suara (voting block) itu. Mereka menuntut: satu utusan, satu suara. Sayang, usul tak digubris. Sidang pun riuh dengan interupsi sana-sini.

Gunawan Wirosarojo tak bisa meredam keributan itu. Dia malah melanjutkan sidang, yang berbuntut 69 utusan dari 16 cabang walk out. Papua bahkan mengancam meninggalkan kongres. "Mungkin kami akan pulang secepatnya," kata Ketua PDIP Papua, Komaruddin Watubun. Peserta walk out ini akhirnya bertemu Laksamana Sukardi, Sukowaluyo, dan tokoh lain. Mereka memutuskan menggugat sidang yang memancung hak-hak peserta ke Pengadilan Negeri Denpasar.

* * *

TAKTIK kubu Megawati memecah suara itu terbukti efektif. Semula kubu Pembaruan didukung 900 peserta. Sekarang, setelah model blok suara diputuskan, bursa suara berubah dari 1.800 menjadi 440. Dahi Laksamana berkernyit. Dia menganggap sistem blok suara itu tidak konstitusional. Anggaran dasar partai menegaskan satu utusan memiliki satu suara. "Artinya, tiap kabupaten atau kota memiliki empat suara," ujarnya.

Pramono Anung, yang menjadi salah satu benteng Mega, angkat bicara. Dia mengatakan aturan lama masih menggunakan sistem blok suara, yaitu 4 utusan cabang memiliki 1 suara. Dengan ketentuan itu, kata Pramono, akan ada 444 suara. Rinciannya, 414 suara pengurus cabang dan 30 suara daerah. "Jika ada dari empat utusan tersebut tidak hadir, maka tidak bisa digantikan," kata Pramono.

Bagi Laksamana, pesan dari taktik itu jelas. Ini tak lebih "ilmu" kubu Megawati memenangi pertarungan dengan cepat. "Anak SD juga tahu, ini cara mudah menyepak demokrasi," kata Laksamana. Dia jengkel, suara kubu Pembaruan banyak yang terpangkas. Apalagi, tim sukses Mega sudah menggarap cabang. Pada berita acara konferensi cabang, tercatat nyaris semuanya mendukung Megawati.

Karena merasa digunduli begitu, kubu Pembaruan pun bersiap menggelar kongres tandingan. Laksamana, Sukowaluyo, Didi Supriyanto, Guruh, Imam Mundijat, Muchtar Buchori, Roy B.B. Janis dan Noviantika menggelar pertemuan dengan para utusan di Ruang Wantilan, Sanur Beach Hotel. Sebanyak 25 peserta kongres plus 105 pengurus daerah yang bukan peserta tapi pendukung Gerakan Pembaruan hadir. Mereka juga menggugat secara hukum putusan tata tertib kongres itu.

Kabar itu sampai juga ke telinga Me-gawati. Dengan tenang dia mengatakan sebaiknya Gerakan Pembaruan mendirikan partai sendiri saja ketimbang membuat kongres tandingan. Menurut Mega, mereka sudah tidak disiplin dan tidak patuh pada konstitusi partai. "Tandingan itu sudah tidak model. Masyarakat sudah tidak bisa dibodohi lagi," ujarnya. Kubu Megawati juga mengancam akan me-recall mereka-mereka yang ikut kubu Pembaruan dari DPR RI.

Setelah mengegolkan tata tertib, jalan Mega kian lempang. Acara pemandangan umum partai pun mirip apel kebulatan tekad. Mayoritas cabang meminta Mega maju sebagai calon ketua umum lagi dan hak prerogatif serta formatur tunggal dipertahankan. Meski begitu, ada juga kritik dari bawah. Misalnya, Mega diminta lebih banyak turun ke daerah dan berbincang dengan kader. Bahkan pemandangan umum disampaikan secara kolektif. Soalnya, semua bunyinya hampir sama. Cara ini, kata Ketua Cabang PDI Perjuangan Surabaya, Bambang D.H., lebih efektif dan mempersingkat waktu. "Toh, esensi yang disampaikan sama," ujarnya.

* * *

WAKTU memang penting dalam strategi Mega. Soalnya, dengan serba bergegas, dia bisa mengurangi tekanan massa kubu Pembaruan. Di hari ketiga kongres, Rabu pekan lalu, misalnya, aksi kian panas di luar arena. Dua kubu saling menumpahkan massa. Sebagian demonstran pro-Pembaruan dipimpin Pius Lustrilanang. Sedangkan di kubu Mega, muncul Budiman Sudjatmiko, bekas Ketua Umum Partai Rakyat Demokratik yang kini menjadi tokoh Relawan Pembela Demokrasi, organisasi bekas aktivis yang menyatakan bergabung dengan PDI Perjuangan. Untunglah, tak terjadi bentrokan fisik.

Tapi, sebenarnya modal kemenangan Mega bukan cuma soal mengatur ketatnya keamanan kongres. Rupanya, Mega sudah punya bekal awal. "Modal Mega adalah dukungan daerah sebesar 95 persen," kata anggota tim sukses Mega, Mangara Siahaan. Agaknya, bukan hanya soal modal daerah yang jadi pupuk kemenangan Mega. Kubu Pembaruan ternyata juga pecah di dalam.

Kongres tandingan yang digelar di Hotel Patra Jasa, misalnya, tak banyak dihadiri tokoh-tokoh Pembaruan. Tinggal Sukowaluyo sendirian. Massa yang hadir sempat gemas, berlama-lama tanpa kejelasan agenda. Mereka bertanya di mana Guruh Soekarnoputra, Sophan Sophiaan, dan Laksamana Sukardi. "Saya ingin pertemuan ini konkret. Kami minta Pak Sukowaluyo segera menghadirkan para tokoh Pembaruan itu," kata Mawing Gozo, utusan Pembaruan dari Jawa Tengah.

Tapi, sampai kongres tandingan itu batal, Guruh tak hadir di sana. Hanya Laksamana menemui massa. Hari itu, Guruh bersama Laksamana, Sukowaluyo, dan Didi Supriyanto menggelar pertemuan di kamar 201 hotel yang sama. Pertemuan itu menunjuk Guruh sebagai ketua. Guruh bersedia, tapi bukan lewat kongres tandingan. Rupanya, tak terjadi kesepakatan. Guruh akhirnya memilih mundur. Ia lalu menggelar jumpa pers di Segara Village, Sanur, menjelaskan sikapnya itu.

Tanpa Guruh, Sukowaluyo tetap bergerak. Hasilnya, disepakati 29 orang dari berbagai daerah turut dalam tim perumus. Tugasnya, membuat laporan peristiwa yang menyebabkan kongres tidak sah. Langkah selanjutnya, tim perumus akan mengumpulkan dukungan baik di dalam partai maupun di luar struktur secara nasional. Tujuannya, menggerakkan mosi tidak percaya atas kongres di Hotel Inna Grand Bali Beach.

"Perpecahan" di kubu Pembaruan PDIP juga mulai tercium setelah para tokohnya tidak tampak hadir di kongres tandingan. Roy B.B. Janis, yang juga Ketua Panitia Kongres Ke-2 PDI Perjuangan, lebih sering tampak di arena kongres di Hotel Inna Grand Bali Beach. Begitu juga Arifin Panigoro, Sophan Sophiaan, dan Noviantika Nasution. Mereka lebih banyak berembuk di arena lain.

Tak banyak yang berubah, memang. Komisi Politik dan Pemilu maupun Komisi Organisasi merekomendasikan sejumlah hal penting. Misalnya, "Moncong Putih" menjadi partai oposisi. Konsekuensinya, partai itu harus membentuk kabinet bayangan. Selain itu, komisi politik juga meminta pengurus memperjuangkan perbaikan Undang-Undang Pemilu, peninjauan kembali pemekaran Papua, dan tetap menolak kenaikan harga bahan bakar minyak.

Yang menarik, kongres pekan lalu itu tidak merekomendasikan ketua umum menjadi calon presiden. Memang, dalam pemandangan umum, ada juga daerah yang meminta sang ketua nantinya menjadi calon presiden. "Yang penting kita akan meneguhkan sikap sebagai partai oposisi," kata Pramono Anung, sekretaris jenderal partai yang baru.

Berlaga di bursa calon presiden agaknya belum menjadi isu penting. Mungkin karena Megawati baru saja gagal kembali menjadi Presiden RI, dan pemilu selanjutnya masih jauh.

Nezar Patria, Widiarsi Agustina, Kukuh S. Wibowo, Rofiqi Hasan (Bali)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus