Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LIFT membawa Guruh Soekarnoputra turun dari lantai delapan Hotel Grand Bali Beach ke lantai tujuh. Tepat di suite room 7100, Kamis petang pekan lalu, Guruh membuka pintu. Ruangan penuh orang. Sang empunya kamar, Ketua Umum PDI Perjuangan itu, tak bisa diganggu. Dia tengah repot meracik susunan kepengurusan partainya—yang akan diumumkan beberapa jam lagi—di lantai atas. Sejenak kemudian, Mega turun.
Begitu pintu terbuka, kedua kakak-beradik itu saling menghampiri. Mereka berpelukan. Hiruk-pikuk di lantai itu seketika senyap. Tak ada yang bicara.
Kakak-beradik itu kemudian duduk bersanding di sofa. Keduanya saling menepuk bahu, saling memandang. Kemesraan kelihatan tanpa perlu banyak kata-kata. Mega segera kembali ke "pertapaan"-nya. Sebuah kerja sudah menunggu.
"Guruh telah kembali," kata Wakil Sekjen PDIP Agnita Singedikane, yang juga kawan dekat Mega. Guruh, yang semula diduga memperkuat barisan "Pembaruan" yang berlawanan dengan kubu Mega, telah kembali ke pangkuan kakaknya.
Guruh mengaku sudah "pamit" menjadi calon penantang, awal Januari silam. Megawati tidak jelas-jelas melarang, tapi dalam pertemuan keduanya bekas Presiden RI itu hanya berpesan halus. "Sebagai kakak, saya bangga kamu punya keinginan seperti itu. Tapi, bakatmu itu di seni dan budaya."
Kemudian Mega bercerita betapa sulitnya ia meraih jabatan Ketua Umum PDI Perjuangan. Perlu keringat, sabar, dan tabah terhadap tekanan penguasa. "Jadi, bukan semata karena anak Soekarno," ujar Mega kepada Guruh, seperti diceritakan sebuah sumber.
Ringkasnya, Mega minta Guruh mengikuti darah seninya saja. Di antara putra-putri Bung Karno, hanya Guruh yang sejak kecil berkesenian. Guruh di usia remaja mendirikan Swara Mahardhika, paguyuban seni yang menjelma menjadi organisasi seni besar. Swara Mahardhika pernah dicoba dijadikan partai politik oleh Guruh. Tapi aturan main Orde Baru mengganjal ide ini.
Hawa panas politik menjelang Kongres II PDIP di Bali sempat membuat kakak-adik itu berjauhan. Keduanya terlihat kaku saat bertemu di acara pembukaan kongres. Ciuman dan pelukan Guruh disambut Mega dingin.
Setelah keributan soal tata tertib sidang dimenangi kubu Mega, Guruh mulai berpikir seribu kali untuk tetap maju ke pencalonan ketua umum. Tata tertib sidang sama sekali "tak berpihak" kepadanya. Penyempitan jumlah suara yang bisa memilih, dari sekitar 1.800 suara menjadi tinggal 440 suara, membuat dukungan daerah kepada Guruh sirna. "Ya, habislah saya," kata Guruh.
Guruh hanya punya dua pilihan: terus bersama kubu Pembaruan dengan menggelar kongres tandingan, atau kembali ke kubu Mega. Ada pilihan lain untuk Guruh. Sukmawati datang menawarkan jabatan pimpinan PNI Marhaenisme, dengan syarat Guruh keluar dari PDIP.
Akhirnya Guruh memilih tetap bersama Mega. Kongres PDI Perjuangan tandingan ricuh. Guruh menolak meneruskan langkah bersama kelompok tandingan. Kabarnya, Guruh sempat mencoba menelepon Mega. Tapi telepon seluler sang Ketua Umum tidak diaktifkan. Mega sibuk dengan kegiatan meracik susunan pengurus yang baru. Guruh hanya sempat menitipkan pesan lewat Agnita: "Peluk cium dan salam hormatku buat Mbak Ega."
Pesan itu sampai ke telinga Mega. Sebuah perjumpaan pun dirancang di ruang 7100, tempat Mega beristirahat. Setelah keduanya berpelukan—ditingkahi sedikit air mata—Mega pun memaafkan sang adik, yang sudah "keliru" memilih jalan menantangnya. Ketika susunan kepengurusan dibacakan, ia memberikan "kado" itu: jabatan ketua bidang pendidikan dan kebudayaan untuk sang adik.
Widiarsi Agustina, Imron Rosyid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo