Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Orang-Orang Yang Bertahan

Kanwil Departemen Agama DKI Jakarta, menghimbau kepada masjid yang masih menyuguhkan khotbah 100% dalam bahasa arab, agar mau memasukkan terjemah khotbah. Di Jakarta masih ada. (ag)

28 Mei 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU jam sebelum khotbah, sudah dimulai pembacaan selawat Nabi bersama-sama, dengan lagu monoton. Jemaat yang datang ikut bergabung. Lima menit sebelum azan, seorang tua berjalan di barisan depan, mengambil kitab Quran dari ceruk di tembok, lalu duduk di depan mimbar. Ia membacakan satu rangkaian ayat, tanpa terjemah, dengan irama yang khusyuk dan rata. Lalu beduk Jumat ditabuh terakhir kali. Diiringi azan, yang hanya sayup-sayup terdengar: diserukan betul-betul dari pucuk menara, dan tanpa mikrofon. Di dalam masjid, khatib menyeruak di antara barisan-barisan jemaat yang bersila -- berjubah biru, dengan kepala berkerudung sorban putih. Salat sunat sudah dilakukan bersama-sama barusan ini dan kini khatib naik ke mimbar kayu, menggapai tongkat setinggi tombak, mengepitnya, lalu membuka kitab, dan mulai melantunkan khotbah yang untuk bulan itu bertema kiamat dan pertobatan dengan suara berlagu, 100% dalam bahasa Arab, tanpa mikrofon, dan hanya berlangsung 10 menit. Ibadat ditutup dengan salat bersama. Upacara Jumat di Masjid Gedung Hijau itu, bangunan seluas 1.000 m2 di dekat sekolah Komando Kepolisian, Pasar Jumat Jakarta Selatan, merupakan contoh pelaksanaan yang masih mempertahankan "keaslian". Konon terdapat 13 masjid, menurut pihak Departemen Agama, dari sejumlah 1.500 buah di Jakarta, yang ibadat Jumatnya masih tetap sama dengan di "zaman R.A. Kartini". Padahal "ini kan Jakarta," kata Rasyid Hamidy, kepala Bidang Penerangan Islam pada Kanwil Departemen Agama DKI Jaya. Itulah sebabnya pihak Kanwil hari Sabtu 14 Mei mengundang para pemimpin ke-13 masjid itu -- lima di Jakarta Selatan, lima di Jakarta Timur, dan tiga di Jakarta Barat untuk semacam diskusi. Acaranya sebenarnya rayuan, agar mereka mau "hanya" memasukkan terjemah khotbah. Di situ berbicara K.H. M. Syukri Ghozali dan K.H. Ghazali Sahlan dari MUI, serta K.H. Muchtar Nasir dari MU DKI. Masalahnya, khotbah Jumat memang bukan ceramah biasa. Ada beberapa ketentuan, disebut syarat dan rukun, yang tak bisa berubah. Karena itu K.H. Syukri tidak meminta semua bacaan diterjemahkan rukun-rukun seperti pujian kepada Tuhan, syahadat, selawat, dan ayat, tetap dalam bahasa asli. Tetapi inti khotbah adalah nasihat, atau "santapan rohani", dan itu harus dipahami Jemaat. Sebaliknya bagi K.H. Abdurrahman dari masjid Tanah Kusir. "Kalau mau santapan rohani silakan saja menunggu sesudah selesai salat," kata tokoh 62 tahun itu, di masjidnya, kepada TEMPO. Dan memang rata-rata "masjid nonterjemah" itu menyelenggarakan acara terpisah itu, walau pendengarnya sudah jauh berkurang. Umumnya para kiai itu bertahan dengan alasan memelihara cara atau bahkan pesan guru mereka. "Kami tak menyalahkan mereka yang memakai terjemah," kata Kiai Abdurrahman -- walaupun Haji Adung dari Masjid Gedung Hijau menyatakan: "Ini agama yang harus kita terima seperti kenyataannya dari Nabi." Dan Nabi memang berbahasa Arab, kan? Tapi juga, menurut mereka, jemaat bisa "lari" bila cara khotbah diubah. Kiai Abdurrahman menceritakan peristiwa serupa di masjid Pondok Pinang, 1952. Lagi pula rupanya ada sebab lain. "Kesucian ibadat yang kita rasakan ini" kata kiai itu lagi "bisa hilang nanti kalau pakai terjemah." Disambung oleh K.H. Muhadjir, 75 tahun, dari Masjid Al-Muhajirin Bintaro: ?'Entar jadi asyik membicarakan hal keduniaan. Padahal membicarakan keduniaan di masjid bisa melunturkan pahala ibadat 40 tahun," katanya. Atau, ini: "Entar dipakai cacimaki atawa politik." Ini sebenarnya masalah lama. Sudah di tahun 1931, K.H. Hasjim Asj'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, membolehkan khotbah diterjemahkan di bagian nasihatnya. Tapi apa yang terjadi? K.H. A. Qusyairi, tokoh dari Pasuruan, Jawa Timur, menyatakan keluar dari NU. Lalu muncul polemik antara dua tokoh itu, yang ilmunya jauh di atas para kiai kampung, yang mempelajari agama kurang lebih hanya "bagian ritual"nya. Betapapun, bersama Muhammadiyah NU berbuat banyak. Sehingga masjid yang khotbahnya melulu dalam bahasa Arab sekarang ini tinggal 2-3% -- dari 100.000 masjid yang tercatat di seluruh tanah air, menurut Departemen Agama. Hanya, sementara khotbah di masjid Muhammadiyah sudah menjadi "ceramah plus rukun-rukun tetap", dan bukan terjemah melainkan susunan bebas di lingkungan NU aspek seremonial umumnya tetap terpelihara jubah dan sorban untuk khatib, tongkat (dulu tombak), beduk, kitab himpunan khotbah yang tetap, bacaan berlagu -- plus terjemah. Tak ada salahnya bukan, bila kepada masjid yang masih tetap "melulu Arab", pemerintah ingin memasukkan terjemah? Tapi yang datang ke pertemuan dua pekan lalu itu ternyata hanya para wakil tiga masjid. Itu pun bukan kiainya, melainkan pengurus biasa. Dan Jumat pekan lalu, khotbah masih juga diselenggarakan tanpa terjemah -- dan, di dua dari tiga masjid itu, tak pakai mikrofon. "Pemerintah kan tidak memaksa," kata Kiai Abdurrahman. "Malah pemerintah senang, jika rakyat tenteram dan damai." Tambahan lagi ada kesan dari Prof. Widagdo, jamaah Masjid Gedung Hijau yang dibangun tahun 1900-an itu. Katanya kepada TEMPO: "Di sini lebih-tenteram. Tidak ada yang menghasut, tidak ada yang dihasut. Yang datang murni untuk ibadat." Widagdo bekas tokoh Masjumi, juga di tahun 1950-an ketua ormas tani NU yang bernama Pertanu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus