SATU jam sebelum khotbah, sudah dimulai pembacaan selawat Nabi
bersama-sama, dengan lagu monoton. Jemaat yang datang ikut
bergabung. Lima menit sebelum azan, seorang tua berjalan di
barisan depan, mengambil kitab Quran dari ceruk di tembok, lalu
duduk di depan mimbar. Ia membacakan satu rangkaian ayat, tanpa
terjemah, dengan irama yang khusyuk dan rata.
Lalu beduk Jumat ditabuh terakhir kali. Diiringi azan, yang
hanya sayup-sayup terdengar: diserukan betul-betul dari pucuk
menara, dan tanpa mikrofon. Di dalam masjid, khatib menyeruak di
antara barisan-barisan jemaat yang bersila -- berjubah biru,
dengan kepala berkerudung sorban putih. Salat sunat sudah
dilakukan bersama-sama barusan ini dan kini khatib naik ke
mimbar kayu, menggapai tongkat setinggi tombak, mengepitnya,
lalu membuka kitab, dan mulai melantunkan khotbah yang untuk
bulan itu bertema kiamat dan pertobatan dengan suara berlagu,
100% dalam bahasa Arab, tanpa mikrofon, dan hanya berlangsung 10
menit. Ibadat ditutup dengan salat bersama.
Upacara Jumat di Masjid Gedung Hijau itu, bangunan seluas 1.000
m2 di dekat sekolah Komando Kepolisian, Pasar Jumat Jakarta
Selatan, merupakan contoh pelaksanaan yang masih mempertahankan
"keaslian". Konon terdapat 13 masjid, menurut pihak Departemen
Agama, dari sejumlah 1.500 buah di Jakarta, yang ibadat Jumatnya
masih tetap sama dengan di "zaman R.A. Kartini". Padahal "ini
kan Jakarta," kata Rasyid Hamidy, kepala Bidang Penerangan Islam
pada Kanwil Departemen Agama DKI Jaya.
Itulah sebabnya pihak Kanwil hari Sabtu 14 Mei mengundang para
pemimpin ke-13 masjid itu -- lima di Jakarta Selatan, lima di
Jakarta Timur, dan tiga di Jakarta Barat untuk semacam diskusi.
Acaranya sebenarnya rayuan, agar mereka mau "hanya" memasukkan
terjemah khotbah. Di situ berbicara K.H. M. Syukri Ghozali dan
K.H. Ghazali Sahlan dari MUI, serta K.H. Muchtar Nasir dari MU
DKI.
Masalahnya, khotbah Jumat memang bukan ceramah biasa. Ada
beberapa ketentuan, disebut syarat dan rukun, yang tak bisa
berubah. Karena itu K.H. Syukri tidak meminta semua bacaan
diterjemahkan rukun-rukun seperti pujian kepada Tuhan, syahadat,
selawat, dan ayat, tetap dalam bahasa asli. Tetapi inti khotbah
adalah nasihat, atau "santapan rohani", dan itu harus dipahami
Jemaat.
Sebaliknya bagi K.H. Abdurrahman dari masjid Tanah Kusir. "Kalau
mau santapan rohani silakan saja menunggu sesudah selesai
salat," kata tokoh 62 tahun itu, di masjidnya, kepada TEMPO. Dan
memang rata-rata "masjid nonterjemah" itu menyelenggarakan acara
terpisah itu, walau pendengarnya sudah jauh berkurang.
Umumnya para kiai itu bertahan dengan alasan memelihara cara
atau bahkan pesan guru mereka. "Kami tak menyalahkan mereka yang
memakai terjemah," kata Kiai Abdurrahman -- walaupun Haji Adung
dari Masjid Gedung Hijau menyatakan: "Ini agama yang harus kita
terima seperti kenyataannya dari Nabi." Dan Nabi memang
berbahasa Arab, kan?
Tapi juga, menurut mereka, jemaat bisa "lari" bila cara khotbah
diubah. Kiai Abdurrahman menceritakan peristiwa serupa di masjid
Pondok Pinang, 1952. Lagi pula rupanya ada sebab lain. "Kesucian
ibadat yang kita rasakan ini" kata kiai itu lagi "bisa hilang
nanti kalau pakai terjemah." Disambung oleh K.H. Muhadjir, 75
tahun, dari Masjid Al-Muhajirin Bintaro: ?'Entar jadi asyik
membicarakan hal keduniaan. Padahal membicarakan keduniaan di
masjid bisa melunturkan pahala ibadat 40 tahun," katanya. Atau,
ini: "Entar dipakai cacimaki atawa politik."
Ini sebenarnya masalah lama. Sudah di tahun 1931, K.H. Hasjim
Asj'ari, pendiri Nahdlatul Ulama, membolehkan khotbah
diterjemahkan di bagian nasihatnya. Tapi apa yang terjadi? K.H.
A. Qusyairi, tokoh dari Pasuruan, Jawa Timur, menyatakan keluar
dari NU. Lalu muncul polemik antara dua tokoh itu, yang ilmunya
jauh di atas para kiai kampung, yang mempelajari agama kurang
lebih hanya "bagian ritual"nya. Betapapun, bersama Muhammadiyah
NU berbuat banyak. Sehingga masjid yang khotbahnya melulu dalam
bahasa Arab sekarang ini tinggal 2-3% -- dari 100.000 masjid
yang tercatat di seluruh tanah air, menurut Departemen Agama.
Hanya, sementara khotbah di masjid Muhammadiyah sudah menjadi
"ceramah plus rukun-rukun tetap", dan bukan terjemah
melainkan susunan bebas di lingkungan NU aspek seremonial
umumnya tetap terpelihara jubah dan sorban untuk khatib, tongkat
(dulu tombak), beduk, kitab himpunan khotbah yang tetap, bacaan
berlagu -- plus terjemah. Tak ada salahnya bukan, bila kepada
masjid yang masih tetap "melulu Arab", pemerintah ingin
memasukkan terjemah?
Tapi yang datang ke pertemuan dua pekan lalu itu ternyata hanya
para wakil tiga masjid. Itu pun bukan kiainya, melainkan
pengurus biasa. Dan Jumat pekan lalu, khotbah masih juga
diselenggarakan tanpa terjemah -- dan, di dua dari tiga masjid
itu, tak pakai mikrofon. "Pemerintah kan tidak memaksa," kata
Kiai Abdurrahman. "Malah pemerintah senang, jika rakyat tenteram
dan damai."
Tambahan lagi ada kesan dari Prof. Widagdo, jamaah Masjid Gedung
Hijau yang dibangun tahun 1900-an itu. Katanya kepada TEMPO: "Di
sini lebih-tenteram. Tidak ada yang menghasut, tidak ada yang
dihasut. Yang datang murni untuk ibadat." Widagdo bekas tokoh
Masjumi, juga di tahun 1950-an ketua ormas tani NU yang bernama
Pertanu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini