Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Agar Tak Jadi Guru Anjing

Biaya pendidikan yang dikeluarkan pemda dki cukup besar. spp sering kurang cocok dengan kondisi jakarta. gubernur mendirikan bp3 di sekolah-sekolah. usul diterapkan uang sekolah untuk menertibkan pungutan. (pdk)

2 Oktober 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAKARTA bukan Cikampek, Jakarta adalah Betawi", ucap Ali Sadikin setengah berteriak dalam pertemuan dengan guru-guru se DKI beberapa tahun yang lalu. Dalam pertemwan yang berlangsung di Jakarta Theater yang juga dihadiri Prof. Bachtiar Rifai Dirjen Pendidikan waktu itu, Barig Ali menyambung: "Karena itu tak ada orang yang paling tahu tentang kota ini, kecuali saya". Maksud Gubernur tentu saja yang tahu persis tentang masalah pendidikan di Jakarta, antara lain dia. Memang sudah sejak beberapa tahun ini Jakarta mengidap masalah pendidikan yang ruwet. Antara pertambahan anak usia sekolah yang melaju pesat dengan usaha penyediaan bangku sekolah yang tidak kalah cepatnya, terus saling berlomba. Sampai kini yang terakhir itu selalu kececeran. Maklum, pertambahan anak usia sekolah di ibukota negara itu bukan cuma hasil produksi warganya sendiri, tapi anak tetangga dari daerah lainnya turut berebut bangku sekolah. Tahun pelajaran ini, kelompok yang terakhir itu mencapai jumlah 6 ribu orang. Sementara laju kenaikan penduduk Jakarta sendiri yang menurut sensus 1971, sebanyak 4% setahun, ternyata rnencapai 5,8%. Dan dari seluruh penghuni kota "metropolitan" ini, 22% di antaranya anak-anak usia sekolah. Keadaan serupa itu tentu saja memhuat Jakarta makan porsi yang sangat besar untuk biaya pendidikannya. Tak heran bila Keputusan Presiden untuk menghapus SPP, membuat Ali Sadikin merasa loyo. Memang, bagi gubernur yang menempatkan masalah pendidikan pada prioritas kedua setelah masalah perbaikan kampung itu, SPP lama maupun yang disempurnakan nampaknya dianggap tak pernah cocok dengan kondisi wilayahnya. Jauh sebelum SPP disempurnakan keluar, Ali Sadikin sudah lebih dulu mencoba mendirikan BP3 di skolah-sekolah. Bahkan sempat memberikan ultimatum kepada semua sekolah agar sebelum 15 Maret 1973, badan itu sudah harus terbentuk. "Saya tak usah menunggu keputusan Menteri, karena kita membutuhkannya sekarang juga", katanya. Sementara kebijak- sanaannya untuk mengembalikan penerimaan SPP yang sebesar 20% (peraturan SPP lama) kepada fihak sekolah yang bersangkutan, jelas tak bisa ditiru daerah lain. "Jumlahitu tak ada artinya buat saya", katanya waktu itu, "Perwakilan P & K kehilangan 20%, sekitar Rp 20 juta, tapi dia dapat Rp 300 juta dari DKI". Kebijaksanaan Ali Sadikin yang menunjukkan bahwa SPP sering kurang cocok dengan kondisi daerahnya, dibuktikan lagi ketika SPP yang disempurnakan baru berjalan satu tahun. Dengan Keputusan Gubernur 24 Desember 1975, Ali Sadikin menilai, pelaksanaan SPP di Jakarta kurang mencerminkan kelancaran, kestabilan dan peningkatan efisiensi serta mutu sekolah. Karena itu, katanya, perlu diambil langkah-langkah perbaikan. Dan sambil menunggu persetujuan lebih lanjut dari Menteri P & K, demikian isi surat keputusan itu, Ali melakukan kebijaksanaan merubah komposisi prosentase yang tadinya 50% untuk Pengadaan Sekolah dan 30% untuk kesejahteraan Personil Sekolah, menjadi sebaliknya. Guru mendapatkan porsi paling banyak dari SPP. Namun keputusan yang harus berlaku pada tahun pelajaran 1976 ini, ditolak Menteri P & K lewat telegram tanggal 17 Januari l975. Tapi itu tak membuat surat keputusannya sama sekali tak dilaksanakan sekolah di wilayahnya. Tingkat SD misalnya, ternyata melaksanakan SPP yang "disempurnakan" Ali Sadikin. Pada awal tahun ini pula, Ali Sadikin membeberkan betapa DKI sudah memberi begitu banyak biaya untuk pendidikan. Menunjuk biaya per murid SD per tahunnya, gubernur menyebut angka Rp 38 600. Biaya itu dari pemerintah pusat hanya masuk sebesar Rp 13.300, dan dari SPP hanya Rp 3.800. Berarti biaya seorang murid SD mengalami defisit sebesar Rp 21.600 (56,5%). Atas dasar ini Ali Sadikin berkesimpulan: Sekolah tak bisa gratis. "Ada anggota DPR yang usul agar sekolah gratis, mimpi orang ini", katanya gemes. Tak sampai di situ, Ali juga berpendapat gaji guru dengan tiga orang anak pantasnya memperoleh Rp 120 ribu sebulan. "Guru anjing saja satu jam dibayar Rp 40 ribu. Empat anjing berarti Rp 160 ribu. Kalau kita banyak anjing, barangkali guru-guru kita banyak yang jadi guru anjing", katanya. Di tengah keruwetan mencari biaya pendidikan, Ali Sadikin yang tahu persis di daerahnya selalu terjadi ada bermacam pungutan liar di luar SPP (untuk bangku SMA ada yang sampai Rp 200 ribu) segera mengajukan tawaran kepada masyarakat. "Dari pada dilarang tidak jalan, dari pada Kepala Sekolah membabi buta menentukan pungutan, saya cuma mengusulkan, sebab memang resminya sih dilarang", ujar Ali. "Saya tawarkan kepada masyarakat, apa kita mau bohong-bohongan atau mau jujur. Mau diatur atau mau main liar-liaran begini". Ali Sadikin kemudian mengusulkan: uang sekolah. Belum jelas apakah pada tahun pelajaran mendatang gubernur itu akan merealisir usulnya. Karena melakukan pungutan terhadap murid-baru, setelah dihitung-hitung drs Achmad, dari Dinas P & K Jakarta, rata-rata seorangnya bakal terkena minimal Rp 10 ribu. "Terang sangat berat buat masyarakat banyak", ucap Achmad. Tentu dengan hapusnya SPP tahun depan, beban pendidikan menjadi semakin berat. Dengan jumlah persisnya Rp 86 juta setiap bulan uang yang bakal hilang akibat penghapusan SPP. "DKI tidak mampu menutupnya" ujar Syarifin Alam, Humas DKI. Kalau pun ada dana yang tersedia, "pemda DKI masih menganggap lebih penting secepatnya mengadakan gedung sekolah baru", tambah Syariful. Sementara itu Ali Sadikin beranggapan, "tahun ini adalah tahun sial buat DKI". Selain SPP yang hapus, uang masuk DKI bakal makin berkurang kalau saja larangan impor film nanti dilaksanakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus