JAKARTA bukan Cikampek, Jakarta adalah Betawi", ucap Ali Sadikin
setengah berteriak dalam pertemuan dengan guru-guru se DKI
beberapa tahun yang lalu. Dalam pertemwan yang berlangsung di
Jakarta Theater yang juga dihadiri Prof. Bachtiar Rifai Dirjen
Pendidikan waktu itu, Barig Ali menyambung: "Karena itu tak ada
orang yang paling tahu tentang kota ini, kecuali saya". Maksud
Gubernur tentu saja yang tahu persis tentang masalah pendidikan
di Jakarta, antara lain dia.
Memang sudah sejak beberapa tahun ini Jakarta mengidap masalah
pendidikan yang ruwet. Antara pertambahan anak usia sekolah yang
melaju pesat dengan usaha penyediaan bangku sekolah yang tidak
kalah cepatnya, terus saling berlomba. Sampai kini yang terakhir
itu selalu kececeran. Maklum, pertambahan anak usia sekolah di
ibukota negara itu bukan cuma hasil produksi warganya sendiri,
tapi anak tetangga dari daerah lainnya turut berebut bangku
sekolah. Tahun pelajaran ini, kelompok yang terakhir itu
mencapai jumlah 6 ribu orang. Sementara laju kenaikan penduduk
Jakarta sendiri yang menurut sensus 1971, sebanyak 4% setahun,
ternyata rnencapai 5,8%. Dan dari seluruh penghuni kota
"metropolitan" ini, 22% di antaranya anak-anak usia sekolah.
Keadaan serupa itu tentu saja memhuat Jakarta makan porsi yang
sangat besar untuk biaya pendidikannya. Tak heran bila Keputusan
Presiden untuk menghapus SPP, membuat Ali Sadikin merasa loyo.
Memang, bagi gubernur yang menempatkan masalah pendidikan pada
prioritas kedua setelah masalah perbaikan kampung itu, SPP lama
maupun yang disempurnakan nampaknya dianggap tak pernah cocok
dengan kondisi wilayahnya. Jauh sebelum SPP disempurnakan
keluar, Ali Sadikin sudah lebih dulu mencoba mendirikan BP3 di
skolah-sekolah. Bahkan sempat memberikan ultimatum kepada semua
sekolah agar sebelum 15 Maret 1973, badan itu sudah harus
terbentuk. "Saya tak usah menunggu keputusan Menteri, karena
kita membutuhkannya sekarang juga", katanya. Sementara kebijak-
sanaannya untuk mengembalikan penerimaan SPP yang sebesar 20%
(peraturan SPP lama) kepada fihak sekolah yang bersangkutan,
jelas tak bisa ditiru daerah lain. "Jumlahitu tak ada artinya
buat saya", katanya waktu itu, "Perwakilan P & K kehilangan 20%,
sekitar Rp 20 juta, tapi dia dapat Rp 300 juta dari DKI".
Kebijaksanaan Ali Sadikin yang menunjukkan bahwa SPP sering
kurang cocok dengan kondisi daerahnya, dibuktikan lagi ketika
SPP yang disempurnakan baru berjalan satu tahun. Dengan
Keputusan Gubernur 24 Desember 1975, Ali Sadikin menilai,
pelaksanaan SPP di Jakarta kurang mencerminkan kelancaran,
kestabilan dan peningkatan efisiensi serta mutu sekolah. Karena
itu, katanya, perlu diambil langkah-langkah perbaikan. Dan
sambil menunggu persetujuan lebih lanjut dari Menteri P & K,
demikian isi surat keputusan itu, Ali melakukan kebijaksanaan
merubah komposisi prosentase yang tadinya 50% untuk Pengadaan
Sekolah dan 30% untuk kesejahteraan Personil Sekolah, menjadi
sebaliknya. Guru mendapatkan porsi paling banyak dari SPP. Namun
keputusan yang harus berlaku pada tahun pelajaran 1976 ini,
ditolak Menteri P & K lewat telegram tanggal 17 Januari l975.
Tapi itu tak membuat surat keputusannya sama sekali tak
dilaksanakan sekolah di wilayahnya. Tingkat SD misalnya,
ternyata melaksanakan SPP yang "disempurnakan" Ali Sadikin.
Pada awal tahun ini pula, Ali Sadikin membeberkan betapa DKI
sudah memberi begitu banyak biaya untuk pendidikan. Menunjuk
biaya per murid SD per tahunnya, gubernur menyebut angka Rp 38
600. Biaya itu dari pemerintah pusat hanya masuk sebesar Rp
13.300, dan dari SPP hanya Rp 3.800. Berarti biaya seorang murid
SD mengalami defisit sebesar Rp 21.600 (56,5%). Atas dasar ini
Ali Sadikin berkesimpulan: Sekolah tak bisa gratis. "Ada anggota
DPR yang usul agar sekolah gratis, mimpi orang ini", katanya
gemes. Tak sampai di situ, Ali juga berpendapat gaji guru dengan
tiga orang anak pantasnya memperoleh Rp 120 ribu sebulan. "Guru
anjing saja satu jam dibayar Rp 40 ribu. Empat anjing berarti Rp
160 ribu. Kalau kita banyak anjing, barangkali guru-guru kita
banyak yang jadi guru anjing", katanya.
Di tengah keruwetan mencari biaya pendidikan, Ali Sadikin yang
tahu persis di daerahnya selalu terjadi ada bermacam pungutan
liar di luar SPP (untuk bangku SMA ada yang sampai Rp 200 ribu)
segera mengajukan tawaran kepada masyarakat. "Dari pada dilarang
tidak jalan, dari pada Kepala Sekolah membabi buta menentukan
pungutan, saya cuma mengusulkan, sebab memang resminya sih
dilarang", ujar Ali. "Saya tawarkan kepada masyarakat, apa kita
mau bohong-bohongan atau mau jujur. Mau diatur atau mau main
liar-liaran begini". Ali Sadikin kemudian mengusulkan: uang
sekolah. Belum jelas apakah pada tahun pelajaran mendatang
gubernur itu akan merealisir usulnya. Karena melakukan pungutan
terhadap murid-baru, setelah dihitung-hitung drs Achmad, dari
Dinas P & K Jakarta, rata-rata seorangnya bakal terkena minimal
Rp 10 ribu. "Terang sangat berat buat masyarakat banyak", ucap
Achmad.
Tentu dengan hapusnya SPP tahun depan, beban pendidikan menjadi
semakin berat. Dengan jumlah persisnya Rp 86 juta setiap bulan
uang yang bakal hilang akibat penghapusan SPP. "DKI tidak mampu
menutupnya" ujar Syarifin Alam, Humas DKI. Kalau pun ada dana
yang tersedia, "pemda DKI masih menganggap lebih penting
secepatnya mengadakan gedung sekolah baru", tambah Syariful.
Sementara itu Ali Sadikin beranggapan, "tahun ini adalah tahun
sial buat DKI". Selain SPP yang hapus, uang masuk DKI bakal
makin berkurang kalau saja larangan impor film nanti
dilaksanakan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini