Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Orde baru di jalur lambat

Hasil seminar 25 tahun orde baru dirangkum oleh ypii. dikhawatirkan orde baru kehilangan relevansinya. dpr belum optimal menjalankan fungsinya. ada penyimpangan terhadap proses deregulasi ekonomi.

19 Januari 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA terasa hening ketika Abdul Gafur membacakan Sumbangan Pikiran Eksponen Angkatan '66 kepada Presiden Soeharto di Istana Negara, Sabtu pekan lalu. Beberapa di antara 350 hadirin lebih yang memenuhi ruang Istana terdengar berbisik, mengatakan bahwa yang dibawakan oleh Gafur cukup mengena. Itulah hasil seminar yang dirangkum oleh Yayasan Pembangunan Pemuda Indonesia (YPPI), organisasi yang menghimpun eksponen Angkatan '66, pimpinan Abdul Gafur dan Cosmas Batubara. Seminar di Gedung Departemen Tenaga Kerja, Jakarta, 10 Januari lalu, yang bertema sentral Pengembangan Kualitas Demokrasi Pancasila, berlangsung semarak. Apalagi dengan tampilnya para Ketua Umum PDI, PPP, Golkar, dan Panglima ABRI. Mereka setuju menilai UUD '45 berciri sederhana, tetapi supel (elastis), hingga membuka peluang besar untuk mengakomodasikan dan memecahkan masalah dan tantangan baru yang dihadapi bangsa dan negara. Mereka juga sepakat "sistem pemerintahan didasarkan atas sistem presidensial, dan bukan parlementer, dengan kekuasaan presiden cukup besar, tapi bukan tanpa batas." Mereka mengakui Orde Baru yang berusia 25 tahun telah berhasil banyak. Namun, mereka khawatir Orde Baru akan kehilangan relevansinya jika potensi dan kemampuan untuk selalu memperbarui diri kurang bisa dikembangkan. Seminar, baik yang di Depnaker maupun yang diselenggarakan eksponen '66 yang pernah tergabung dalam Laskar Ampera Arief Rachman Hakim, 11 Januari lalu di Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, juga merasa prihatin melihat "masih lemahnya tingkat kemandirian infrastruktur politik, yaitu partai politik dan Golkar." Ismail Hasan Metareum, Ketua Umum DPP PPP, bahkan menuding, "Melalui suatu rekayasa politik, keberadaan kekuatan sosial politik telah menghasilkan kekuatan politik yang bersifat monopolitas, ... yang satu digendong dengan segala kasih sayang sedang yang lain dibiarkan hidup terlunta-lunta .... " Ketua Umum DPP PDI, Soerjadi, menilai kewenangan dan kekuasaan Presiden menurut UUD '45 adalah besar. "Namun banyak pihak berpendapat kekuasaan presiden sekarang ini dianggap terlampau besar, terutama dibandingkan dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang lainya, khususnya DPR. Karena itu, DPR dinilai tidak berada dalam bobot partner kerja sama presiden," katanya. Maka, YPPI pun merasa prihatin melihat, "Lembaga tertinggi/tinggi negara khususnya DPR belum secara optimal menjalankan fungsinya sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Dasar 1945." YPPI juga mencatat "terjadinya penurunan kadar patriotisme, lemahnya etos kerja, tergesernya nilai-nilai luhur bangsa, termasuk integritas serta tumbuh dan berkembangnya berbagai bentuk feodalisme," di samping semua kemajuan yang telah kita capai. Kelemahan tersebut, menurut YPPI, "bukan semata-mata akibat sampingan dari pembangunan -- yang berkonsentrasi pada pembangunan ekonomi -- tetapi lebih banyak oleh sikap dan perbuatan yang belum menempatkan kepentingan negara di atas kepentingan pribadi/golongan." Kelemahan itu juga akibat "kurangnya keteladanan, dan sikap mental yang mengambil jalan termudah, bukan terbaik, serta pengaruh nilai-nilai dari luar." Adalah menarik apa yang dikemukakan Ketua Umum Golkar, Wahono, yang menyangkut dinamika dan keterbukaan politik. "... masyarakat dewasa ini sudah mulai 'melek' politik, kritis, dan mulai fasih dan berani mengartikulasikan pendapatnya, serta menyatakan apa yang diinginkannya," katanya. Jenderal Try Sutrisno juga menyatakan, "ABRI akan terus mendorong terwujudnya suasana keterbukaan politik yang sehat dan bertanggung jawab serta sesuai dengan tatanan dan nilai-nilal budaya bangsa." Itu pula sebabnya YPPI menyimpulkan, "Iklim keterbukaan yang bertanggung jawab perlu lebih ditumbuhkembangkan karena merupakan faktor kunci dari pelimpahan dinamika yang ada dalam masyarakat ke bidang politik dengan berbagai institusinya." Juga, "Tatanan hukum yang dilandasi Pancasila harus semakin menonjol dalam upaya mewujudkan citra negara yang berdasarkan atas hukum." Hal yang juga disoroti dalam seminar adalah berbagai penyimpangan terhadap proses deregulasi ekonomi. Maka, YPPI menyimpulkan, "Ada kalanya diperlukan peraturan perundangan baru untuk menjamin kepastian hukum, dan sekaligus mengurangi distorsi yang ditimbulkan oleh adanya deregulasi." Banyak suara lalu menuding para konglomerat yang kebanyakan dikuasai oleh kelompok nonpri telah menyalahgunakan deregulasi. Maka, Sofjan Wanandi, salah seorang eksponen '66 yang kini pengusaha besar, merasa prihatin. "Saya melihat masalah konglomerat sudah jadi isu politik," katanya. Dia khawatir jika mereka dipepet akan bisa mengacaukan keberhasilan program pembangunan 25 tahun mendatang. "Jangan lupa, sebagian besar dari mereka dapat pinjaman dari pemerintah juga,' katanya. Tepat juga bila Prof. Dr. Emil Salim berpendapat, salah satu agenda penting Pemerintah adalah memantapkan proses nation building. "Nonpribumi adalah warga negara Indonesia. Masih ada di masyarakat kita yang merasa kurang sreg dengan mereka," katanya. Masalah yang sering disebut "kecemburuan sosial" menunjuk- kan betapa sebagian kecil dari masyarakat Indonesia, termasuk yang pribumi, sudah mampu berlari di jalur cepat. Sebagian besar masih berjalan di jalur lambat. Itulah dilema Pemerintah, kini, dan nanti. Fikri Jufri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus