TEGUH SRIMULAT (BERPACU DALAM KOMEDI DAN MELODI) Penulis: Herry Gendut Janarto Penerbit: PT Gramedia, Jakarta, 1990, 213 halaman. PANGGUNG Srimulat Jakarta telah tiada. Namun, "srimulat" sebagai sebuah bentuk tontonan sudah terabadikan dalam hati setiap orang. Teguh, pimpinannya, telah berhasil membuat sebuah formula yang sulit tertandingi. Gabungan lawak, musik, dan lakon yang pas dengan selera kita. Tak mengherankan kalau pengaruhnya tetap terasa sampai sekarang. Inilah bentuk tontonan yang pernah menggetarkan TIM Jakarta. Penontonnya berjubel. Mobil-mobil berdesakan mengantarkan peminatnya. Itulah untuk pertama kalinya seni tontonan di negeri ini mencobakan midnight show -- sesuatu yang biasanya milik layar perak. Dan sukses. Banyak tokoh komedian kita yang tersohor adalah jebolan/lulusan Srimulat. Pengaruh Srimulat di dalam percakapan sehari-hari juga tidak kecil. Bahkan teater modern Indonesia pun menikmati dan mempergunakan jurus-jurus yang ditemukan oleh Teguh, pemimpin dan sutradaranya itu. Srimulat adalah sebuah fenomena yang unik. "Pertunjukan lawak harus bisa dimengerti penontonnya. Saya membuat cerita dengan perhitungan-perhitungan tertentu dan ada unsur kejiwaan di dalamnya. Tanpa hal ini, pertunjukan lawak akan terjebak menjadi cengeng, kenes, dan ugal-ugalan belaka. Dan penonton pun akan lari," kata Teguh dalam buku itu. Herry Gendut Janarto berusaha merekam fenomena itu dalam sebuah buku yang berformat bagaikan album. Di dalamnya, kita melihat sejarah perkembangan Srimulat. Kita diajak menelusuri hidup Srimulat, yang sudah malang-melintang di panggung tontonan pada 1936. Khususnya di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ia seorang sripanggung yang serba bisa. Menyanyi, melawak, menari, dan juga melakukan pembaruan-pembaruan pada seni tradisional. Khususnya ketoprak dan wayang. Gendut juga menjumpai Srimulat yang suka memainkan tokohtokoh wanita pemberontak itu (Srikandi Edan, Larasati Kapiran), sebagai pembela kebenaran. Pada tahun 1938, ia membela matimatian pesinden Nyai Mas Sulandjari dari Mataramsche Toneelspel yang berhasil memenangkan lomba Batikleeding di Pasar Amal Yogyakarta. Oleh para seniman Yogyakarta dan Solo, ia dianggap anak wayang yang tidak pantas, memenangkan kontes yang diikuti oleh banyak putri berdarah biru. Apalagi pemenang kedua dan ketiga ternyata putri bangsawan. Srimulat, 39 tahun, yang pernah gagal tiga kali dalam perkawinannya, akhirnya bertemu dengan Teguh (21 tahun). Anak Kho Swie Hien dan Go Djoen Nio yang pemain gitar itu akhirnya menjadi "Mas" Srimulat. Mereka mendirikan "Keroncong Avond" di pasar malam Tegal. Dan ketika mereka menikah pada 8 Agustus 1950 di Solo, Keroncong Avond disulap menjadi "Gema Malam Srimulat". Sebuah rombongan keliling yang kelak tidak hanya menyuguhkan nyanyian, tetapi juga lawak. Mereka diperkuat oleh lima pelawak dari Dagelan Mataram, antara lain ada nama Bandempo dan Ranudikromo. Menurut Ranudikromo, dagelan berasal dari kata "dagel" yang berarti tidak matang dan tidak mentah. "Atau dengan kata lain, tanggung. Jadi, kata dagelan berarti suatu sifat atau keadaan tanggung. Apa pun yang serba tanggung akan tampak lucu, aneh, dan menggelikan," tulis Gendut. Formula itulah yang selalu kita jumpai dalam penampilan Srimulat sampai sekarang. Wawancara intensif dengan Teguh membeberkan pada kita jurus- jurus Srimulat. Bahwa segalanya tidak begitu saja terjadi, tapi lewat perhitungan. Teguh kemudian meneruskan Srimulat mengembangkan lebih lanjut apa yang dikembangkan dalam Dagelan Mataram di Yogya. Apa yang disebut "ngudarasa", monolog, ucapan langsung pelawak kepada penonton dijadikan tradisi. "Kelucuan bermula dari adanya kesalahpahaman seseorang atau perkataan orang lain sehingga menimbulkan dialog yang terasa aneh. Tumpang tindih. Simpangsiur. Jungkir balik. Meleset tak keruan," tulis Gendut. "Teguh terus menggali kebesaran Dagelan Mataram. Isi lawakannya berkisar pada kehidupan sehari-hari dalam masyarakat Jawa, segmen jelata, dengan berbagai jargon populis yang menggelitik." Buku ini juga mencatat bagaimana asal-muasalnya terjadi perpecahan di Srimulat Surabaya sehingga Johny Gudel dan kawankawannya hijrah ke Jakarta. Di Jakarta, Srimulat akhirnya kembali ke tangan Teguh, lalu meledak di Taman Ria Senayan. Namun, ia kemudian surut kembali secara drastis. Foto terakhir menunjukkan bagaimana mereka kesepian penonton di panggung Stadion Lebakbulus. Akhir masa keemasan yang tragis. Contoh keterlambatan kecanggihan manajemen dalam bisnis tontonan yang sedang tumbuh pesat. Gendut menulis buku ini dengan penuh simpati dan bersemangat. Gaya penulisannya basah. Hingga enak dibaca. Ia pun cukup adil dalam menilai perpecahan di dalam tubuh Srimulat. Barangkali yang kurang adalah bentuk fisik (format) buku ini yang tak menarik karena menjadikannya terasa sebagai sesuatu yang tidak penting. Padahal, untuk bisnis hiburan, Srimulat adalah fenomena yang unik. Sementara itu, dari sudut tontonan, seni teater, Srimulat adalah bagian dari perkembangan teater modern Indonesia. Itu yang tidak terungkap. Putu Wijaya
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini