Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pagar-pagar pemilu

Wawancara tempo dengan mayjen nugroho, wakil ketua panwaslakpus (panitia pengawas pelaksanaan pemilu pusat) tentang pelanggaran peraturan dalam kampanye dan pemilu, materi kampanye, dst. (nas)

4 Oktober 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMILU penting, antara lain, untuk mengabsahkan kekuasaan. Salah satu aparat yang netral dalam Pemilu, adalah Panitia Pengawas Pelaksanaan Pemilu Pusat (Panwaslakpus), lembaga yang antara lain, mengawasi penghitungan suara. Sampai Pemilu 1982 lalu, Panwaslakpus hanya dipimpin seorang ketua, dan sisanya anggota. Tapi, selain ketua yang tetap dipegang Jaksa Agung, untuk pemilu mendatang, ada lima wakil ketua, masing-masing dari ketiga kontestan pemilu, serta dari unsur pemerintah dan ABRI. Wakil Ketua dari unsur ABRI itu adalah Mayjen Nugroho, yang sehari-hari juga berkedududkan sebagai Jaksa Agung Muda Bidang Intel. "Panwaslak itu bukan hakim, yang menghukum seseorang atau pelanggar," katanya kepada Toriq Hadad dan Agus Basri dari TEMPO, yang mewaancarainya selama dua jam. "Juga, bukan badan penentu terakhir. Panwaslak hanya menyarankan pada Panitia Pemilihan Indonesia (PPI)." Dalam kampanye dan pemilu, ada tiga jenis pelanggaran. Pertama, yang secara materi melanggar UU dan KUHP. Misalnya penganiayaan. Kalau tidak mau memilih "ini", saya pukuli. Ini pelanggaran KUHP. Jadi, otomatis kasus pidana. Dalam hal ini, Panwaslak hanya mencatat, melaporkan, dan memberikan saran. Tapi, kasus seperti Peristiwa Lapangan Banteng (1982) itu langsung ditangani aparat. Yang kedua, melanggar peraturan pemilu. Misal, ada yang menggunakan hak suara sampai dua kali. Ini ada sanksinya sendiri. Dalam kasus ini, Panwaslak mengusulkan pada PPI, untuk mengambil tindakan sesuai dengan hukum yang berlaku. Dan, yang ketiga, hal-hal yang tidak diatur dalam UU. Berikut petikan wawancara itu: Apakah orang yang melanggar itu kehilangan hak suara? Itu tidak diatur. Itu nanti dimusyawarahkan Panwaslak. Ada yang bisa terkena subversi? Tentang subversi, ini menyangkut materi kampanye. Dalam kampanye 'kan dilarang mencaci-maki. Kalau yang dicaci-maki Pancasila, atau menghasut untuk membenci pemerintah, ya, itu dikenakan UU Subversi. Kalau menilai kebijaksanaan pemerintah? Itu juga nggak boleh. Bisa membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa. Dan itu memang dipagari. Lebih baik kontestan bilang begini, "Kalau saya menang, saya akan buatkan rumah untuk tukang becak". Jadi, memang ada pembatasan. Tanpa pembatasan, akan bisa mengarah ke soal agama dan suku. Ini lha 'kan .... Jadi, nggak usah bilang, "Jangan seperti sekarang, pemerintah itu apa ...."Jangan begitu. Itu bisa memecah belah bangsa. Pemilu itu 'kan memilih DPR. Juga berarti MPR. Dan MPR itulah yang nantinya memilih pemerintah yang baru. Artinya, sah memberikan penilaian pada pemerintah yang sekarang. Sah, sih, sah. Tapi, dihubungkan dengan pemilu, berarti menyangkut kepentingan bangsa. Jadi, ada hak umum, dan ada pembatasan terhadap situasi dan kondisi. Kalau di Amerika, boleh, karena di sana orang omong macam-macam, nggak apa-apa. Tapi, di negeri ini, agama dan suku, misalnya, masih soal sensitif. 'Kan Kamtibmas sudah mantap .... Ya. Tapi, daripada ada yang korban. Ini 'kan kondisi. Tiap negara itu punya aturan sendiri sesuai dengan kondisinya masing-masing. Untuk itu perlu pagar. Kalau tidak dibatasi, tujuan pesta demokrasi sebagai momen yang tertinggi -- untuk menciptakan pemerintahan yang baru seperti disebutkan tadi -- tujuan utamanya bisa tidak tercapai. Bagaimana kalau pengkhotbah bicara di masjid, misalnya. Kalau khotbahnya berbau kampanye, dan itu diucapkan saat kampanye, itu dilarang. Kalau itu bukan forum kampanye, pada khotbah Jumat, misalnya, itu urusan aparat keamanan. Kami dan Panwaslak paling cuma bilang bahwa ada pengkhotbah yang menyalahgunakan. Bagaimana membedakan materi kampanye yang diperbolekan dengan yang tidak? Ya, biasnya ada pendengar yang lapor. Tidak semua pendengar itu sama. Jadi, kebebasan itu ada. Tapi, tidak berarti umbar-umbaran. Bagaimana kalau Golkar yang melanggar? Ya, ditindak. Sama saja, kok. Nggak ada perbedaan. Apakah sebelum kampanye ini, sudah ada yang melanggar? Saya belum melihat hal itu. Kalau ada yang sudah kampanye, ya, harus kami laporkan. Tapi tampaknya belum ada. Kunjungan tokoh-tokoh Golkar ke daerah-daerah, apakah itu bukan kampanye? Nggak itu. Dan kaset Golkar itu? Persiapan membuat kaset untuk pemilu, lalu diputar dan didengar sendiri, itu nggak apa-apa. Sebab, yang namanya kampanye, mesti memenuhi syarat: mengumpulkan massa, dan juga melakukan pidato. Kalau ada anak-anak SD diajar nyanyi Golkar, seperti terjadi di Sum-Ut, apa itu bukan kampanye? Ya, itu nanti kami tampunglah. Kami catat, deh. Bukankah itu mempolitisir anak-anak? Kalau itu benar, itu juga belum berarti melakukan kampanye. Tapi, memang sudah mengarah. Ya, kampanye itu 'kan ada batas waktu dan definisinya. Kalau menyebar kaset gratis, seperti kaset Golkar. Golkar belum menyebarkan kaset itu. Wong di Dharma Wanita, istri saya grenengan disuruh mbayar eee ... (Tertawa). Pada pemilu-pemilu yang lalu, siapa yang paling banyak melakukan pelanggaran? Itu sulit dijawab. Sebab, sekarang aturan mainnya berbeda. Aturan pada Pemilu 1971 berbeda dengan Pemilu 1977, dan berbeda dengan Pemilu 1982. Peristiwa Lapangan Banteng, 1982, misalnya. Waktu itu 'kan kampanye Golkar. Terus ada yang nyobek bendera. Itu yang salah Golkar atau siapa? Sulit 'kan menganalisanya. Penyelenggara kampanye sendiri, sebenarnya, tidak melakukan kesalahan. Cuma terus terjadi tawur. Itu yang salah siapa? Ini 'kan sulit. Kita nggak bisa menyalahkan Golkar, dan juga nggak bisa menyalahkan PPP. Kalau pada Pemilu 1987, ada aparat yang melanggar, bagaimana ...? Ya, ditindak, dong. Kalau seorang pejabat ikut kampanye dan tidak punya izin, itu ditindak sesuai dengan PP No.30 Tahun 1980, tentang disiplin pegawai ngeri sipil. Kalau tentara seperti saya, ya, kena hukuman disiplin militer. Siapa yang mengawasi jika menteri kampanye? Ya, Panwaslak. Kalau misalnya si menteri ngomong, mencaci-maki pemerintah, itu 'kan salah. Mencaci-maki kontestan lain, atau perorangan, juga salah. Sejauh mana penghitungan suara pada pemilu mendatang bisa dipercaya? 'Kan ada Panwaslak, dan ada saksi-saksi. Dan, di Indonesia, pers 'kan bebas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus