Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Ketua Umum Partai Amanat Nasional atau PAN, Zulkifli Hasan menolak rencana amandemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar atau UUD 1945 oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat atau MPR.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Menurut Zulhas, sapaan akrab Zulkifli Hasan, tidak ada urgensi yang mengharuskan amandemen UUD 1945 dilakukan saat ini. Apabila situasi hari ini dinilai terjadi kemunduran demokrasi, kata dia, tidak bisa menjadi alasan untuk melakukan amandemen.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Tidak harus kita mengubah pemilihan presiden dikembalikan kepada MPR," kata Zulhas usai ditemui pimpinan MPR di kantor DPP PAN, Rabu, 3 Juli 2024.
Adapun rencana amandemen kelima ini, mulanya mengemuka manakala Ketua MPR, Bambang Soesatyo melakukan kegiatan silaturahmi kebangsaan. Kegiatan tersebut dilakukan dengan menemui sejumlah tokoh negara dan partai politik.
Dalam pertemuan dengan Amien Rais, pimpinan MPR membahas peluang amandemen kelima UUD 1945, khususnya untuk mengubah tata cara pemiihan Presiden dan Wakil Presiden.
Amien Rais sebagai bekas Ketua MPR mengakui kenaifan dirinya saat bertugas dulu, yaitu melucuti kewenangan MPR untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut dia, saat itu, pelucutan terhadap kewenangan MPR dilakukan dengan mempertimbangkan pembatasan terhadap praktik politik uang yang potensial terjadi dalam perhelatan kontestasi elektoral.
Namun kini, Ketua Majelis Syura Partai Ummat tersebut mendorong agar dilakukan perubahan konstitusi, di mana MPR memiliki kembali kewenangannya untuk memilih Presiden.
Sebab, ia mengklaim bahwa praktik demokrasi yang dilakukan sejauh ini terus mengalami kemunduran. “Kalau mau dikembalikan dipilih MPR mengapa tidak,” ujar Amien.
Dalam kesempatan yang sama, Wakil Ketua Umum PAN, Viba Yoga Mauladi, mengatakan wacana mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih dan memberhetikan Presiden lewat amandemen, sama saja dengan membunuh demokrasi. "Kenapa harus dilakukan kalau hanya menyebabkan kemunduran," kata Viva.
Selaras dengan PAN, partai di Koalisi Indonesia Maju lainnya, salah satunya Demokrat juga menolak rencana ini.
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Alfian Mallarangeng, mengatakan mengembalikan kewenangan MPR untuk memilih dan memberhentikan Presiden sama saja melakukan penyanderaan.
"Tentunya ini menjadi upaya menyandera Presiden. Sikap kami tetap, menolak," kata Andi.
Mantan Menteri Pemuda dan Olahraga era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tersebut melanjutkan, rencana mengembalikan kewenangan MPR seperti dahulu sama saja dengan membuat kemunduran terhadap prinsip demokrasi yang telah dianut lebih dari dua dekade.
Sebab, dalam negara demokrasi, rakyat memiliki hak dan kewenangan penuh untuk memilih calon pemimpinnya, sebagaimana yang dilakukan pada Pemilu 2004 silam, atau saat pasangan SBY-Jusuf Kalla memenangi kontestasi elektoral pertama.
"Jika MPR Kembali punya kewenangan memilih dan memberhentikan Presiden. Ini sama saja dengan kita mengebiri hak demokrasi rakyat," ujar dia.