BLITAR kembali tenang. Hanya sejumlah spanduk bertuliskan ?Haul Bung Karno Ke-31? dan ?Peringatan 100 Tahun Sukarno? di sepanjang jalan yang menjadi pertanda bahwa telah terjadi perhelatan akbar di kota Jawa Timur tempat Proklamator Sukarno dimakamkan itu. Bahkan, suasana makam yang terletak di utara Blitar sudah sepi. Hanya satu-dua orang yang masih mendatanginya.
Puncak ingar-bingar acara haul ke-31 dan 100 tahun Sukarno memang sudah terjadi pada pertengahan pekan lalu. Presiden Abdurrahman Wahid dan Wakil Presiden Megawati Sukarnoputri hadir pada puncak acara yang digelar di Alun-Alun Kota Blitar. Di jajaran kursi sofa untuk tamu-tamu istimewa juga tampak Ketua Umum Peringatan 100 tahun Sukarno, Rachmawati Sukarno, putra-putri Sukarno lainnya, serta beberapa petinggi PDI Perjuangan dan kiai NU.
Memang, sudah selayaknya bila peristiwa seakbar itu dimanfaatkan oleh banyak pihak. Pemerintah setempat memberi fasilitas bebas pajak bagi perusahaan-perusahaan yang memasang spanduk dengan tema haul dan peringatan hari jadi Sukarno yang ke-100. Pemerintah juga mengizinkan warga Blitar membuka rumah mereka untuk disewakan bagi para pendatang dengan tarif yang masuk akal.
Selain itu, layak juga bila momen itu dipakai untuk pawai besar-besaran para pengagum dan pengikut Sukarno. Rabu pagi pekan lalu, ribuan massa dari Blitar dan kota-kota sekitar melakukan konvoi keliling kota dengan seragam merah PDI Perjuangan yang menyala. Blitar ingar-bingar dengan raungan sepeda motor dan musik keras yang mereka dengungkan di sepanjang jalan, lengkap dengan bendera banteng bermulut putih, bergambar Bung Karno dan Megawati.
Warna merah masih ditimpali lagi dengan warna hitam. Mereka adalah ratusan pemuda Marhaen?yang sebagian besar datang dari Jakarta?berjalan memadati Blitar. ?Hidupkan ajaran Bung Karno, Marhenisme ideologi kita,? demikian teriakan mereka dan tulisan pada spanduk yang mereka bawa.
Tidak mau ketinggalan, para aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) juga melakukan gerak jalan, sambil menyanyikan lagu-lagu perjuangan dan mars GMNI. Mereka menuntut pencabutan Tap MPRS 1968 yang melarang penyebarluasan ajaran Bung Karno.
Namun, yang tak kurang meriah adalah atmosfer politis yang menyertai peringatan itu. Suasana akhir-akhir ini memang diwarnai oleh hubungan renggang antara Presiden Abdurrahman dan Megawati. Dan dalam tradisi politik paternalistik, orang pun dengan gampang melihat potensi ?perseteruan? warga NU dan massa PDI Perjuangan.
Entah iseng atau serius, sebuah spanduk di jalur utama Malang-Blitar berbunyi seperti ini: ?Selamat datang Gus Dur dan Ibu Rachmawati Soekarnoputri?. Adakah kesengajaan? ?Saya tidak tahu siapa yang memasang, tahu-tahu sudah ada. Apa mungkin keliru menulisnya, ya. Maunya nulis Megawati jadi Rachmawati,? ujar Wahono, salah seorang warga desa setempat.
Dalam konteks politik nasional, spanduk itu punya makna lain. Belakangan ini Rachmawati memang lebih menjadi penyambung lidah Presiden Abdurrahman ketimbang Megawati, saudaranya sendiri?fakta yang melukiskan pula perpecahan politik dalam tubuh keluarga Bung Karno.
Di lapis bawah, sejak April lalu telah beredar isu boikot warga nahdliyin terhadap peringatan meninggalnya Bung Karno di Blitar. Gara-gara kabar burung itu, Ketua Tanfidziyah NU, K.H. Hasyim Muzadi, bertamu ke kediaman Rachmawati untuk menyampaikan langsung jaminan bahwa warga NU tak akan melakukan aksi boikot.
Sehari menjelang peringatan, Pengurus Cabang NU Blitar bahkan secara demonstratif menebar dari helikopter ribuan selebaran yang berisi imbauan agar warga NU menghadiri haul Sukarno untuk menghormati K.H. Abdurrahman Wahid dan mendengarkan ceramah dari K.H. Cholil Bisri dari Rembang. ?Selebaran itu merupakan upaya Pengurus NU Cabang Blitar untuk menepis isu pemboikotan haul Bung Karno oleh warga nahdliyin yang merebak sejak dua bulan lalu,? kata K.H. Abdul Rochim Sidik, sesepuh NU Blitar.
Tampaknya, upaya pengurus NU mematahkan isu boikot ini efektif. Setelah hujan selebaran, Selasa sorenya, warga nahdliyin mulai berdatangan menuju Alun-Alun Blitar. Ibu-ibu berjilbab, bapak-bapak bersarung, dan para pemuda berbaju takwa dan berkopiah berdatangan dari berbagai pelosok kota dan Kabupaten Blitar, memasuki Blitar dengan kendaraan terbuka seperti truk dan mobil pikap. Mereka pun rela tidur di trotoar-trotoar, menggelar tikar di atas rerumputan alun-alun dan menginap di masjid atau musala sekitar alun-alun, menunggu kedatangan Abdurrahman.
?Jika tidak ada selebaran, mungkin kami tak akan datang ke haul Bung Karno,? kata Ny. Solekhah, 57 tahun, warga Sumbermanjing, Blitar, yang datang bersama anak dan menantunya dengan menumpang truk bersama warga sedesanya.
Tapi ternyata ketegangan masih berlanjut. Saat Presiden Abdurrahman memberi sambutan, massa meneriakinya dengan ?hu..., hu...,? dan meneriakkan nama lain, ?Mega, Mega, Mega....? Teriakan itu sempat membuat Presiden gusar.
Kumpulan massa yang meneriaki Presiden sangat dekat dengan pagar besi pembatas tempat duduk tamu-tamu VVIP. Hal ini sebenarnya aneh karena pada awal acara hanya ada ibu-ibu berjilbab itu. ?Menjelang Presiden Abdurrahman datang, tiba-tiba banyak orang merengsek maju mengusir kami, ya sudah kami ngalah saja,? ujar Ny. Dolifah, anggota Muslimat NU Kecamatan Ponggok, Blitar.
Untung saja, massa pendukung Mega tidak melanjutkan provokasinya. Mungkin karena pada akhirnya Megawati naik ke podium dan berpidato. Mega berpesan agar massa pendukungnya tidak menjadi anarkis. Dan, untungnya, warga nahdliyin juga bisa menahan diri. ?Jika kami tidak ngeman Gus Dur dan ulama yang lain, sudah kami gebuki orang-orang yang berteriak-teriak tadi,? ujar Mustofa, salah seorang anggota Banser NU.
Pada saat memberikan sambutan, Rachmawati menyatakan ?ada sebuah kekuatan yang ingin mengadu massa PDI-P dengan kaum nahdliyin?. Pendapat serupa juga diungkap oleh sesepuh NU di Blitar, K.H. Abdul Rochim Sidik. ?Itu merupakan upaya sejumlah orang di Jakarta yang punya uang untuk memecah belah warga NU dan simpatisan PDI-P,? katanya.
Bagaimanapun, menurut Riswandha Imawan, pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, kekhidmatan peringatan kematian dan kelahiran Sukarno memang telah diganggu oleh political struggle. Peristiwa itu menjadi arena perebutan simpati para elite politik di Jakarta.
?Saya kecewa, karena seharusnya kita berpikir bagaimana menempatkan orang yang telah meninggal dan mengingat jasa-jasanya,? kata Riswandha. ?Tapi yang terlihat adalah pertengkaran, sekalipun tidak langsung. Presiden, seusai memberikan sambutan yang sama sekali tidak terfokus itu, langsung meninggalkan tempat.?
Bina Bektiati, Heru C. Nugroho, Dwijo U. Maksum (Blitar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini