MENGIRINGI pelantikan sekretaris negara, Kamis pekan lalu, sepotong sindiran pedas dilempar oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Kata Presiden, Sekretariat Negara telah menjadi negara di dalam negara yang susah dikontrol. Lalu, ia berpesan kepada Maftouh Basuni, sekretaris negara yang baru, agar segera membenahi dapur kepala negara itu. Terasa sekali adanya ketidakpuasan Presiden atas kinerja Djohan Effendi, yang sebelumnya nongkrong di pos itu.
Telinga Djohan yang hadir dalam acara itu tidak memerah mendengar kritikan. Malah, raut muka lelaki 62 tahun tersebut tampak cerah. Ia tampak ikhlas melepas jabatan yang baru disandangnya selama setahun. Kata Bondan Gunawan, karibnya yang juga mantan sekretaris negara, Djohan terlalu lurus untuk menangani berbagai masalah rumit di lembaga itu.
Meski terkesan mendadak, pergantian itu tidak terlalu mengagetkan. Sejak akhir tahun lalu, Djohan sudah tidak nyaman karena sebagian kiai NU kurang menyukainya. Mereka menganggap sahabat Abdurrahman Wahid itu menganut Ahmadiyah Lahore, salah satu sekte dalam agama Islam. Tapi tudingan ini dibantah oleh figur yang dulu aktif di Forum Demokrasi, organisasi yang didirikan Abdurrahman Wahid itu.
Djohan juga kerap dituding lamban mengurusi dapurnya. Kali ini mantan Kepala Litbang Departemen Agama itu tidak mengelak. Ia mengaku sulit mendeteksi lalu-lintas surat di kantornya karena banyaknya "pintu" masuk.
Menurut sumber TEMPO, dalam beberapa bulan terakhir hubungan Djohan dan Presiden memang agak renggang. Ini gara-gara proses pembebasan tanah seluas 1.600 meter persegi di Jalan Veteran III, Jakarta Pusat, yang dimulai Januari lalu. Tanah ini merupakan lokasi perumahan eks tentara KNIL (Koninklijke Nederlands Indisch Leger). Di sana berdiri dua bangunan lapuk yang ditempati 11 keluarga Maluku keturunan tentara KNIL Belanda. Mereka dilindungi surat izin pakai yang se-lalu diperbarui oleh Pemda DKI.
Proses pembebasan ini sebetulnya hampir rampung. Pihak Sekretariat Negara sudah menetapkan ganti rugi sebesar Rp 2,7 juta per meter persegi. Orang-orang yang menempati dua rumah tua itu pun sudah oke. Ganti rugi akan dibayar pada 19 Maret 2001.
Belum lagi para penghuni menerima uang, pada 14 Maret lalu tiba-tiba Presiden bertandang ke salah satu rumah yang ditempati oleh Ary Loupatty. Saat itu Presiden dituntun Utpala Devi, seorang wanita 51 tahun yang belakangan mengklaim tanah itu sebagai milik Bung Karno, presiden pertama. Utpala sendiri mengaku sebagai anak sang Proklamator. Katanya, ia lahir di Bangka saat Sukarno diasingkan ke pulau itu. Dan anehnya, Presiden percaya begitu saja.
Setelah meninjau tanah itu, Presiden mendesak Djohan Effendi agar segera meneken surat keterangan tentang status tanah tersebut. Ia juga meminta agar proses pembebasan tanah itu dihentikan. Alasannya, tanah tersebut milik Bung Karno dan akan dialihkan kepada Utpala Devi sebagai ahli waris yang sah. Namun, sebelum itu Presiden memerintahkan agar pemilikan tanah dialihkan dulu ke salah seorang pejabat tinggi.
Djohan sempat kebingungan. Namun, akhirnya ia memutuskan menolak permintaan Presiden. Soalnya, status tanah itu sangat jelas. "Itu tanah negara dan tak boleh untuk swasta," kata Djohan kepada TEMPO. Ia juga mengatakan, selama dalam posisi sebagai sekretaris negara, ia tak akan membiarkan tanah itu jatuh ke tangan pribadi.
Bisa jadi pencopotan Djohan berkait dengan ketegasan sikapnya. Yang jelas, sampai sekarang status tanah di Jalan Veteran itu masih terkatung-katung. Menurut Kepala Biro Umum Sekretariat Negara, Taufik Sukasah, pembebasan tanah itu belum berlangsung.
Kini, tugas Maftouh Basuni merampungkan pekerjaan rumah itu. Dari pengalamannya, ia dinilai mampu mengurus Sekretariat Negara. Ia pernah menjadi Kepala Rumah Tangga Kepresidenan. Mantan Duta Besar RI di Kuwait ini berteman dengan Abdurrahman Wahid sejak kecil.
Cuma, kalau Presiden asal main perintah, bukan tidak mungkin kejadian seperti yang dialami Djohan akan terulang.
Darmawan Sepriyossa, Leanika Tanjung, dan Kurie Suditomo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini