SEPERTI ada yang tiba-tiba macet di Senayan. Deru menggelar sidang istimewa, yang semula begitu kencang, pekan lalu tiba-tiba tersentak berhenti. Padahal, Jumat dua pekan lalu, tiga hari setelah Presiden meneken surat izin pemeriksaan Ketua Umum Golkar Akbar Tandjung dan Ketua Fraksi PDI Perjuangan Arifin Panigoro, lima fraksi DPR meminta Badan Pekerja MPR mempercepat sidang beranggaran Rp 20 miliar itu dari jadwal yang telah ditetapkan pada 1-7 Agustus mendatang. Mereka adalah PDI-P, Golkar, Partai Persatuan Pembangunan, Reformasi, dan Partai Bulan Bintang.
Permintaan percepatan SI itu dapat diterima oleh guru besar hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Profesor Jimly Assidiqie: "Dari segi hukum, saya dapat membenarkannya." Dilihat dari maksud dan tujuannya, kata Jimly, yang belakangan kerap diminta advisnya oleh para tokoh lintas fraksi, Pasal 33 ayat 3 Tata Tertib MPR tak perlu kaku diinterpretasikan bahwa tenggang waktu badan pekerja menyiapkan sidang tak boleh kurang dari dua bulan.
Kelima fraksi bergerak cepat. Kapan SI dilaksanakan pun sudah mereka tentukan. Menurut seorang tokoh Poros Tengah, atas prakarsa PDI-P, pertemuan para pemimpin partai di Gedung Bidakara, Jakarta, dua pekan lalu, telah menghasilkan kesepakatan bahwa sidang istimewa akan dimulai 5 Juli. Sebelumnya, para ketua partai akan bertemu dulu antara 24 dan 26 Juni ini.
Tapi, hanya selang tiga hari, terobosan itu langsung mentah. Ketua Majelis, Amien Rais, yang biasanya amat bersemangat, malah berkata, "Jangan grasa-grusu dan gegabah." Pernyataan Amien diamini Akbar, yang se- belumnya keras berupaya mengebut jadwal.
Ada apa? Rupanya, PDI-P berbalik arah. Pada pertemuan di Hotel Regent, Selasa pekan lalu, petinggi "Banteng Bulat" tiba-tiba mencabut komitmennya. Alasannya, Mega tidak mungkin bertemu dengan para ketua partai sebelum sidang istimewa, karena posisinya sebagai wakil presiden. PDI-P khawatir per-temuan seperti itu lantas ditafsirkan sebagai upaya makar. Alasan lain adalah amat padatnya jadwal Mega. "Padahal, kalau soal sibuk, Akbar dan Amien kan juga sibuk," kata sumber itu jengkel.
Mega memang tak setuju dengan kebut-kebutan itu. Arifinlah, menurut seorang pengurus PDI-P dari faksi DPP lama, yang jalan sendiri. Keputusan fraksi meminta percepatan belum diputuskan pengurus pusat. "Anak-anak kos itu main potong jalur," katanya. Menurut Bendahara PDI-P, Noviantika Nasution, dalam rapat pengurus pusat, Mega mempertanyakan landasan hukum percepatan itu. Keputusan belum tegas diambil. Tapi barisan Arifin sudah melihatnya sebagai lampu hijau. "Kans Ibu Mega itu sudah 90 persen, kok, seperti orang enggak pede (percaya diri) saja?" ujar Novi, yang dekat dengan kubu "DPP lama". Mega, kata seorang koboi PDI-P, khawatir percepatan itu justru akan membuyarkan sidang istimewa. "Kita menunggu satu se- tengah tahun saja bisa, kenapa sekarang cuma satu setengah bulan saja tidak bisa?" katanya menirukan Mega.
Sebenarnya ada sebab lain yang lebih gawat: macetnya kesepakatan pembagian kekuasaan pasca-Mega. Dan gara-gara itu, koalisi mengusung Mega kini terancam berantakan. Para pemimpin Poros Tengah dan Golkar mulai mengeluhkan komitmen PDI-P. Penyebabnya, PDI-P mengubah sikap. Partai pemenang pemilu ini enggan "berdagang sapi" sampai sidang istimewa mengukuhkan Mega sebagai RI Satu. "Kami sudah lelah. Ibarat orang kerja, kan, harus diangkat jadi karyawan tetap. Masa, kontrak terus?" kata seorang petinggi Poros Tengah yang getol terlibat di forum lintas fraksi.
Padahal, tiga hal penting dalam pembagian kekuasaan ini telah selesai dibahas, yaitu komposisi kabinet, misi dan visi pemerintahan, serta cetak biru 100 hari pertama kabinet. Lebih dari sekadar dibicarakan, rumus dan berbagai penjabarannya pun telah dirinci. Umpamanya, untuk penyusunan kabinet, ada dua formula. Pertama, rumus bagi rata. Komposisi dihitung berdasarkan persentase perolehan suara pemilu. Kedua, konsep kalibrasi. Nilai kursi presiden, misalnya, dihitung setara dengan 10 pos menteri, wapres dengan 5 menteri, menko dengan 3 menteri, dan seterusnya. Telah disepakati pula tata cara pengajuan personelnya. Partailah yang mengajukan nama. Tapi siapa yang akan diangkat diserahkan kepada Mega sebagai presiden. Jika tak disetujui, nama-nama itu dikembalikan untuk diganti dengan calon lain.
Belum tercapainya pembagian kekuasaan ini dibenarkan oleh Amien Rais. "Kami belum pernah ditawari sama sekali," katanya kepada TEMPO. Alvin Lie, salah satu koboi parlemen, juga menyayangkan sikap Mega yang enggan membicarakan hal-hal penting itu. "Toh, yang dibicarakan baru sebatas konsep, bukan siapa mendapat apa," ujarnya masygul.
Buntutnya, menurut sumber TEMPO itu, sebuah skenario lain sedang dibangun di luar PDI-P. Formulanya: Abdurrahman tetap diturunkan, tapi Mega tak otomatis naik. Sidang istimewa memerintahkan penyelenggaraan pemilu dalam tempo enam bulan. Mega cuma ditetapkan sebagai penjabat sementara presiden. Jabatannya tak berubah, tetap sebagai wakil presiden. Ini memang skenario terburuk, katanya, tapi lebih baik ketimbang membeli kucing dalam karung.
Karaniya Dharmasaputra, Adi Prasetya, Wens Manggut
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini