Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Bandung - Sekretaris Eksekutif Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2025 Bekti Cahyo Hidayanto mengungkap masalah rapor elektronik atau e-rapor dan indikasi kecurangan pembuatan rapor oleh sekolah. Sejak diinstruksikan penggunaan e-rapor pada 2019, menurut Bekti, sampai saat ini sekolah telah tertib memakainya setiap semester di Indonesia hanya 150-an SMA dan 500-an SMK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Yang MA (Madrasah Aliyah) agak lebih baik ada tujuh ribuan sekolah,” kata Bekti di acara Sosialisasi SNPMB dan Seleksi Masuk Universitas Padjadjaran Tahun 2025 yang ditayangkan secara daring, Jumat 31 Januari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada proses SNPMB lewat jalur Seleksi Nasional Berdasarkan Prestasi atau SNBP, hingga Jumat, 31 Januari 2025 pukul 12.58 WIB misalnya, tercatat 58.820 siswa didaftarkan sekolahnya dengan lampiran rapor elektronik, dari total 834.368 pelajar yang memenuhi syarat atau eligible. Meski pada tahun ini panitia SNPMB mendorong sekolah untuk menggunakan e-rapor, namun ketentuannya masih longgar. Tahun ini, panitia menambah kuota bagi sekolah yang mendaftarkan siswanya dengan menggunakan e-rapor sebanyak 5 persen.
Dari hasil pembicaraan di tingkat pimpinan, kata Bekti, penggunaan e-rapor untuk SNPMB mungkin akan diterapkan sebagai kewajiban. “Di 2028 kalau tidak ada e-rapor tidak bisa ikut SNBP,” ujarnya.
Karena itu, Bekti meminta sekolah mulai tertib memakai e-rapor setiap semester dari sekarang. Berdasarkan pengalaman, kebanyakan sekolah yang terlambat mengisi Pangkalan Data Sekolah dan Siswa (PDSS) alasan utamanya karena nilai rapor belum selesai. “Aneh menurut saya, rapor itu kan dibagikan tiap semester sekarang sudah semester lewat nilai rapornya belum selesai,” kata dia.
Masalah lain, menurut Bekti, adalah sekolah yang hanya mengisi e-rapor untuk internal sekolah dan tidak diunggah guna disinkronkan dengan data pusat. “Apa alasan utamanya? Supaya nilainya bisa diubah-ubah,” kata dia. Menjelang SNPMB seperti sekarang, menurut Bekti, ada sekolah yang membuat tiga rangkap rapor agar nilainya bisa diubah-ubah sesuai kebutuhan.
Masalah lainnya, yaitu perbedaan nilai antara rapor elektronik dari sekolah dengan rapor yang dibagikan ke siswa dan dengan di PDSS. Perbedaan nilainya mulai dari satu pelajaran hingga semuanya. Dampaknya, siswa yang diterima perguruan tinggi negeri bisa dibatalkan. Kejadian itu, menurut Bekti, terjadi setiap tahun.
Pada 2024, beberapa kampus, seperti Universitas Udayana (Unud), Universitas Riau, Universitas Borneo Tarakan atau UBT, membatalkan 100-140 mahasiswa baru dari jalur SNBP karena perbedaan data nilai rapor. “Ketika dibatalkan setelah diterima jalur SNBP akan terkena aturan menyesal seumur hidup karena jadi enggak bisa ikut UTBK dan Seleksi Mandiri sampai kapan pun,” ujarnya.