Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Partai Buruh bersama Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI bakal menggelar aksi di depan Gedung Mahkamah Konstitusi atau MK, Jakarta pada Rabu, 17 Juli 2024. Aksi tersebut berkenaan dengan lanjutan sidang uji materi Undang-undang Cipta Kerja atau UU Ciptaker.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Aksi tersebut rencananya dilakukan secara serentak di sejumlah wilayah Indonesia. Untuk wilayah Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta, massa aksi bakal berkumpul dengan titik utama di Gedung MK dan Istana Negara, Jakarta. Aksi akan dimulai pukul 09.30 dari Bundaran Patung Kuda.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Adapun di wilayah lain, seperti Semarang, Surabaya, Batam, Medan, Pekanbaru, Banda Aceh, Gorontalo, Banjarmasin, hingga Makassar, aksi menolak UU Ciptaker digelar di kantor-kantor gubernur, bupati, dan walikota.
Presiden KSPI sekaligus Presiden Partai Buruh, Said Iqbal mengatakan bahwa sidang lanjutan ini sebagai sidang penentuan. Dia berharap nantinya hakim dapat memutuskan untuk mencabut klaster ketenagakerjaan. "Bila tidak, kami akan melakukan mogok nasional," katanya dalam keterangan tertulis, Selasa, 16 Juli 2024.
Ia mengklaim, aksi mogok nasional itu nantinya diikuti oleh lima juta buruh di seluruh Indonesia. Apabila hakim tidak memutuskan untuk mencabut klaster ketenagakerjaan, kata Iqbak, jutaan buruh mengancam akan keluar dari pabrik dan tidak memproduksi.
Partai Buruh mengajukan judicial review ke MK didasari sembilan alasan. Pertama, konsep upah minimun yang kembali pada upah murah. Menurut dia, konsep itu mengancam kesejahteraan buruh.
Kedua, outsourcing atau tenaga alih daya tanpa batasan jenis pekerjaan. Hal ini membuat kepastian kerja bagi buruh menjadi hilang. "Sama sama menempatkan negara sebagai agen outsourcing," ucapnya.
Alasan ketiga, dia melanjutkan, dalam UU Ciptaker ini memungkinkan kontrak kerja dilakukan berulang-ulang tanpa adanya jaminan pekerja tetap. Ia menyebut, hal itu dapat mengancam stabilitas kerja.
Keempat, pesangon yang murah atau hanya setengah pesangon dari aturan sebelumnya. Perubahan ini, menurut Iqbal, merugikan buruh yang kehilangan pekerjaan.
Alasan berikutnya, yaitu proses pemutusan hubungan kerja atau PHK yang dipermudah. Menurut Iqbal, proses tersebut membuat buruh semakin tidak memiliki kepastian kerja dan selalu berada di posisi rentan.
Partai Buruh juga menyoroti ihwal pengaturan jam kerja yang fleksibel. Menurut dia, kebijakan ini menyulitkan buruh untuk mengatur waktu antara pekerjaan dan kehidupan pribadi.
Begitu pula dengan kebijakan cuti. Iqbal mengatakan, tidak adanya kepastian upah selama cuti membuat posisi buruh rentan dan mengalami diskriminasi di tempat kerja.
Kedelapan, meningkatnya jumlah tenaga kerja asing. Terlebih lagi, ucapnya, peningkatan itu tanpa pengawasan ketat. "Menimbulkan kekhawatiran di kalangan buruh lokal," ucap Iqbal.
Adapun alasan kesembilan atau terakhir, Partai Buruh berkeberatan dengan dihapuskannya sanksi pidana dalam UU Ciptaker bagi pelanggaran terhadap hak buruh. Dia menyebut, hal itu justru memberikan kelonggaran bagi para pengusaha untuk melanggar kewajibannya tanpa ada konsekuensi hukum yang berat.
Pilihan Editor: