Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Surut Penanganan Korupsi Sumber Daya Alam

Dua tahun sejak pemberlakuan revisi Undang-Undang KPK dan dipimpin Firli Bahuri, KPK tak lagi menangani kasus korupsi sumber daya alam. Pelemahan KPK merupakan bagian dari rencana besar kepentingan ekonomi lewat pengerukan alam.

28 Desember 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Aktivis Green Peace melakukan aksi menolak pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Gedung KPK, Jakarta, 28 Juni 2021. TEMPO/Imam Sukamto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • ICW, Pukat UGM, dan TII mengevaluasi dua tahun revisi UU KPK dan kepemimpinan Firli Bahuri.

  • Dua tahun terakhir, KPK tak lagi menangani kasus korupsi di sektor sumber daya alam.

  • Bertentangan dengan peta jalan KPK 2012-2023.

JAKARTA Kemunduran kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi berimbas pada penanganan perkara sumber daya alam. Evaluasi Indonesia Corruption Watch (ICW), Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), dan Transparency International Indonesia (TII) menunjukkan, selama dua tahun terakhir, KPK jarang menyentuh sektor tersebut. "Padahal, berdasarkan dokumen peta jalan KPK 2012-2023, sumber daya alam masuk dalam sektor strategis yang perlu dibenahi oleh KPK," kata peneliti ICW, Kurnia Ramadhana, di Jakarta, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia mengatakan satu program penting KPK yang mulai surut pelaksanaannya adalah Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam atau GNPSDA. Program ini mencakup perbaikan tata kelola, dari perizinan hingga dorongan untuk mempercepat pelaksanaan kebijakan. Seluruh usaha tersebut, kata Kurnia, pada akhirnya bertujuan meminimalkan peluang terjadinya korupsi dan menyelamatkan keuangan negara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Kurnia, masih banyak aktor yang mencari keuntungan di sela kerumitan permasalahan tata kelola sektor sumber daya alam. Salah satunya adalah pertambangan batu bara. Dianggap sebagai sektor strategis nasional, batu bara mendapat karpet merah sebagai sumber utama pembangkit listrik yang digunakan oleh PLN untuk memenuhi pasokan listrik Indonesia, termasuk melalui program 35 ribu megawatt.

Mantan Direktur Utama PT PLN, Sofyan Basir, setelah putusan bebas oleh Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 4 November 2019. TEMPO/Subekti

Satu kasus yang paling berkaitan dengan GNPSDA adalah korupsi Pembangkit Listrik Tenaga Uap Mulut Tambang Riau-1. Kasus ini menjerat mantan anggota Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Eni Saragih, mantan Menteri Sosial Idrus Marham, pengusaha Johanes Budisutrisno Kotjo, dan mantan Direktur Utama PLN Sofyan Basir, yang kemudian diputus bebas oleh pengadilan. Menurut Kurnia, kasus tersebut merupakan contoh jelas dugaan korupsi akibat state regulatory capture, yang tidak hanya menunjukkan perburuan rente, tapi juga dugaan penyalahgunaan kewenangan yang memuluskan terjadinya korupsi.

Perkara lain di sektor sumber daya alam adalah hilangnya setumpuk bukti yang sedianya akan disita KPK dalam penyidikan perkara korupsi yang diduga melibatkan PT Jhonlin Baratama di Kalimantan Selatan. Kurnia mengatakan penghilangan barang bukti itu menunjukkan bahwa korupsi di sektor ini menuntut keseriusan lebih dari KPK. "Mengingat karpet merah yang diberikan oleh negara untuk sektor pertambangan batu bara," ujar dia.

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan pelemahan KPK dilakukan secara legal. Tak hanya KPK, pelemahan juga dilakukan terhadap DPR, masyarakat sipil, dan Mahkamah Konstitusi. Dengan berkurangnya taji empat lini pengawasan ini, pengawasan terhadap kekuasaan tak lagi ada. "Yang kita lihat adalah bagian dari skenario besar. Pemerintah dikontrol oleh satu orang dan sedikit orang," kata dia.

Menurut Bivitri, tujuan akhir dari autocratic legalism bukan merevisi Undang-Undang KPK, melainkan memperlancar kegiatan ekonomi untuk kepentingan penguasa. Oligarki itu, dia melanjutkan, yang mengontrol politik dan ketatanegaraan Indonesia. "Negara ini sudah dikendalikan sekelompok orang agar kebijakan yang dibuat bertujuan untuk mengamankan kekayaan oligarki tadi," ujarnya.

Bivitri menyebutkan ada kegiatan ekonomi yang ingin diraup oleh sekelompok orang hingga melemahkan segala institusi politik. "Pemerintahan Jokowi seakan-akan ingin bilang akan berfokus pada industri kreatif dan pariwisata. Tapi kita lihat yang paling mudah dikeruk adalah sumber daya alam. Ini akan semakin mudah untuk difasilitasi ketika institusi-institusi pengawas tadi sudah dimatikan, termasuk KPK," kata dia.

Mantan penyidik KPK, Aulia Postiera, mengatakan semestinya revisi Undang-Undang KPK tidak mempengaruhi penindakan di sektor sumber daya alam. Sebab, yang direvisi dalam Undang-Undang KPK adalah hal-hal yang terkait dengan prosedur. "Kalau kasus kan enggak bisa diatur," ujar dia.

Menurut dia, setiap penanganan kasus, termasuk sektor sumber daya alam, bergantung pada kemauan pimpinan KPK. "Kalau ada niat, dicari dan didalami, tentu ketemu dugaan korupsinya," katanya.

Meski begitu, secara keseluruhan, Aulia mengatakan revisi Undang-Undang KPK sangat berdampak pada kinerja KPK. Para penyelidik dan penyidik kerepotan mengurus penyadapan, penyitaan, dan penggeledahan ke Dewan Pengawas. "Ketika undang-undang baru pasca-revisi berlaku, tentu yang bertanggung jawab atas kinerja KPK adalah pimpinan KPK. Jika kinerja KPK sekarang buruk, itu adalah hasil kinerja mereka selama dua tahun ini," ujar Aulia.

MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus