Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Temuan Pelapor PBB atas Pelanggaran HAM di Papua

Tiga Pelapor Dewan HAM PBB mengirim surat tuduhan dan permintaan klarifikasi kepada pemerintah Indonesia perihal situasi HAM di Papua. Komnas HAM menilai bukan soal jawaban ke PBB, melainkan upaya memastikan kondisi hak asasi di Papua yang seharusnya membaik. 

15 Februari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Upacara Pemberangkatan Satuan Tugas Ops Nemangkawi 2021 di Lapangan Mako Korbrimob Polri, Depok, Jawa Barat, 24 Februari 2021. polri.go.id

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Persoalan Papua sudah menjadi perhatian serius PBB karena dugaan kejahatan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan pemerintah.

  • Militer dan kepolisian Indonesia diduga terlibat kontak senjata dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM).

  • Komnas HAM mendesak berbagai temuan tersebut harus ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah Indonesia.

JAKARTA - Tiga Pelapor Khusus Dewan Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengirim surat tuduhan dan permintaan klarifikasi kepada pemerintah Indonesia atas dugaan pembunuhan di luar hukum terhadap warga Papua, termasuk anak-anak. Mereka juga menemukan indikasi penghilangan paksa, penyiksaan, perlakuan tidak manusiawi, dan pemindahan paksa sedikitnya 5.000 penduduk asli Papua pada medio April-November 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Berdasarkan dokumen temuan PBB yang diterima Tempo, tuduhan tersebut diteken dan dikirim pada 22 Desember 2021 oleh tiga pelapor khusus. Mereka adalah Pelapor Khusus untuk Hak-hak Masyarakat Adat, Jose Francisco Cali Tzay; Pelapor Khusus untuk Eksekusi di Luar Hukum, Kilat, atau Sewenang-wenang, Morriz Tidball-Binz; dan Pelapor Khusus untuk Hak Asasi Pengungsi Internal (IDPs), Cecilia Jimenez Damary.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam surat itu tertulis, militer dan kepolisian Indonesia diduga kerap terlibat kontak senjata dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Organisasi Papua Merdeka (OPM) sejak meletus pada 2018. Konflik ini terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Pegunungan Bintang, Mimika, Nduga, Maybrat, Yahukimo, dan Kabupaten Puncak. PBB mencatat setidaknya terdapat 60-100 ribu warga dipaksa mengungsi secara internal atau IDPs.

Seorang peneliti yang memantau isu Papua dan sering mengikuti sidang-sidang PBB menyebutkan persoalan Papua sudah menjadi perhatian serius PBB karena dugaan kejahatan pelanggaran HAM yang diduga dilakukan pemerintah. "Biasanya, jika yang membuat laporan itu lebih dari satu Pelapor Khusus PBB, itu menunjukkan ada masalah sistemik di Papua, khususnya terkait dengan kejahatan kemanusiaan yang dianggap serius," kata sumber itu, kemarin.

Menurut dia, PBB membeberkan berbagai dugaan kejahatan kemanusiaan dalam kurun waktu setahun belakangan. Mereka mewajibkan pemerintah Indonesia menjawab dalam sidang PBB mendatang. Apalagi pemerintah bukan hanya kali ini diseret sebagai negara tertuduh atas pelanggaran HAM di Papua. "Tahun ini isi surat tuduhan PBB lebih keras karena sebelumnya sudah diingatkan agar tidak mengulangi perbuatannya."

Klarifikasi Sejumlah Kasus HAM di Papua

Dokumen PBB itu menyebutkan sepanjang 2021 terdapat 5.000 pengungsi dari sejumlah kabupaten akibat konflik bersenjata. Sebagian besar pengungsi mengalami krisis karena kurangnya akses makanan, air bersih, kesehatan, fasilitas pendidikan, sanitasi, dan dukungan komunitas bagi pengungsi. Persoalannya, pemerintah diduga justru menghalang-halangi bantuan kemanusiaan dari Palang Merah Indonesia (PMI), gereja lokal, dan Komnas HAM di Papua.

Mereka juga mendapati situasi keamanan di Papua kian mencekam sejak terbunuhnya Kepala Badan Intelijen Negara Daerah Papua, Mayor Jenderal Anumerta Putu Danny, pada 26 April 2021. Tiga Pelapor Khusus PBB itu menemukan kejahatan kemanusiaan, satu di antaranya terbunuhnya seorang balita berusia 2 tahun yang tertembak pada 26 Oktober 2021 ketika TNI-Polri terlibat baku tembak dengan TPNPB. Kejadian tersebut juga melukai anak berusia 6 tahun yang menderita luka tembak di punggung bagian atas.

Pelapor Khusus PBB juga membuat daftar pelanggaran HAM yang diduga dilakukan oleh pemerintah. Di antaranya pembunuhan di luar hukum yang menimpa Tuan Patianus Kogoya, Nona Paitena Murib, dan Tuan Erialek Kogoya (3 Juni 2021); penghilangan paksa Tuan Semuel Kobogau (5 Oktober 2021, Sugapa); pemukulan terhadap mahasiswa berusia 24 tahun di Jayapura (27 April 2021, Desa Maki); serta pengusiran paksa ribuan penduduk desa karena laporan kebrutalan dan penggunaan kekuatan yang berlebihan oleh satuan gabungan polisi serta tentara di Papua.

Dalam dokumen yang sama, PBB membeberkan temuan sembilan gereja dilaporkan rusak setelah diledakkan aparat saat memburu TPNPB. Militer Indonesia juga melakukan serangan udara dengan cara menjatuhkan granat mortir di Desa Pelebip, Kiwi, Delpem, dan Lolim di Distrik Kiwirok pada Oktober 2021. Pada November 2021, PBB menemukan 3.000 warga asli Papua dari 50 desa di Distrik Aifat Selatan, Aifat Timur, Aifat Timur Jauh, Aifat Timur Tengah, dan Aifat Timur Selatan dilaporkan mengungsi paksa. Delapan pengungsi, termasuk seorang anak berusia 8 tahun, meninggal di pengungsian.

Pelapor Khusus itu mengirimkan 12 pertanyaan resmi kepada pemerintah Indonesia. Pertanyaan itu, antara lain ihwal jumlah korban yang terbunuh sejak terjadi perang antara TNI-Polri dan TPNPB, termasuk korban warga sipil, kombatan, serta pasukan keamanan Indonesia. Beberapa pertanyaan lain adalah alasan Indonesia membatasi masuknya bantuan dari PMI, gereja Kristen, dan Komnas HAM untuk warga sipil Papua. PBB juga meminta pertanggungjawaban atas kematian korban sipil.

Wakil Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Mohammad Choirul Anam, membenarkan isi surat permohonan klarifikasi dari Pelapor Khusus PBB kepada pemerintah. "Kami mendengar bahwa ada join komunikasi resmi yang dilayangkan oleh Pelapor Khusus tentang beberapa peristiwa yang terjadi di Papua kepada pemerintah Indonesia," ucap Anam, kemarin.

Menurut dia, berbagai temuan tersebut harus ditindaklanjuti secara serius oleh pemerintah Indonesia, termasuk memastikan ihwal kebenaran dari setiap tuduhan tersebut. Apalagi Komnas HAM sebelumnya juga menemukan catatan sejumlah peristiwa kekerasan dan pembunuhan di Papua yang mencuat ke publik internasional.

Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. dikabarkan menyiapkan jawaban ketika menerima pelbagai tuduhan kejahatan kemanusiaan dari PBB. Kemarin, dia mengundang sejumlah pejabat teknis untuk membahas jawaban untuk PBB. Namun rapat tersebut dibatalkan tanpa alasan. "Rapat tersebut dibatalkan, ditunda ke lain waktu," kata Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kemenkopolhukam, Rina P. Soemarno.

Aksi mahasiswa Papua menuntut pemerintah Indonesia segera melakukan demiliterisasi, di kawasan Patung Kuda Monas, Jakarta, 1 Desember 2021. TEMPO/Subekti

Adapun Mahfud belum bersedia menjawab berbagai tuduhan yang menyudutkan Indonesia. Sejumlah pertanyaan yang dikirim Tempo tak kunjung dibalas. Ia hanya membaca pertanyaan yang dikirim ke ponselnya. Sejumlah pejabat di Kementerian Luar Negeri dan Markas Besar Tentara Nasional Indonesia juga sama sekali tak merespons upaya permintaan konfirmasi Tempo.

Anam mengingatkan pemerintah bahwa hal terpenting bagi Indonesia bukan terkait dengan jawaban ke PBB. Justru memastikan kondisi hak asasi manusia di Papua nantinya bakal semakin membaik. Pemerintah harus berkomitmen menghentikan pendekatan militer yang memicu pelanggaran hak asasi bagi warga sipil Papua. Apalagi selama ini pemerintah dikenal dunia sebagai negara yang menentang kejahatan kemanusiaan yang dihadapi oleh muslim di Palestina maupun di Rohingya.

Direktur Eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua, Theo Hesegem, menyatakan temuan Pelapor Khusus PBB telah membuktikan ada kejahatan kemanusiaan di Papua yang mesti dituntaskan. Pemerintah harus menjawab berbagai temuan pembunuhan itu ke PBB. "Pemerintah juga harus membiarkan PBB masuk ke Papua untuk membuktikan ada-tidaknya penghilangan paksa di Papua," tutur dia.

Theo khawatir persoalan ini akan kian membesar lantaran pemerintah tak kunjung mengizinkan utusan PBB masuk Papua. PBB juga bisa menggunakan otoritasnya untuk memaksa mengirimkan tim investigasi ke Indonesia jika kejahatan kemanusiaan terhadap warga sipil Papua terus berulang.

AVIT HIDAYAT | VINDRY FLORENTIN | MAYA AYU PUSPITASARI
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus