Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Idealnya, calon kepala daerah adalah kader partai politik yang sudah memiliki pengalaman dalam kancah perpolitikan.
Pengusaha sudah enggak sabar lagi menjadi donatur, turun saja langsung ikut pilkada.
Anggota Dewan Pengawas Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan maraknya pengusaha mengikuti bursa pemilihan kepala daerah bukan fenomena baru.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA — Banyaknya pengusaha yang mengikuti bursa pemilihan kepala daerah (pilkada) 2020 menjadi sorotan para pegiat antikorupsi. Peneliti dari Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada, Zaenur Rohman, mengatakan bahwa maraknya pebisnis yang terjun dalam pilkada merupakan konsekuensi dari sistem pemilu yang tak diimbangi dengan kaderisasi partai politik yang baik. "Partai politik pragmatis mencari calon dengan modal kuat," kata Zaenur kepada Tempo, kemarin.
Idealnya, menurut Zaenur, yang bisa maju dalam kontestasi kepala daerah adalah kader partai politik yang sudah memiliki pengalaman dalam kancah perpolitikan. Kader yang dicalonkan, kata dia, seharusnya sudah teruji dan memiliki rekam jejak baik dalam dunia politik. "Bukan nobody atau orang antah-berantah yang datang ke partai politik, serahkan uang mahar, lalu dicalonkan," ucap dia.
Menurut dia, majunya pengusaha dalam pilkada berpotensi memiliki konflik kepentingan dan korupsi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para kepala daerah melakukan korupsi, salah satunya, untuk mengembalikan modal yang mereka keluarkan saat kampanye demi mendapat jabatan. "Biasanya dengan menjual perizinan, pengisian jabatan, dan menjual barang dan jasa. Mereka sudah keluarkan modal dan mereka ingin balik modal," ujarnya.
Peneliti dari Indonesia Corruption Watch, Egi Primayogha, menuturkan hal senada. Menurut dia, ada kekhawatiran para kepala daerah berlatar belakang pengusaha memanfaatkan jabatan publiknya untuk kepentingan bisnis. Dari catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hingga Juli 2020, ada 21 gubernur dan 122 bupati/wali kota/wakil yang terjerat kasus korupsi. "Mereka yang berkeinginan mendapat keuntungan pribadi atau kelompok saat menjadi kepala daerah akan terdorong untuk korupsi," kata dia.
KPK mencatat 45 persen peserta pilkada 2020 berlatar belakang pengusaha. Fenomena ini, menurut Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, mengubah model dari pilkada sebelumnya, yang rata-rata pasangan calonnya didanai oleh pengusaha. Menurut data KPK, pada pilkada 2015 ada 70,3 persen pasangan calon yang dibiayai pengusaha. Angkanya meningkat pada pilkada 2017, yakni 82,6 persen menyatakan adanya donatur dalam pendanaan pilkada mereka. “Jadi, dia (pengusaha) sudah enggak sabar lagi jadi donatur, turun saja langsung (ikut pilkada),” kata Pahala.
Bukan hanya soal pengusaha yang banyak maju dalam pilkada 2020, KPK juga mencatat ada kenaikan tren inkumben yang kembali ikut kontestasi. Pahala menyebutkan tahun ini ada 22 inkumben yang kembali mencalonkan diri, meningkat dari periode sebelumnya yang mencapai 17-18 persen.
Anggota Dewan Pengawas Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan maraknya pengusaha mengikuti bursa pemilihan kepala daerah bukanlah fenomena baru. Sebab, menurut dia, kebanyakan pasangan calon selama ini memiliki latar belakang pengusaha. "Biar pun di kolom profesi ditulis politikus, anggota DPR, PNS, mereka juga berlatar belakang pengusaha. Jadi, latar belakang itu beririsan," ujar Titi.
Berdasarkan data The Indonesian Institute, Center for Public Policy Research tahun 2018, ada 44,89 persen peserta pilkada 2018 yang berlatar belakang swasta atau pengusaha. Kajian ini tidak berubah jika dibandingkan dengan pilkada serentak 2017. Saat itu, 50 persen dari total 310 calon kepala daerah berlatar belakang pengusaha.
Dari maraknya pengusaha yang mengikuti kontestasi pemilihan kepala daerah, menurut Titi, hal yang perlu mendapat perhatian adalah besarnya konflik kepentingan untuk melanggengkan bisnis. Ia menyebutkan banyak kepala daerah berlatar belakang pengusaha yang terjerat korupsi. Beberapa di antaranya adalah Bupati Subang Imas Aryumningsih dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. "Benturan kepentingan itu yang tidak bisa dikontrol," katanya.
ROSSENO AJI NUGROHO | MAYA AYU PUSPITASARI
Pebisnis Terjun di Pilkada Rawan Konflik Kepentingan
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo