PEGAWAI negeri lebih mandiri? Percaya atau tidak, jawabannya ya. Itulah antara lain hasil penelitian yang dilontarkan dalam seminar Kemandirian Manusia Indonesia, di Universitas Diponegoro, Semarang, dua pekan silam. Kesimpulan yang mengagetkan itu datang dari suatu tim peneliti yang dipimpin Prof. Dr. Masrun, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Tim menyebarkan angket untuk 1.739 responden, yang terdiri dari suku Jawa Batak, dan Bugis. Ketiga suku ini dipilih, "Karena kami ingin menyusun wawasan kemandirian yang sesuai dengan masyarakat Indonesia," kata Masrun. Suku Batak dipilih, katanya, karena suku ini berasal dari Indonesia bagian barat. Suku ini juga mempunyai sifat blak-blakan dan spontan. Kecuali itu, dikenal sebagai perantau, dan hidup dari berbagai jenis pekerjaan. Suku Bugis dipilih sebagai mewakili Indonesia bagian tengah. Suku ini dikenal pula pemberani, teguh, dan memiliki solidaritas tinggi terhadap kelompok. Adapun Jawa dijadikan responden karena tergolong suku yang berpenduduk paling banyak. Kecuali itu, secara geografis berada di tengah-tengah, serta suku ini memiliki sifat-sifat yang berada di antara suku Batak dan Bugis. Dari 1.739 responden itu, terdapat 440 pegawai negeri, 421 pegawai swasta, 352 wiraswasta kecil, 316 wiraswasta besar, 118 petani, dan 92 nelayan. Usia mereka 26 hingga 61 tahun. Adapun kemandirian, menurut penelitian ini, berisi lima komponen. Yaitu bebas, punya insiatif, progresif, ulet, dan punya kemantapan diri. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ditinjau dari segi pekerjaan, ternyata, golongan pegawai negeri cenderung lebih mandiri ketimbang pekerja lain. Di bawahnya, berturut-turut wiraswasta besar, pegawai swasta, wiraswasta kecil, petani, dan yang terakhir nelayan. Mengapa pegawai negeri lebih mandiri? "Di lingkungan kantor mungkin kemandiriannya lebih tipis," kata Prof. Masrun. Tapi di luar kantor, para birokrat ini cenderung dinilai lebih oleh masyarakat. Akibatnya "Kemungkinan mengembangkan kemandiriannya lebih nyata," tambahnya. Masrun memberi contoh pegawai negeri yang hidup di kampung. Mereka biasanya dipandang terkemuka oleh lingkungannya. Akibatnya, para pegawai negeri inilah yang lebih banyak muncul sebagai pemimpin organisasi di kampung. Alhasil, merekalah yang tampak memiliki kreasi, inisiatif, agresif, bebas. Sebaliknya, nelayan, yang berani mengarungi laut, menantang badai, dinilai tergolong paling kurang mandiri. "Meski pekerjaan mereka amat keras," ujar Masrun, "pekerjaan mereka sesungguhnya cuma mengeruk hasil laut." Nelayan bergantung pada alam. "Ini mengurangi kemandirian." Bahkan, dibanding nelayan, petani lebih mandiri. Ketergantungan petani pada alam lebih kecil. "Petani lebih dulu mengolah tanah, memberi pupuk, menanaminya, baru kemudian memetik hasilnya," kata Masrun. Menghadapi tanah yang kurang subur, petani tetap berupaya membuatnya lebih subur. Ini berarti, petani dituntut lebih kreatif, ulet, dan berinisiatif mengolah tanahnya. Usaha semacam inilah yang menambah kemandirian petani dibanding nelayan. Kesimpulan lain yang penting ialah peneliti tidak menemukan kaitan antara merantau dan kemandirian. "Orang yang suka merantau belum merupakan jaminan orang itu memiliki kemandirian yang tinggi," katanya. Sebab, latar belakang yang mendorong merantau tidak selalu sama dengan faktor-faktor yang mendukung kemandirian. Sering terjadi, merantau karena solidaritas kelompok atau ikut-ikutan. Bahwa pegawai negeri lebih mandiri, kesimpulan ini, "Semula juga mengagetkan saya," ujar Masrun. Tentu penelitian ini masih harus diuji ulang, terutama dalam hal yang masih belum jelas, bagaimana mungkin pegawai negeri lebih mandiri ketimbang para wiraswastawan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini