TANGGAL 12 Maret, rupanya, sangat menentukan dalam kehidupan Letnan Jenderal (Purn.) Haji Sudharmono, S.H. Pada 12 Maret, 61 tahun lalu, ia lahir di Desa Cerme, Gresik Jawa Timur, sebagai anak ketiga pasangan R. Wirodiredjo, pegawai pamong praja, dan Soekarsi. Pada 1 Maret, 39 tahun kemudian - sehari setelah SP 11 Maret lahir - ia ikut menentukan jalannya sejarah. Ketika itu, sebagai Ketua Tim Operasional Pusat Gabungan V Komando Operasi Tertinggi, ia memerintahkan pengetikan naskah pembubaran PKI. Dan pada 12 Maret 1988 ini, 22 tahun kemudian - sehari setelah SU MPR usai - namanya jadi buah bibir sebagai calon terkuat wakil presiden RI yang kelima. Peristiwa-peristiwa besar dalam hidupnya itu juga cerminan dari sikap hidupnya yang suka bekerja keras dan tuntas. Dan Sudharmono, yang selama ini dikenal sebagai Menteri Sekretaris Negara, memang pekerja yang tekun, ulet, korek. Ia rajin, efisien, dan beres. Pada tahun 50-an menikah dengan Ratu Emma Norma, yang Kamis pekan lalu genap 61 tahun (lihat Pokok dan Tokoh), ia dikaruniai tiga anak - berikut dua anak angkat - dan 11 cucu. Sebulan sekali ia menyempatkan diri menimang cucu-cucu kadang-kadang sekeluarga mereka jalan-jalan, makan di luar. "Kepada anak-anak saya ingatkan, keadaan dan tanggung jawab mereka jauh lebih berat dari masa-masa yang saya alami dulu. Ketika mereka lahir, kami ke rumah sakit pakai becak, sekarang mereka pakai sedan, ke RS Harapan Kita lagi," katanya. "Kalau mereka sekarang jadi orang, antara lain karena ibu mereka mendidiknya cukup keras dan disiplin. Termasuk dalam beribadat," tambahnya. Tahun lalu, Sudharmono sekeluarga menunaikan rukun Islam kelima. Ia tampak sangat khusyuk. "Pak Dhar bersungguh-sungguh beribadat, juga tak segan-segan menanyakan hal-hal yang berkaitan dengan syarat rukun haji," kata H. Sumantri Zakaria, petugas KBRI Riyadh yang tahun lalu mendampinginya. Hampir tak pernah sakit serius - paling-paling flu, sakit perut, atau pegal-pegal - ia tampak selalu sehat. Mungkin lantaran tak merokok, tidak minum kopi, apalagi minuman keras. Ia gemar makan buah-buahan. Dahulu sarapan bubur kacang hijau, bubur sumsum, atau havermout, kini ia suka menyantap sandwich. Di tengah kesibukannya, ia selalu sempat berolah raga. Dahulu tenis, kini golf, biasanya main sembilan holes. Dengan sikap tegak dan potongan fisik yang rapi-ramping - tinggi 171 cm, berat sekitar 66 kg - ia tampak atletis. Dalam usia kini 61 tahun, yang menonjol pada Sudharmono tetap kerja keras. "Beliau memang suka kerja keras: cepat, tepat, selamat, dan selesai pada waktunya. Beliau sendiri memberi contoh begitu," ujar Zainal Abidin, sekpri merangkap ajudannya sejak 1959. Seperti banyak menteri yang lain, bosnya itu memang sering pulang larut. Seorang pengamat luar negeri melukiskan sosoknya sebagai An energetic, youthfullooking secretary of the cabinet (sekretaris kabinet yang energetik dan selalu tampak muda). Tapi sebagai salah seorang pembantu Presiden, ia berusaha tidak terlalu tampil. Ia selalu bilang, "Seorang yang bekerja dalam staf tidak boleh menonjolkan diri." Ia memang lahir dengan shio kelinci menurut horoskop Cina, dengan ciri-ciri seperti itu: kerja sistematis, terencana, dinamis, percaya pada diri sendiri, tapi agak segan tampil. Sifat kepemimpinannya tampak sejak kecil. Ketika masih di HIS (Hollandsch Inlandsche School, setingkat SD) Rembang, ia jadi ketua kelas, bahkan kemudian memimpin organisasi pelajar, semacam OSIS. Pada usia 18 tahun, di awal revolusi bersenjata, ia sudah jadi komandan kompi Divisi Ronggolawe. Dan pada usla sangat muda, 35 tahun (1962), ia dipercaya sebagai Sekretaris Kabinet. Lalu di awal zaman Orde Baru 1966, ia dipromosikan sebagai Sekretaris Negara. Dan kemudian selama 15 tahun sejak 1973 hingga saat terakhir ketika dicalonkan sebagai wapres, ia setia di posnya sebagai Mentei Sekretaris Negara. Sementara ia masih Menseneg, dalam Munas Golkar III, 1983, di Jakarta, ia terpilih sebagai Ketua Umum DPP Golkar. Terpilihnya Sudharmono menunjukkan betapa besar perhatian Presiden Soeharto pada organisasi politik terbesar itu. Rupanya, figur Sudharmono yang tekun jadi tumpuan harapan. Dan dalam Pemilu 1987 lalu, Golkar di bawah pimpinannya meraih kemenangan dl atas target. Dahulu, sebelum sibuk sebagai Mensesneg, ia masih sempat membaca. "Sekarang saya tidak punya waktu lagi membaca buku-buku teori. Tapi konsepsi-konsepsi yang disiapkan staf saya selalu saya baca. Koran, tentu, selalu saya baca. Majalah juga masih saya sempatkan membaca." Kerja keras seperti itu merupakan kebiasaannya sejak kecil, sebab masa kanakkanaknya memang ia lewati dengan prihatin. Pada usia tiga tahun, anak kedua dari empat bersaudara itu sudah yatim piatu. Nyonya Soekarsi, ibundanya, wafat pada 1930. ketika melahirkan Soekaryono - adik bungsu Sudharmono, yang kemudian juga meninggal. Enam bulan kemudian, ayahandanya, R. Wirodiredjo, wafat karena sakit. Dan menurut Soenar, 67 tahun, abang sulung Sudharmono, di Malang, "Dik Dhar itu sangat mirip dengan Ayah yang suka kerja keras." Mereka bertiga, Soenar, Siti Soekarni, dan Sudharmono, lalu ikut paman yang jadi juru tulis di Jombang. Suatu hari, Soekarni dan Sudharmono --yang baru berusia 9 dan 5 tahun - pernah "hilang" ketika bermain menyusuri Kali Brantas. Untung, mereka ditemukan seorang juru rawat lalu diserahkan kepada kepala desa terdekat. Siti Soekarni, kakak perempuannya itu, meninggal pada 1952. Pada 1937, Sudharmono lantas ngenger pada kakeknya, R. Soemodihardjo, pensiunan asisten wedana, di Rembang, dan disekolahkan di HIS. "Pagi-pagi sekali, ia rajin menyapu halaman rumah kakeknya yan luas. Dan sebelum berangkat sekolah, ia menimba air mengisi bak mandi," tutur Muharyo, bekas teman sekolahnya di HIS Rembang, yang kini bekerja di majalah Femina. Dia aktif di sekolah: memimpin regu kasti, mengepalai grup standen, semacam olah raga akrobat, dan suka main bola bersama Moenadi, bekas gubernur Jawa Tengah. Ia juga latihan menari di Pamardi Bhekso Putro, memerankan tokoh wayang yang tegap, seperti Ontoseno atau Kresno. Pada 1942, ia ngenger di keluarga pakde-nya, Sosrodihardjo, kasir kas negara di Semarang, dan masuk SMP Negeri II Pendrikan. "Ketika itu Mas Mono suka makan kentang hitam dicampur kacang rebus, dan buah sarikaya," ujar R. Soedarjo, 60 tahun, adik sepupu Sudharmono, kini Kepala SMA Negeri II Surabaya. Ia juga menyukai onde-onde. "Saking senangnya, tempo hari kalau kebetulan ke Jawa Timur ia selalu memesan onde-onde bikinan Lawang. Atau nasi rawon Jalan Sawahan," tutur Soedarjo lagi. "Dan kalau main kelereng, ia titis sekali, jitu," tambahnya. Di kalangan teman seusianya, Sudharmono dituakan. Seperti cerita Kolonel (Purn.) Surjodjatmiko, 62 tahun, bekas teman sekelasnya di Semarang, "Meskipun saya dua tahun lebih tua, justru dia yang lebih dewasa dan mampu kontrol diri." Puluhan tahun kemudian, Surjo terkesima melihat rekannya itu, ketika suatu sore, awal 1966 ia mampir ke kantor Sudharmono di Sekkab, Jalan Merdeka Barat. Sudharmono, yang sedang makan nasi rantangan kiriman dari rumah, bilang, "Saya bertekad bekerja keras untuk zaman Orde Baru." Sejak itu ia menyaksikan teman sekolahnya sebagai pembantu Pak Harto yang dekat dan tekun. Keprihatinan sudah menyatu dalam diri Sudharmono sejak kecil. Seperti cerita Budihardjo, S.H., Kepala Biro Hukum dan Humas Departemen P dan K, juga bekas teman sekolahnya di Semarang. "Ketika ikut pakde-nya, ia mau bekerja apa saja. Suatu siang saya lihat ia ke pasar berbelanja keperluan dapur," katanya. Di awal pemerintahan Dai Nippon, 1942, Sudharmono masuk Seinendan, berlatih kemiliteran. Suatu hari, bersama Ali Said (kini Ketua Mahkamah Agung), ia terpilih di antara 40 pemuda untuk dilatih di Jakarta. Ketika revolusi pecah - dalam pertempuran lima hari melavan Jepang di Semarang--ia mengangkat senjata di front Semarang Barat, bersama Soepardjo Rustam. Mereka di tampung G.P.H. Djatikusumo dalam Divisi Ronggolawe. Sambil berjuang, ia meneruskan SMA-nya. Ketika PON I di Solo, 1948, ia tampil sebagai pelari jarak pendek, 100 meter. Lulus SMA, ia masuk ke Perguruan Tinggi Hukum Militer, terus ke FH UI, dan lulus pada 1962. Pernah jadi jaksa tentara di Medan (1957-1961), lalu jadi jaksa tentara tinggi, merangkap perwira staf Penguasa Perang Tertinggi. Sejak awal Orde Baru, ia menjabat Sekretaris Kabinet merangkp Sekretaris Dewan Stabilisasi Ekonomi (19661972). Dan sejak 1973 ia menjabat Sekretaris Negara, kemudian Menteri Sekretaris Negara, hingga 1988, menjelang ia dicalonkan sebagai Wapres. Maka, kompletlah sudah kebahagiaan meliputi keluarga Sudharmono. Apa arti kebahagiaan baginya? "Bagi saya, kebahagiaan tidak ditentukan oleh kekayaan. Bila kita bisa memberi manfaat untuk kepentingan umum - baik saya jadi orang kecil maupun seperti sekarang - hal itu benar-benar membahagiakan saya," kata Sudharmono. "Dan yang penting, saya sudah berusaha melakukan tugas kewajiban sebaik-baiknya." B.S.H., Yopie HIdayat, Linda Djalil, Diah Purnomowati, Wahyu Muryadi, H.M. Baharun
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini