KERUT di wajahnya tampak bertambah. Rambutnya juga makin memutih. Dan di sana-sini mulai menipis. Toh wajahnya, yang suka senyum, kelihatan sear. Apalagi bila berhadapan dan berbicara dengan petani, ia merasa begitu hidup, seakan berada di tengah suatu keramaian. Presiden Soeharto, menjelang usianya yang 67, memang tak semuda 21 tahun silam, saat dia mulai memimpin negeri ini. Selama kurun waktu itu, sebagai jenderal purnawirawan, sikap keprajuritannya tak goyah: saptamargais, tegas, tak tergeming oleh segala macam harubiru. Bila berdialog dengan petani, atau membicarakan masalah-masalah pertanian dan peternakan - seperti jelas kelihatan setiap kali ia mengadakan temu wicara dengan petani - ia seakan masuk ke dalam suatu dunia yang amat dikenal dan dicintanya. Ia bisa berbicara kocak dan lancar mengenai jenis padi unggul dan hasilnya. Ia juga hafal angka-angka statistik. Ia bisa secara rinci menguraikan jenis domba atau sapi terbaik serta sejumlah masalah pertanian. Mungkin, ia satusatunya kepala negara yang dengan bangga pernah mengatakan, tahl sapl harum baunya. "Beliau tahan berbicara berjam-jam dengan petani," kata Menteri Pertanian Achmad Affandi. Berkat dorongannyalah Indonesia akhirnya berhasil mencapai swasembada beras. Atasprestasi itu pada 1986 ia menerima penghargaan khusus dari F14C). Di peternakannya di Tapos, Bogor, Soeharto muncul dalam sisi yang lain. Keterlibatannya di peternakan ini, selain untuk mengaso, juga untuk meningkatkan pengetahuannya mengenai pertanian. "Sehingga, kalau memberikan petunjuk kepada masyarakat, bukan hanya teori saja, tapi berdasar kenyataan dan pengalaman," ujarnya. Ada tujuan yang lebih jauh: ia ingin meningkatkan taraf hidup petani. "Mereka baru bisa ditingkatkan taraf hidupnya kalau penghasilannya bisa ditingkatkan. Penghasilan itu bisa ditingkatkan kalau petani bisa ditingkatkan kemampuannya, terutama di bidang teknologi," ujarnya dalam berbagai kesempatan. Ia amat memperhatikan masalah pertanian. Sebagian mungkin didasari latar belakang keluarganya yang petani. Namun, sejak diangkat sebagai (pejabat) Presiden pada Maret 1967, tampaknya perhatiannya itu lebih didasari tujuan strategis: demi pencapaian masyarakat adil makmur. yang ia yakin bisa dilaksanakan lewat pembangunan nasional. Pembangunan ini bukan cuma pembangunan ekonomi, tapi juga pembangunan politik dan sosial budaya. "Tidak ada artinya pembangunan ekonomi sukses kalau pembangunan politik tidak sukses. Akhirnya, terjadi bentrokan politik. Hasil pembangunan ekonomi juga akan berantakan" tuturnya berkali-kaii. Ia menilai dua sektor itu harus sejalan. Itu sudah dicanangkannya belasan tahun silam. Ia bahkan sudah membuat rencana dan tahapan: benturan-benturan politik harus sudah selesai pada Pelita IV, atau paling lambat Pelita V. Ia melihat, bentrokan politik terjadi karena, "Kita belum mempergunakan bahasa yang sama. Padahal, kita punya titik tolak yang sama, yakni tekad Orde Baru untuk melaksanakan UUD 1945 dan Pancasila secara murni dan konsekuen." Maka, berkali-kali ia mengingatkan, "Kita harus belajar dari sejarah." Belajar dari gejolak yang terjadi dalam sejarah RI, misalnya peristiwa G 30 S/PKI, ia tiba pada kesimpulan: bangsa Indonesia harus konsekuen menerima Pancasila sebagai dasar negara, sebagai satu-satunya ideologi dan sebagai pandangan hldup. Konsep pembangunan politik itulah yang selama dua puluhan tahun terakhir ini ia anut. Dimulai dengan penyederhanaan sistem kepartaian, disusul penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua ormas dan kekuatan sosial politik. Tahapan-tahapan yang harus dilalui memang memakan waktu lama, hingga ada yang menganggapnya terlalu pelan. Namun, tahapan-tahapan itu agaknya sudah diperhitungkan benar. Dan ia melangkah dengan hati-hati. Dalam soal asas Pancasila, misalnya, Kepala Negara tak pernah jemu-jemunya menegaskan, "Pancasila bukan agama" - untuk menghilangkan kekhawatiran umat Islam. Mungkin, tahapan berikutnya dimasuki selama Sidang Umum MPR bulan ini. Pekan lalu ia dianggap membuat "terobosan baru" tatkala - berbeda dengan masa-masa sebelumnya - ia menolak menyebut nama calon wakil presiden pada utusan F-KP yang menemuinya. Ia hanya menyebutkan lima kriteria buat jabatan wapres itu. Akibat pernyataan itu, sementara F-KP mencalonkan Sudharmono, F-PP mencalonkan J. Naro sebagai calon wakil presiden RI. Buat Cosmas Batubara, sikap Presiden itu bukan suatu kejutan. Anggota Dewan Pembina Pusat Golkar ini melihat adanya konsistensi berpikir Pak Harto sejak belasan tahun lalu. "Ada benang merah pada sikap dasar beliau yang konstitusional dan dalam menempatkan kekuatan sosial politik," ujarnya pekan lalu. Yang dimaksud Cosmas, dalam pembangunan politik yang dijalankan sejak awal Orde Baru, jelas terlihat adanya suatu sikap Pak Harto yang fundamental. "Cuma, cara pengungkapan sikap dasar itu disesuaikan dengan perkembangan yang ada," ujarnya. Dalam soal pencalonan wapres, misalnya, Cosmas melihat mulainya kekuatan sosial-politik dijadikan sarana penyalur dalam rekrutmen kepemimpinan nasional - di samping kekuatan sospol lain seperti ABRI. Ia dikenal berani bersikap di saat krisis. Nono Anwar Makarim, salah seorang tokoh KAMI di saat lahirnya Orde Baru, menggambarkan, "Pada saat krisis yang dahsyat, Soeharto mengibarkan bendera kepemimpinan. Pada saat keadaan tidak menentu, pada saat orang tidak tahu siapa lawan, siapa kawan, Soeharto unjuk warna, unjuk posisi setandas-tandasnya. Pada saat orang ragu, dia yakin dan memimpin." Ia, seperti kata Nono, "mengesankan kepemimpinan yang kuat batm, tenang, sangat sadar dan tidak terperdaya oleh tepuk tangan dan elu-eluan massa." Salah satu ketegasan sikapnya terlihat belum lama ini ketika semua orang ragu apakah Manila yang terus dilanda krisis dan kerusuhan sanggup menjadi tuan rumah KTT Asean. Presiden Soehartolah kepala negara ASEAN pertama yang menegaskan tekadnya untuk menghadiri KTT tersebut. KTT akhirnya berlangsung sesuai dengan jadwal. Tak heran bila PM Singapura Lee Kuan Yew dalam pidatonya di saat pembukaan memuji sikap Presiden Soeharto sebagai bukti komitmennya pada solidaritas ASEAN. "Presiden Soeharto ingin agar kita menunjukkan kesatuan sikap ASEAN untuk mendukung pemerintahan Anda (Ny. Cory Aquino -- Red.) di saat ada usaha untuk merongrong pemerintahan Anda." Meski tenang, sikap diam Soeharto ditinggalkannya bila muncul hal-hal yang dianggapnya sangat penting. Misalnya pada 1974 tatkala majalah POP mempertanyakan silsilah Pak Harto. Di luar kebiasaannya, Pak Harto menyelenggarakan pertemuan pers untuk membantah berbagai isu tentang garis keturunannya yang dianggap menyinggung martabat keluarganya. Presiden waktu itu mengutip sebuah pepatah Jawa untuk menjelaskan mengapa ia tidak bisa tinggal diam: Sadumuk bathuk, senyari bumi. "Sekalipun hanya didumuk, tetapi bathuk berarti mengenai keluarga dan pribadinya, sehingga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan. Senyari walaupun kecil, mengenai bumi, warisan, itu juga bisa menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan," ujar Pak Harto. Presiden Soeharto tampaknya memang memegang teguh beberapa prinsip yang kebanyakan diambilnya dari ajaran Jawa. Istilah-istilah seperti Rumangsa melu handarbeni. Wajib melu hanggondeli. Mulat sarira hangrasa wani (Merasa ikut mempunyai. Wajib ikut membela. Bcrani mawas diri), yang sering dikutip Kepala Negara, kini sangat dikenal masyarakat. Ajaran itu juga diamalkan Presiden dengan konsekuen. Sikap Mikul dhuur, mendhem jero (Memikul tinggi, menanam dalam - suatu kias bahwa anak berkewajiban menjaga martabat orangtua) diterapkannya, misalnya, dalam perlakuannya terhadap bekas Presiden Soekarno. Meski didesak, ia menolak untuk mengajukan bekas presiden itu ke pengadilan. Diam-diam, ternyata Pak Harto selama bertahun-tahun mengumpulkan berbagai pepatah dan kutipan ajaran Jawa itu untuk diwariskan kepada anak-cucunya. Akhir tahun lalu, saat memperingati ulang tahun pernikahannya yang ke-40, buku kumpulan wejangan itu diterbitkan (baca Sebuah Wasiat Raja Naga). Perayaan lima windu pernikahan Soeharto dan Ny. Tien 26 Desember 1987 itu juga disertai peletakan batu pertama pembangunan Museum Purna Bhakti Pertiwi, yang letaknya di samping TMII. Di museum yang direncanakan selesai pada 1990 ini akan ditaruh benda-benda yang ada hubungannya dengan Soeharto sebagai kepala negara dan pemimpm bangsa. Agaknya, museum ini juga bagian dari wasiat yang ingin ditinggalkan Soeharto sebagai seorang bapak kepada anak-anaknya. Sebagai bapak bangsa. Menteri KLH Emil Salim, yang selama belasan tahun membantu Presiden, melihat pertumbuhan Soeharto sebagai father figure (sosok bapak) bagi bangsa. "Kalau Bung Karno menciptakan nation, Pak Harto memberikan kepada bangsa Indonesia satu kesatuan, bukan hanya politik, tapi juga emosional," katanya. Mungkin, itu sebabnya lebih dari 23 ribu surat kebanyakan dari anak-anak - dalam setahun dikirimkan kepada Presiden dari seluruh Indonesia. Ada yang minta prangko, foto Presiden, bahkan sepeda mini. Dan sang Bapak umumnya meluluskannya. S.P.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini