Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pemborong-Pemborong Proyek Inpres

Untuk tahun'75/76 kab. lombok tengah mendapat 72 sd inpres. Akibat berbagai kebijaksanaan bupati, timbul kericuhan. Pembangunan SD di desa baleka tertunda, karena pekerjanya berpindah-pindah pemborong. (ds)

19 Juni 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI tahun 75/76 daerah Kabupaten Lomhok Tengah kebagian jatah 72 SD Inpres. Rencana pembangunan itu tentu saja menggirangkan rakyat, karena mereka akan mendapatkan tempat belajar buat anak-anak. Juga yang tak kurang girangnya ialah para pemborong. Sebab tentunya mereka akan panen borongan. Tak hanya para pemborong asal Lombok Tengah. juga yang dari Lombok Barat. "Sebenarnya diprioritaskan pemborong-pemborong lokal", tutur Bupati drs. Lalu Srigede. Tapi, katanya, ia tak sampai hati tak memberi pekerjaan kepada pemborong-pemborong dari luar, terutama Lombok Barat. Karena, katanya lagi, banyak di antara mereka itu yang punya andil dalam mensukseskan pembangunan di kawasan sang bupati. Justru kebijaksanaan itu membuahkan kericuhan. Yaitu terlambatnya penyelesaian pembangunan SD-SD itu. Sebab antara domisili si pemborong dan tempat proyek pembangunan SD itu terlalu jauh. Hingga bahan-bahan bangunan yang perlu tak bisa cepat didrop. Tapi sang bupati masih bisa bersabar. Ia memberi kesempatan meneruskannya dengan menjatuhkan semacam hukuman. Yaitu selain harus mengajukan permintaan perpanjangan waktu diharuskan membayar denda Rp 5000 per harinya. Salah satu pemborong yang kena hukuman itu ialah sebuah CV yang memborong SD di desa Beleka. Meskipun ia menerima keputusan bupati, tampakya diam-diam ia merasakan ketidak-adilan sang bupati. Karena menurut sipemborong keterlambatan itu tak lain akibat tak tegasnya kete ntuan dari bupati/PU Kabupaten. Ceritanya begini. Tatkala pembangunan SD itu akan dimulai ada instruksi bahwa konstruksi kap harus kayu meranti, sedang untuk kamfer dan usuk boleh dipakai kayu-kayu jenis lain. Tentu saja CV tadi mentaatinya, seperti juga pemborong lainnya. Apalagi kayu asal Kalimantan itu harus dibeli lewat gudang Pemda yang menyediakan kayu itu dari perusahaan penggergajian kayu Rimba Agung. Tapi pada saat-saat bangunan akan rampung, datang lagi instruksi Bupati (lewat PU tentu) yang berisi ketentuan bahwa konstruksi kap harus memakai kayu kelokos, jenis kayu yang lebih baik. Tentu saja para pemborong kalang kabut. Terutama pemborong dari luar Lombok Tengah. Apalagi kayu yang diambil dari Rimba Agung sudah dipotong duluan tatkala para pemborong menerima pembayaran termin pertama. Dan rat-rata mesti mengambil 20 M3 dengan harga per M3nya Rp 36 ribu. Di samping itu ada keanehan lainnya, yaitu mereka yang cuma mau mengambil 3 M3 saja misalnya, tetap diharuskan membayar untuk 20 M3 pula. Dan yang lebih menyedihkan adalah nasib CV tadi karena tanpa dimusyawarahkan, pekerjaannya yang sudah 65% diberikan kepada pemborong lain. Tanpa alasan yang jelas.Tapi menurut H. Murtabat penerusnya, ia menerima pekerjaan itu "cuma karena perintah Bupati"

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus