DI tahun 75/76 daerah Kabupaten Lomhok Tengah kebagian jatah
72 SD Inpres. Rencana pembangunan itu tentu saja menggirangkan
rakyat, karena mereka akan mendapatkan tempat belajar buat
anak-anak. Juga yang tak kurang girangnya ialah para pemborong.
Sebab tentunya mereka akan panen borongan. Tak hanya para
pemborong asal Lombok Tengah. juga yang dari Lombok Barat.
"Sebenarnya diprioritaskan pemborong-pemborong lokal", tutur
Bupati drs. Lalu Srigede. Tapi, katanya, ia tak sampai hati tak
memberi pekerjaan kepada pemborong-pemborong dari luar, terutama
Lombok Barat. Karena, katanya lagi, banyak di antara mereka itu
yang punya andil dalam mensukseskan pembangunan di kawasan sang
bupati.
Justru kebijaksanaan itu membuahkan kericuhan. Yaitu
terlambatnya penyelesaian pembangunan SD-SD itu. Sebab antara
domisili si pemborong dan tempat proyek pembangunan SD itu
terlalu jauh. Hingga bahan-bahan bangunan yang perlu tak bisa
cepat didrop. Tapi sang bupati masih bisa bersabar. Ia memberi
kesempatan meneruskannya dengan menjatuhkan semacam hukuman.
Yaitu selain harus mengajukan permintaan perpanjangan waktu
diharuskan membayar denda Rp 5000 per harinya.
Salah satu pemborong yang kena hukuman itu ialah sebuah CV yang
memborong SD di desa Beleka. Meskipun ia menerima keputusan
bupati, tampakya diam-diam ia merasakan ketidak-adilan sang
bupati. Karena menurut sipemborong keterlambatan itu tak lain
akibat tak tegasnya kete ntuan dari bupati/PU Kabupaten.
Ceritanya begini. Tatkala pembangunan SD itu akan dimulai ada
instruksi bahwa konstruksi kap harus kayu meranti, sedang untuk
kamfer dan usuk boleh dipakai kayu-kayu jenis lain. Tentu saja
CV tadi mentaatinya, seperti juga pemborong lainnya. Apalagi
kayu asal Kalimantan itu harus dibeli lewat gudang Pemda yang
menyediakan kayu itu dari perusahaan penggergajian kayu Rimba
Agung.
Tapi pada saat-saat bangunan akan rampung, datang lagi instruksi
Bupati (lewat PU tentu) yang berisi ketentuan bahwa konstruksi
kap harus memakai kayu kelokos, jenis kayu yang lebih baik.
Tentu saja para pemborong kalang kabut. Terutama pemborong dari
luar Lombok Tengah. Apalagi kayu yang diambil dari Rimba Agung
sudah dipotong duluan tatkala para pemborong menerima pembayaran
termin pertama. Dan rat-rata mesti mengambil 20 M3 dengan harga
per M3nya Rp 36 ribu. Di samping itu ada keanehan lainnya, yaitu
mereka yang cuma mau mengambil 3 M3 saja misalnya, tetap
diharuskan membayar untuk 20 M3 pula. Dan yang lebih menyedihkan
adalah nasib CV tadi karena tanpa dimusyawarahkan, pekerjaannya
yang sudah 65% diberikan kepada pemborong lain. Tanpa alasan
yang jelas.Tapi menurut H. Murtabat penerusnya, ia menerima
pekerjaan itu "cuma karena perintah Bupati"
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini