Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Difabel

Pembukaan Asian Para Games 2018, Ada Bahasa Isyarat Asal Bali

Pembukaan Asian Para Games 2018 berlangsung pada Sabtu malam, 6 Oktober 2018 di Gelora Bung Karno.

7 Oktober 2018 | 07.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Defile kontingen Indonesia berjalan saat Upacara Pembukaan Asian Para Games 2018 di Stadion Utama GBK, Senayan, Jakarta, Sabtu, 6 Oktober 2018. ANTARA

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pembukaan Asian Para Games 2018 berlangsung pada Sabtu malam, 6 Oktober 2018 di Gelora Bung Karno. Di acara tersebut terdapat salah satu bahasa isyarat yang tumbuh secara alami di Desa Bengkala, Buleleng, Bali. Di desa inilah jumlah komunitas Tuli terbesar di dunia berada.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penduduk di desa ini tidak menggunakan bahasa isyrat yang lazim dipakai insan Tuli Indonesia. Mereka menggunakan bahasa isyarat bernama Kolog. Bahasa ini berkembang secara alami melalui pergaulan sosial.

"Struktur dan kosa katanya sangat berbeda dengan Bisindo (Bahasa Isyarat Indonesia), dan hampir tidak dapat dimengerti oleh sesama insan Tuli,” ujar peneliti bahasa isyarat dari Laboratorium Bahasa, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia, Kusumo Adi Baroto, saat dihubungi Tempo, Sabtu 6 Oktober 2018.

Menurut Adi, penduduk Desa Bengkala memiliki ekspresi sendiri dalam melafalkan bahasa isyarat. Dia mencontohkan, gerakan isyarat pada kata ‘makan’ dalam Bahasa Kolog berbeda dengan Bisindo atau SIBI.

Para warga yang berpartisipasi untuk belajar bahasa isyarat di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta Pusat (13/04). TEMPO/Dasril Roszandi

"Ekspresi kata makan pada bahasa Kolog membuat gerakan tangan seperti mencomot sesuatu lalu dimasukkan ke mulut,” ujar Adi. Sedangkan kata ‘makan’ pada Bisindo diekspresikan dengan gerakan makan memakai sendok dan garpu.

Bahasa kolog ditemukan pada 1975 di Desa Bengkala yang 80 persen penduduknya tuli. Mengalir sebagai bahasa alami, keberadaan bahasa isyarat ini hampir punah. Hingga kini belum diketahui penyebab sebagian besar warga Besa Bengkala mengalami ketulian.

“Kalau secara genetis rasanya tidak terlalu berpengaruh, sebab ada penduduk yang menikah sesama penduduk Tuli, tapi anaknya tidak Tuli," ujar ahli audio vestibular dari RS Premiere Bintaro, Siti Faiza. "Namun ada pula yang menikah dari luar desa anaknya ada yang Tuli dan ada yang tidak.”

Spesialis Telinga Hidung Tenggorokan dari Universitas Indonesia ini takjub dengan cara komunikasi warga Desa Bengkala. Selain memakai bahasa isyarat, mereka Desa Bengkala juga menggunakan papan tulis untuk berkomunikasi secara inklusif.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus