Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

politik

Pemilu 2024, Banyak Difabel Tak Dapat Mengakses TPS dan Kertas Suara Dibatasi

Catatan penyelenggaraan Pemilu 2024, banyak difabel tidak bisa menggunakan hak suaranya karena mendapatkan kertas suara terbatas.

16 Februari 2024 | 18.42 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Pemungutan suara pada Pemilu 2024 usai dilaksanakan dua hari lalu, namun pelaksanaannya belum menerapkan prinsip inklusifitas bagi pemilih dengan disabilitas.  Sasana Inklusi dan Gerakan Advokasi Difabel (SIGAB Indonesia), Forum Masyarakat Pemantau untuk Indonesia Inklusif Disabilitas (FORMASI Disabilitas), dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM, menemukan sejumlah fakta ketidaksinkronan antara kebijakan pusat yang menjamin hak suara penyandang disabilitas dan penerapan di lapangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Faktanya hasil pemantauan ini menunjukkan bahwa penyelenggara Pemilu abai terhadap pemenuhan hak tersebut. Pesta demokrasi yang seharusnya dinikmati oleh semua orang, nyatanya tidak bagi difabel,” ujar Ranie Ayu Hapsari dari Pusat Rehabilitasi Yakkum, dalam siaran pers yang diterima Tempo, Kamis 15 Februari 2024.

Ada 223 TPS di 20 Provinsi untuk Difabel

Dalam pemantauan pemungutan suara yang dilaksanakan di lebih 223 Tempat Pemungutan Suara (TPS) di 20 Provinsi, masih ditemukan beberapa catatan yang menyebabkan hambatan signifikan bagi pemilih difabel dalam memanfaatkan hak pilih mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertama, banyak tempat atau bangunan yang digunakan sebagai lokasi TPS tidak mudah diakses difabel. Di sebagian besar lokasi pemantauan, TPS berada di gedung atau bangunan cukup tinggi yang harus diakses dengan anak tangga. Ini menyebabkan pemilih difabel dengan keterbatasan mobilitas kesulitan mencapai bilik suara. Akibatnya, mereka harus mengandalkan bantuan petugas ketika hendak melakukan pencoblosan.

Mencoblos di Luar Bilik Suara

"Bahkan ditemukan pula sejumlah kejadian seperti pemilih difabel harus memilih di luar bilik suara dan di luar TPS karena kesulitan mengakses, dan pencoblosan disaksikan banyak orang," kata Ranie . Hal ini melanggar asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil sebagaimana aturan penyelenggaraan Pemilu. Kejadian ini ditemukan salah satunya di TPS 020 Baturan, Sabdodadi Kabupaten Bantul, Yogyakarta.

Penyandang disabilitas mencoblos dalam Pemilu 2024. Foto: Istimewa.

Kedua, ketiadaan alat bantu pencoblosan berupa template Braille untuk kertas suara DPR RI, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. Ketiadaan akses ini  dikeluhkan oleh pemilih difabel sensorik netra sebagai pengabaian penyelenggara Pemilu atas jaminan bagi mereka untuk dapat memilih secara mandiri.

Kertas Suara Disabilitas Netra Hanya Pilpres dan DPD

Di semua lokasi TPS yang terpantau, template Braile yang tersedia hanya untuk kertas suara Presiden dan Wakil Presiden, serta kertas suara DPD RI. Selain itu, desain template Braille dengan kertas suara tidak dibedakan posisinya. Sehingga pemilih dengan hambatan penglihatan tetap membutuhkan bantuan petugas KPPS atau keluarga dalam pengunaan template Braille.

Ditemukan pula petugas KPPS yang hanya membolehkan pemilih difabel netra mencoblos dua surat suara, yakni Presiden dan DPD. Sementara tiga surat suara yang lain tidak diberikan karena petugas KPPS berdalih kalau peraturan KPU tidak mengizinkannya. Hal ini dengan nyata menghilangkan hak memilih bagi difabel netra untuk memilih calon legislatif DPR RI pusat hingga ke Kabupaten. Temuan ini terjadi di TPS 03 jalan Nusakambangan, Denpasar Barat.

Ketiga, juga ditemukan kurangnya pembekalan bagi petugas KPPS terhadap kelompok pemilih rentan. Di NTT misalnya, di TPS 003 desa Baumata Timur dan TPS 002 desa Kuaklalo, Kabupaten Kupang. Petugas KPPS enggan memberikan pelayanan kepada difabel yang diketahui keberadaannya untuk memilih. Selain itu, pemantau difabel yang bertugas di TPS 002 Desa Kuaklalo pun dilarang KPPS untuk mengambil gambar hasil perhitungan suara dan mengambil gambar dalam lokasi TPS.

Selanjutnya, Bahkan di Kota Kupang

Bahkan di Kota Kupang, di TPS 003, Kelurahan Naikoten 1, Petugas KPPS enggan mencatatkan pemilih difabel kedalam daftar pemilih yang memiliki disabilitas. Dalam catatan hasil perhitungan suara, jumlah pemilih difabel ditulis nol. Selain itu masih banyak bilik suara yang menggunakan anak tangga dan licin sehingga menjadi hambatan bagi pemilih difabel pengguna kursi roda.

"Petugas KPPS beralasan, mereka belum paham tentang bagaimana memberikan akomodasi yang layak bagi difabel," tulis catataan pemantauan pemilu akses 2024 ini.

Keempat, pada difabel mental psikososial, pemungutan suara dilakukan di panti rehabilitasi yang terpisah dengan TPS lainnya. Petugas terdiri dari KPPS, saksi dan Linmas. Upaya ini diapresiasi karena telah mengakomodir hak politik bagi difabel mental psikososial, tetapi kerahasiaan pilihan dari para pemilih tidak dapat terjamin. Ini terjadi di rumah singgah Dusaroso, Kebumen Jawa Tengah.

Nur Syarif Ramadhan, Eksekutif Nasional Formasi Disabilitas menegaskan bahwa temuan-temuan di atas baru sebagian kecil dari hasil pemantauan. Hingga saat ini, data dari masing-masing TPS dan wilayah pemantauan tengah dianalisa dan diolah. Masih banyak informasi dan temuan dari pemantau di lapangan terkait pelanggaran-pelanggaran selama proses pemilihan berlangsung.

“Temuan ini masih sebagian kecil. Para pemantau dalam proses penginputan data dan mengirim nya ke Tim aksi kolektif. Kemungkinan masih banyak temuan-temuan lain yang akan muncul,” kata Nur Syarif.

Sementara itu, M. Joni Yulianto, Direktur SIGAB Indonesia menuturkan penyelenggaraan Pemilu 2024 ini mengalami kemunduran. Pelaksanaan dan pemberian akomodasi bagi pemilih difabel tidak dipersiapkan dengan serius, meski aturan yang ada sudah memandatkan. Selain itu keseluruhan temuan-temuan dari pemantau aksi kolektif yang bertugas akan ditindaklanjuti, terutama kepada penyelenggara Pemilu untuk perbaikan di masa mendatang.

“Temuan awal dari pemantauan ini mengkonfirmasi betapa keberadaan difabel belum menjadi arus utama dalam penyelenggaraan PEMILU. Temuan survey beberapa minggu lalu yang kami lakukan, ditambah temuan pemantauan ini mengkonfirmasi bahwa pemilih rentan, termasuk difabel, masih menjadi pemilih kelas dua. KPU dan BAWASLU selaku penyelenggara PEMILU tentu berkewajiban untuk menindak-lanjuti temuan ini sebagai perbaikan, baik untuk penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (PILKADA) yang akan berlangsung di tahun ini, maupun PEMILU mendatang,” kata Joni Yulianto.

Pemantauan yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh SIGAB Indonesia, FORMASI Disabilitas dan Pusat Rehabilitasi YAKKUM ini diikuti oleh 223 pemantau yang tersebar di 223 TPS, 42 Kabupaten yang tersebar di 20 Provinsi di Indonesia. Pemantauan melibatkan jaringan organisasi dan pegiat difabel di berbagai daerah ini difokuskan untuk mengamati proses pemenuhan hak politik difabel sepanjang Pemilu 2024.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus