Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Medan - Para peternak, pengusaha kuliner, pengumpul sisa-sisa makanan untuk makanan babi (parnap), dan pecinta hewan berkaki empat menggelar aksi Save Babi pada Senin, 10 Februari 2020. Mereka mendatangi kantor DPRD Sumatera Utara menolak pemusnahan ternak babi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Save babi... Kami menolak pemusnahan. Babi punya kedaulatan dan bagian dari budaya suku Batak, khususnya yang beragama Kristen. Kami menuntut presiden menyelesaikan kasus virus babi ini,” teriak orator aksi dari atas mobil komando, Senin, 10 Februari 2020.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Massa yang didominasi kaum ibu ini meminta wakil rakyat memikirkan nasib mereka yang hidup bergantung pada binatang ternak bermoncong panjang itu.
Isu pemusnahan babi muncul pasca-wabah African Swine Fever (ASF) atau demam Babi Afrika dan Hog Cholera. Pemusnahan babi dianggap bisa mencegah penyebaran virus yang telah membuat ribuan babi mati.
Ketua Komunitas Save Babi, Boasa Simanjuntak mengatakan, aksi mereka hari ini untuk mendeklarasikan Hari Kedaulatan Babi atau Gerakan 102. Menurutnya, Gerakan 102 tidak pernah membuat acara reuni, namun akan membuat peringatan setiap tahunnya.
“Ini gerakan spontanitas. Dalam suku Batak, babi tidak bisa digantikan. Babi adalah binatang paling bersih, mandi tiga kali sehari. Kalau tidak mandi, babi akan menangis,” kata Boasa.
Dia menduga ada konspirasi di balik wabah ASF dan Hog Cholera. Dia mendesak polisi melakukan penyelidikan masuknya virus yang menyerang babi di Sumut. Apalagi, kata Boasa, beternak babi menjadi salah satu mata pencaharian warga. Kalau sumber penghasilannya dimusnahkan, banyak warga yang terancam ekonominya.
“Dari babi banyak yang jadi jenderal, jadi profesor. Babi juga yang mendanai kampanye para caleg,” teriak Boasa.