TIMZAR Zubil (27) 7 Maret lalu divonis mati oleh majlis hakim di
Pengadilan Negeri Medan, yang bersidang sampai 17 kali. Timzar
yang mendengar putusan tersebut menyambut dengan senyum,
kemudian menyalami majlis hakim, jaksa dan pembelanya, RM
Syaiful Jalil Hasibuan SH. Ia menyatakan tidak naik banding.
Bahkan ia minta agar hukuman mati itu segera dilaksanakan atas
dirinya. "Di depan umum," tambahnya agak keras dengan wajah
kemerahan. Mendengar itu hadirin yang cukup ramai, banyak yang
kaget. Ada yang berkomentar: "Keras sekali jiwanya."
Terhukum dipersalahkan menggerakkan "Komando Jihad Menurut
jaksa, Timsar adalah "Asisten I grup diskusi yang mempunyai
struktur militer dari Komando Pertempuran Wilayah (KPW) Sumatera
Utara " yang disebut Komando Jihad. Tapi menurut Timsar dalam
nota penjelasannya (43 halaman tik) kepada Jaksa M.B. Pasaribu
27 Pebruari lalu, instruktur yang kami bentuk baru sekedar
persiapan, belum punya nama apa-apa dan belum pernah
menggariskan program kerja. Nama Komando Jihad yang diberikan
kepada struktur tersebut saya sendiri kurang jelas apa tujuan
dan maksudnya."
Pada bagian lain Timsar mengatakan, 'Komando Jihad itu narna
yang diberikan kepada kami, bukan nama yang kami cari dan buar
sendiri.' la juga menguraikan proses interogasi terhadap
dirinya dan barang bukti berupa surat yang salinannya dikerjakan
saksi Jalaluddin Abdul Muthalib. Menurut saksi, surat itu
ditulis di depan Teperda Sum-Ut "berdasarkan ingatan" belaka.
Sedang kepala surat Komando Jihad Tentara Islarn Indonesia,
"sebenarnya tidak ada sama sekali dan hal itu telah dijelaskan
kepada interagator yang memeriksanya," kata Timsar.
Jaksa menuntut Timsar dengan tuduhan subversi. Ia di kenakan
Undang-undang No. 11/PNPS/1963 dan subsider terlibat pasal 110
ayat 1 dan 2 sub 1,2,3 dan 4, jo pasal 108 jo pasal 55 KUH
Pidana, dihubunghan pasal 2 UU No 5/PNPS/1959. Tapi menurut
majlis dalam amar vonisnya, yang subsider itu tak perlu lagi
dibuktikan. Karena terhukum sudah terbukti bersalah melakukan
tindak pidana subversi. Menurut hakim, terhukum ingin
menghidupkan kembali DI/TII dan memperjuangkan berdirinya Negara
Islam Indonesia menggantikan Negara Republik Indonesia yang
berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Digerebek 3 Malam
Selain itu majlis juga menilai terhukum selama sidang cukup
sopan, tapi sudah mengadu-domba antara umat Islam dengan
Kristen. Karena terhukum menolak banding, justru yang banding
adalah pembela. Jaksa sendiri masih berpikir-pikir dulu. Ketika
keputusan hukuman mau dibacakan, Koeswandi (hakim ketua) meminta
agar Timsar berdiri. Tapi ditolaknya. "Ketika saya membaca
ayat-ayat Qur'an dalam pembelaan, tidak ada yang mau menghormat
dan menolak berdiri. "Kenapa sekarang saya harus berdiri?" tanya
Timsar.
Dalam sidang, tertuduh mengakui perbuatan-perbuatannya. Seperti
peledakan Bar Apollo, bioskop Riarg, gereja Katolik dan Methodis
di Medan dan beberapa tempat yang dianggapnya maksiat di
Sumatera Utara. Akibat adanya korban, ia juga tak lupa
menyatakan "permintaan maaf kepada para korban dan kaum kerabat
mereka semua."
Timsar yang lahir di Payakumbuh, Sumatera Barat, dikenal di
Medan tempo hari sebagai salah seorang pengurus PII Wilayah
Sumatera Utara. Ia berpendidikan SMA, pernah jadi wartawan salah
satu harian di Medan. Sebelum ditangkap masih menjadi pegawai
salah Satu perusahaan asuransi di Jalan Binjai. Ketika masih
wartawan, pernah ikut meniadi penerjun FASI Beberapa foto ketika
ia mengikuti terjun payung di Polonia, masih disimpan baik-baik
oleh isterinya.
Ia ditangkap di rumah orang tuanya di Jalan Bambu gang Sairan,
Kampung Durian, 16 Januari 1977. Pada tanggal yang sama, Januari
lalu mertuanya, Asgar Ali, meninggal dunia di rumahnya di Jalan
Gaharu 26 B. Sidang ditunda karena Timsar harus melayat ke
rumah dengan pengawalan ketat. Menurut isterinya, Nuraini (20)
"ayah sakit-sakit setelah rumah kami digerebek 3 malam
berturut-turut sebelum bang Timsar ditangkap." Mereka sudah
hampir 3 tahun berumah tangga dan kini mempunyai anak laki-laki
1 « tahun.
Sebelum diadili, Timsar sudah minta agar Tasrif SH yang
membelanya. "Kai .na tak diijinkan, ia tak bersedia dibela,"
kata Nuraini. "Sebelum itu Syafruddin Prawiranegara SH juga
sudah dimintanya sebagai pembela juga ditvlak. Akhirnya ditunjuk
2 anygota Peradin Cabang Medan."
Timsar Zubil bersaudara 8 orang. Empat di antaranya sudah
meninggal. Dari yang tersisa, dia anak kedua dan satu-satunya
yang lelaki. "Sikapnya lemah-lembut, sabar dan pembawaannya
tenang," kata kakaknya. "Tapi dalam hal-hal yang prinsipiil
jiwanya keras." Menurut Yusni, "dia juga amat berwibawa dalam
keluarga." Kalau ada anggota keluarga yang berbuat tidak baik,
konon Timsar tak pernah ngomel. Cukup dari pandangan matanya,
kami sudah sadar kesalahan yang kami lakukan," ungkap Yusni.
Di Padang, perkara yang ada hubungannya dengan Timsar Zubil,
sedang berjalan. Tertuduhnya tiga orang. Zulfikri Yaman (26)
guru madrasah Tsanawiyah Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera
Barat, berasal dari Tanah Datar. Kini punya seorang anak berumur
3 tahun Yamani, isterinya, kini berjualan telur.
Solehuddin Siregar (35) sehari-hari menjual rokok dan membantu
sebuah harian Medan. Ayah dari 3 anak itu tertangkap karena
memasang bom di rumahsakit Bmanuel, Bukittinggi, tahun 1976.
Sementara Bachtiar Natila (26) adalah mahasiswa PGSLP IKIP
Padang, berasal dari Kabupaten Tanah Datar.
Jual Daging Kambing
Di Jakarta, perkara yang sejenis juga dibawa ke pengadilan.
Tertuduh dikenal sebagai mahasiswa FIPIA-UI yang memperoleh
beasiswa Supersemar. Namanya Fahmi Basya (27). Ayahnya, llamdi
Bakri, berasal dari Banjarmasin. Ibunya, nyonya Barka punya
darah Thailand-ayahnya dari sana, ibunya dari Pekanbaru. Fahmi
adalah anak ke empat dari enam bersaudara. Ayahnya, pensiunan
letnan dua korps musik AD itu, kini tinggal di Bandung berjualan
daging sapl dan kambing.
Di kalangan teman-temannya, Fahmi yang sejak tamat SMA tinggal
di mesjid Al Huda, Senayan dan mesjid ARH di UI, dikenal tegas
dalam pendirian. Sejak kecil sudah gemar berkelahi dan tak
pernah mau kalah berduel. Namun Fahmi suka menolong
teman-temannya. Beberapa di antara mereka hahkan disokong biaya
sekolahnya. Ibunya, yang selama ini ditanggung abangnya, Fuad,
guru STM, sering juga ia kirimi susu dan gula. Fahmi yang sejak
kuliah hidup atas biaya sendiri memperoleh pendapatannya, antara
lain dari mengajar di STTN dan membuka les-les untuk anak-anak
SMA.
"Dia memperoleh pendidikan agama dari ayahnya," ujar nyonya
Barka. Dan ibu yang kini menetap di Jakarta itu tidak menyesal
akan perbuatan anaknya. "Saya memeluk Islam. Saya takut
menyesalkan Fahmi karena takut dilaknat Allah. Apa alasan saya
menyesalkan dia. Apakah Fahmi sudah berbuat dan membunuh
orang?," tanyanya. Tapi ibu ini juga tak berani membenarkan
anaknya. "Karena saya tak faham politik, kalau gerakan Fahmi itu
bersifat politik. Tapi saya mengharap dia bisa bebas. Siapa yang
tak menginginkan anaknya selamat?".
Tentang kebencian Fahmi terhadap tempat maksiat dan ayat-ayat
suci yang dibacakannya di pengadilan, nyonya Barka memberi
komentar "Apa ada yang salah dari Al-Qur'an? kalau diturutkan
ajaran agama, maksiat jelas melanggar kesusilaan. Tapi saya
tahu, Indonesia bukan negara Islam. Setahu saya pengetahuan
agama Fahmi tidak mendalam. Semoga hakim berkenan memaafkan
dia."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini