Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengalaman Koko Di PBB

Wawancara Tempo dengan Rektor Universitas PBB Soedjatmoko tentang pengalamannya menjadi anggota delegasi PBB, peran PBB dalam proses kelahiran RI dan hasil nyata PBB selama 40 tahun. (nas)

26 Oktober 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dr. Soedjatmoko, 63, merupakan salah seorang pelopor diplomasi Indonesia di dunia internasionaL Rektor Universitas PBB ini menuturkan pengalamannya menjadi anggota delegasi RI di PBB kepada Seuchi Okawa dari TEMPO, di kantornya di Tokyo, Sabtu pekan lalu. KETIKA berusia 25, Soedjatmoko telah mendapat perintah dari Perdana Menteri Sjahrir untuk bertugas di PBB. Pada saat itu, 1947, Belanda melakukan blokade terhadap wilayah RI, dan Sjahrir merasa yakin Belanda akan segera menyerang. Karena itulah Soedjatmoko, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, dan Charles Tambu, orang Sri Lanka yang bersimpati terhadap perjuangan Indonesia diperintahkan segera menembus blokade ke New York. Tugas mereka adalah mengadu ke PBB jika Belanda menyerang dan memperjuangkan pengakuan internasional terhadap kelahiran RI. "Kami pergi sendiri-sendiri dengan rendezvous point di Singapura," tutur Koko, panggilan akrab Soedjatmoko. Ini memang bukan tugas yang ringan. Apalagi soal dana pun seret. "Kami diperintahkan menggunakan dana hasil penjualan rempah dan karet yang dapat dibawa ke Amerika oleh kapal AS," cerita Koko. Celakanya, pihak Belanda ternyata cukup gesit. Melalui upaya hukum uang pembayaran komoditi itu dibekukan (escrow) oleh pengadilan setempat. Alhasil, mereka terpaksa hidup dari dana pinjaman dan tersaruk-saruk di negeri orang. Namun, penderitaan ini tidak sia-sia. Begitu Belanda menyerang, mereka bisa langsung mengadukannya ke Dewan Keamanan PBB. Tapi baru setelah Sjahrir dan H. Agus Salim tiba di New York, kursi Indonesia di PBB bisa diisi secara resmi. Maka, era perjuangan diplomasi RI di organisasi internasional ini pun dimulai. Nico Palar kemudian resmi menjadi ketua delegasi RI, sementara Koko menjadi wakilnya. Strategi perjuangan cukup jelas. Mencari tameng berupa dukungan dan proteksi internasional. "Soalnya, waktu itu masuknya tentara Sekutu ke Indonesia membuka jalan bagi masuknya Belanda, sementara Indonesia tak punya tentara selain laskar bersenjatakan rampasan dari Jepang," kata Soedjatmoko, yang sejak 1980 menjadi Rektor Universitas PBB di Tokyo. Jadi, yang menjadi tujuan utama adalah political solution. Ini berarti mencoba mempengaruhi opini dunia. Karena itu, media merupakan salah satu ajang pertempuran yang seru. Misalnya saja setelah Aksi Militer II, Belanda, yang menduduki Yogya untuk membuktikan bahwa seluruh Indonesia sudah diduduki, menyiarkan kejadian ini ke seluruh dunia. Utusan Belanda di PBB bahkan segera menyatakan hal ini di dalam sidang PBB. Sial buat Belanda, pada saat itu persis pihak Indonesia berhasil menduduki kembali Yogya. Koko pun segera membuat konperensi pers mengenai keadaan ini. "Maka, citra Belanda jadi hancur," katanya. Pada hemat Koko, tekanan internasional ini merupakan salah satu faktor penentu yang membuat Belanda menerima penyelesaian politik. "Karena itu, mau tak mau, kita harus mengakui besarnya peran PBB dalam proses kelahiran RI dan pengakuan internasionalnya". Apalagi Indonesia, kemudian, juga menarik banyak manfaat PBB dalam usaha pembangunannya. Karena itu, menjadi tugas Indonesia dan juga negara lain yang mendapat manfaat dari PBB untuk membela kelangsungan hidup organisasi ini. "Terutama di saat sekarang, ketika PBB mendapat ancaman dari erosi kepercayaan terhadap pendekatan multilateralismenya." Dalam pemikiran seperti inilah Soedjatmoko tak sependapat jika perayaan HUT PBB ke-40 dianggap berlebihan. Sebab, pada usianya yang sekarang, generasi yang terlibat dalam proses lahirnya PBB mulai menghilang. Berarti perlu ada estafet nilai dasar PBB pada generasi penerus. Betapapun dalam usianya yang ke-40 ini PBB belum dapat merealisasikan cita-citanya Koko merasa, "Kita tetap berpegang pada cita-cita itu." Sebab, jika tidak, maka, "Tidak ada harapan sama sekali bahwa kita dapat mengatasi keadaan kacau sekararig ini." Ia juga menyadari bahwa adanya hak veto merupakan cerminan pola kekuasaan internasional pada saat berakhirnya Perang Dunia Kedua. Karena itu, sudah tak sesuai lagi dengan keadaan sekarang. "Biarpun demikian, masih dapat dilakukan usaha untuk memperkuat PBB," katanya optimistis. BHM Laporan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus