UNTUK pertama kalinya pemerintah RI merayakan ulang tahun PBB secara besar-besaran. Tak urung dari Presiden Soeharto membacakan pidato menyambut hari jadi ini di layar TVRI, 23 Oktober. Rangkaian diskusi di berbagai perguruan tinggi, perlombaan mengarang, foto dan berbagai kegiatan lain mewarnai peringatan HUT PBB ke-40 yang jatuh pada 24 Oktober itu. Tak kurang dari Rp 363 juta disediakan pemerintah untuk semua acara ini. Peringatan ini bukan tanpa alasan. Antara lain karena majelis Sidang Umum PBB ke-39 telah mengeluarkan resolusi no 30/425 tahun lalu. "Isi resolusi itu antara lain menyatakan peringatan HUT PBB diselenggarakan di tiap-tiap negara dengan partisipasi masyarakat seluas-luasnya," kata Soedarmono, Ketua Pelaksana Peringatan Ulang Tahun PBB ke-40 yang sehari-hari menjabat Sekjen Deplu itu. Tindakan ini, agaknya, merupakan reaksi atas pernyataan Sekjen PBB Javier Perez de Cuellar yang mengatakan, "Terjadi erosi kepercayaan terhadap pendekatan multilateralisme PBB." Karena itu, dirasa perlu mengadakan evaluasi dan publikasi tentang apa yang telah dilakukan organisasi dunia ini sejak terbentuknya 40 tahun silam. Tak heran jika fokus acara peringatan adalah mendapatkan masukan. Presiden Soeharto, dalam amanatnya yang dibacakan oleh Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja di markas PBB di New York, menyatakan sikap tegas Indonesia untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai yang dikandung dalam piagam PBB. Bagaimanapun, lembaga internasional ini memainkan peran yang besar dalam proses lahirnya RI. "Berkat peranan Dewan Keamanan PBB, maka tercapai penyelesaian politik Indonesia-Belanda. Tanpa itu, penyelesaian hanya tergantung militer saja," kata Dr. Soedjatmoko, 63, Rektor Universitas PBB di Tokyo, kepada Seiichi Okawa dari TEMPO (lihat: Pengalaman Koko di PBB). Demikian pula dalam penyelesaian masalah Irian Barat walaupun ditambah dengan tekanan militer melalui Trikora. Toh hubungan antara RI dan PBB tak selalu mulus. Menjadi anggota resmi ke-60, pada 26 September 1950, Indonesia sempat menarik diri dari keanggotaannya, 20 Juni 1965. Hal ini terjadi, menurut Dr. H. Roeslan Abdulgani, "Karena Presiden Soekarno tidak memperoleh informasi yang lengkap tentang terpilihnya Malaysia menjadi anggota Dewan Keamanan PBB." Maklum, dalam masa konfrontasi dengan Malaysia, hal ini seolah-olah merupakan akibat kegagalan diplomasi RI di PBB. Padahal, pemilihan itu sebenarnya sudah terjadi dua tahun sebelumnya. Hanya saja, terjadi split membership alias Malaysia dan Yugoslavia harus bergantian menduduki masa jabatan yang dua tahun itu, dan giliran Yugoslavia sudah berakhir, akhir 1964 itu. Dewan Keamanan PBB mempunyai 5 anggota tetap: Inggris, Prancis, RRC, AS, dan Uni Soviet serta 6 anggota tak tetap yang dipilih setiap 2 tahun. Setelah peristiwa G-30-S meletus, menurut Roeslan Abdulgani, Bung Karno sepakat untuk mengakhiri konfrontasi dengan Malaysia dan kembali masuk PBB. Hanya saja, menurut tokoh yang saat itu menjabat sebagai Wakil Perdana Menteri itu, Bung Karno mengajukan syarat "asalkan ada negara lain yang meminta Indonesia kembali menjadi anggota PBB dan jangan kita yang meminta". Roeslan, konon, tertawa saja mend,engar persyaratan ini karena telah mengantungi permintaan serupa dari 10 negara sahabat, seperti Filipina, Mesir, dan Yugoslavia. Yang jadi persoalan adalah bagaimana caramasuknya kembali. Sebab, jika menggunakan jalur resmi, prosesnya panjang dan bertele-tele. Kebetulan surat Menteri Luar Negeri (saat itu) Soebandrio kepada Sekjen PBB tak tegas betul menyatakan apakah Indonesia keluar atau sekadar menghentikan kegiatan saja. "Saya berpegang pada yang terakhir," kata Roeslan, yang saat itu bertindak sebagai penjabat Kepala Perwakilan Tetap RI di PBB. Untuk itu, atas anjuran Sekjen U Thant Indonesia segera melengkapi persyaratan administratif seperti membayar iuran yang tertunggak dua tahun. Setelah itu Roeslan segera mengontak Pazwak, penjabat ketua majelis umum asal Afhhanistan. Beruntung pula tokoh ini bersimpati pada Indonesia sehingga membantu mengatur strategi agar kembalinya Indonesia ke PBB berjalan lancar. Misalnya sala dengan mengatur sidang pada sore hari, ketika para anggota sudah lelah. Juga memberikan waktu hanya setengah menit pada kesempatan menyatakan keberatan oleh anggota sidang. Alhasil, 26 September 1966, Indonesia kembali menjadi anggota resmi. Memang banyak juga yang mengkritik PBB bagai tong kosong saja karena ketidakberdayaannya merealisasikan keputusan. Kasus Palestina atau Afrika Selatan sering dijadikan bukti kritik ini. Tapi, agaknya, orang sering lupa bahwa PBB tak cuma bergerak di bidang politik. Indonesia misalnya banyak mendapatkan manfaat dari badan-badan nonpolitik PBB. Seperti manfaat pendidikan dari Unesco, pembangunan daerah miskin dari UNDP, atau perbaikan keadaan anak dari Unicef. Dalam lingkup pemikiran seperti ini, tema "PBB sebagai sarana untuk menciptakan dunia yang lebih baik" pada HUT ke-40 terasa lebih mengena. Seperti juga dikatakan Presiden dalam pidatonya, "Hari ulang tahun ke-40 Perserikatan Bangsa-Bangsa memberi kesempatan yang khas bagi kita untuk memperbarui pengabdian kita yang setulus-tulusnya terhadap tujuan-tujuan serta asas-asas piagam dan untuk memperteguh kembali kepercayaan kita kepada kemampuan Perserikatan Bangsa-Bangsa sebagai sarana utama untuk menjamin tercapainya kondisi minimum bagi perdamaian, keadilan, dan pembangunan di dunia. Bambang Harymurty Laporan biro Jakarta dan Tokyo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini