SARPAN lega. Fitnah yang dilontarkan kepadanya terkikis sudah.
Kepala Desa Babalan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati (Jawa
Tengah) ini pernah dituduh merampas sawah dan rumah, bahkan
dikatakan memaksa Sutiah bercerai dari suaminya untuk
dinikahinya sendiri. Itu pengaduan Sarminah bersama anaknya,
Sutiah, kepada Ketua DPR-RI Kartidjo pertengahan Februari lalu.
Pejabat di kantor Gubernur Ja-Teng geger. Untung tak sampai
sebulan kemudian masalahnya selesai. Kejaksaan Tinggi Ja-Teng,
10 Maret lalu, untuk kedua kalinya turun memeriksa. Tuduhan itu
tidak benar. Dan Sarminah dinyatakan "kurang waras".
Sebelumnya -- setelah yakin Sarpan tidak bersalah -- Gubernur
Soepardjo Roestam menulis surat 3 lembar kepada lurah itu. "Saya
menulis surat ini kepada pak Lurah dengan harapan agar pak Lurah
tidak berkecil hati dengan adanya pemberitaan tersebut. Saya
tetap menaruh kepercayaan kepada pak Lurah," begitu antara lain
bunyinya. Sudah 14 tahun Sarpan memimpin desanya. Kini ia
berusia 54 tahun.
Niat Kawin
Siapa sebenarnya Sarminah? Di tahun-tahun pertama perkawinannya
dengan Gunosardjo, rumah tangga mereka rukun-rukun saja. Tapi
ketika lahir Janadi lalu Sutiah, anak mereka, suami-istri itu
mulai sering cekcok. Akhirnya mereka bercerai dan pada 1955 Guno
kawin lagi dengan Gimah. Tiga tahun kemudian Guno meninggal.
Almarhum meninggalkan warisan sawah dan tanah pekarangan yang
disebut tanah norowito. Artinya harta yang didapat sebelum
kawin. (Harta yang diperoleh bersama setelah kawin disebut
gono-gini). Menurut adat, harta norowito jatuh hanya kepada anak
lelaki yang sah. Jika anak lelaki tak ada, harta itu menjadi
milik desa.
Begitu Guno meninggal, dibuatlah dua sertifikat untuk tanah
norowito seluas 0,292 ha dan 0,207 ha -- masing-masing atas nama
Janadi dan Sutiah yang waktu itu masih kecil. Bagian untuk
Sutiah tampaknya hanya karena faktor kasihan belaka. Meskipun
menurut PP 10/1966 -- yang ketika itu belum lahir -- warisan itu
harus dibagi sama-rata.
Sarminah setuju. Tapi karena kedua anaknya masih kecil -- lagi
pula Janadi diasuh Ngasman (modin Babalan, adik kandung
Sarminah) -- sawah itu pun digarap oleh janda Gunosardjo itu
dengan bantuan beberapa buruh-tani. Sampai di sini lancar-lancar
saja. Tapi ketika Janadi berusia 23 tahun (1978) dan berniat
kawin, keadaan berubah. "Menjelang kawin, sawah hak saya itu
saya minta tapi ibu menolak," kata Janadi. Karena perkawinan tak
mungkin ditunda, Janadi mengajak ibunya menghadap Petinggi
Sarpan. Dengan kesaksian Ngasman, dinyatakanlah sawah itu hak
Janadi.
Karena Sarminah tetap menolak, menyerahkan tanah itu kepada anak
lelakinya sementara Janadi enggan bertengkar dengan ibu
kandungnya, ditempuhlah jalan damai. Tanah pun dibagi dua. Suatu
ketika Janadi minta izin mengerjakan sawah bagian ibunya. Tapi
Sarminah diam saja. Janadi menganggap: "Diam berarti setuju,"
apalagi sawah bagiannya sudah telanjur digadaikan untuk biaya
perkawinan.
Ke mana Sutiah, adik Janadi? Sutiah (21 tahun) sudah kawin muda
dengan Basdi dari Desa Bon Agung. Tapi kemudian bercerai dan
kembali ke ibunya di Babalan. Seperti ada kecocokan, kedua janda
anak-beranak ini sering bepergian, entah ke mana. Dua-tiga bulan
baru pulang, lalu keluyuran lagi. Nasihat Janadi dan Ngasman
tidak mempan. "Orang ini memang sulit diatur," kata Ngasman.
Tiba-tiba kedua janda itu muncul di Semarang, 16 November 1979,
melapor di kantor gubernur. Petinggi Sarpan diadukan sebagai
merampok rumah, merampas sawah dan tak berani pulang karena
diancam Sarpan. Tiga bulan kemudian Sarminah-Sutiah muncul di
Senayan, Jakarta. Kepada Ketua DPR-RI Kartidjo juga
diungkapkannya bahwa pengaduan mereka ke kantor Gubernur Ja-Teng
ditolak bahkan katanya juga dlancam.
Poesaka Semedi, Ka-Humas Pemda Ja-Teng, membantah. "Pengaduan
itu diterima, bahkan mereka dikasih uang sangu," katanya. Bukan
itu saja, keduanya juga ditampung di Panti Persinggahan Margo
Widodo, Semarang, tempat untuk orang-orang telantar. Sebulan di
sini, 17 November - 14 Desember 1979 kedua anak-bcranak itu
minggat tanpa pamit, sampai terdengar keduanya muncul di depan
Kartidjo.
Kini Sarminah dan Sutiah sudah pulang kembali ke Babalan,
tinggal di rumah mereka yang reyot. Ketika pembantu TEMPO
bertamu ke sana, kedua perempuan itu tampak lebih suka
tercenung. Enggan menjawab pertanyaan mereka juga lebih suka
mengalihkan pembicaraan. Satu-satunya jawaban yang keluar
dari mulut Sarminah: "Yang mengantar dan menyuruh saya ke
Jakarta bernama Semi dari Desa Tlogowungu". Siapa dia? Di
Tlogowungu, ternyata tidak ada orang bernama Semi.
Tapi pihak kantor gubernur di Semarang masih penasaran dan ingin
melacak jejak orang ini. Kata seorang pejabat di sana: "Berbagai
cara ditempuh orang untuk menggagalkan pencalonan Pak Pardjo
yang kedua kali. Sampai-sampai memanfaatkan orang gila seperti
Sarminah.
Memang ada kesan "aneh" pada diri Sarminah, 45 tahun. Cuma
sayang, pernyataan bahwa perempuan ini "gila", belum dibuktikan
secara medis. Sampai sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini