Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Pengembaraan Sarminah & Sutiah

Kejaksaan tinggi memeriksa tuduhan perampasan sawah. kepala desa (sarpan) dinyatakan tidak bersalah. pemfitnah dianggap kurang waras. walaupun tuduhan sampai ke dpr-ri. (ds)

22 Maret 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SARPAN lega. Fitnah yang dilontarkan kepadanya terkikis sudah. Kepala Desa Babalan, Kecamatan Gabus, Kabupaten Pati (Jawa Tengah) ini pernah dituduh merampas sawah dan rumah, bahkan dikatakan memaksa Sutiah bercerai dari suaminya untuk dinikahinya sendiri. Itu pengaduan Sarminah bersama anaknya, Sutiah, kepada Ketua DPR-RI Kartidjo pertengahan Februari lalu. Pejabat di kantor Gubernur Ja-Teng geger. Untung tak sampai sebulan kemudian masalahnya selesai. Kejaksaan Tinggi Ja-Teng, 10 Maret lalu, untuk kedua kalinya turun memeriksa. Tuduhan itu tidak benar. Dan Sarminah dinyatakan "kurang waras". Sebelumnya -- setelah yakin Sarpan tidak bersalah -- Gubernur Soepardjo Roestam menulis surat 3 lembar kepada lurah itu. "Saya menulis surat ini kepada pak Lurah dengan harapan agar pak Lurah tidak berkecil hati dengan adanya pemberitaan tersebut. Saya tetap menaruh kepercayaan kepada pak Lurah," begitu antara lain bunyinya. Sudah 14 tahun Sarpan memimpin desanya. Kini ia berusia 54 tahun. Niat Kawin Siapa sebenarnya Sarminah? Di tahun-tahun pertama perkawinannya dengan Gunosardjo, rumah tangga mereka rukun-rukun saja. Tapi ketika lahir Janadi lalu Sutiah, anak mereka, suami-istri itu mulai sering cekcok. Akhirnya mereka bercerai dan pada 1955 Guno kawin lagi dengan Gimah. Tiga tahun kemudian Guno meninggal. Almarhum meninggalkan warisan sawah dan tanah pekarangan yang disebut tanah norowito. Artinya harta yang didapat sebelum kawin. (Harta yang diperoleh bersama setelah kawin disebut gono-gini). Menurut adat, harta norowito jatuh hanya kepada anak lelaki yang sah. Jika anak lelaki tak ada, harta itu menjadi milik desa. Begitu Guno meninggal, dibuatlah dua sertifikat untuk tanah norowito seluas 0,292 ha dan 0,207 ha -- masing-masing atas nama Janadi dan Sutiah yang waktu itu masih kecil. Bagian untuk Sutiah tampaknya hanya karena faktor kasihan belaka. Meskipun menurut PP 10/1966 -- yang ketika itu belum lahir -- warisan itu harus dibagi sama-rata. Sarminah setuju. Tapi karena kedua anaknya masih kecil -- lagi pula Janadi diasuh Ngasman (modin Babalan, adik kandung Sarminah) -- sawah itu pun digarap oleh janda Gunosardjo itu dengan bantuan beberapa buruh-tani. Sampai di sini lancar-lancar saja. Tapi ketika Janadi berusia 23 tahun (1978) dan berniat kawin, keadaan berubah. "Menjelang kawin, sawah hak saya itu saya minta tapi ibu menolak," kata Janadi. Karena perkawinan tak mungkin ditunda, Janadi mengajak ibunya menghadap Petinggi Sarpan. Dengan kesaksian Ngasman, dinyatakanlah sawah itu hak Janadi. Karena Sarminah tetap menolak, menyerahkan tanah itu kepada anak lelakinya sementara Janadi enggan bertengkar dengan ibu kandungnya, ditempuhlah jalan damai. Tanah pun dibagi dua. Suatu ketika Janadi minta izin mengerjakan sawah bagian ibunya. Tapi Sarminah diam saja. Janadi menganggap: "Diam berarti setuju," apalagi sawah bagiannya sudah telanjur digadaikan untuk biaya perkawinan. Ke mana Sutiah, adik Janadi? Sutiah (21 tahun) sudah kawin muda dengan Basdi dari Desa Bon Agung. Tapi kemudian bercerai dan kembali ke ibunya di Babalan. Seperti ada kecocokan, kedua janda anak-beranak ini sering bepergian, entah ke mana. Dua-tiga bulan baru pulang, lalu keluyuran lagi. Nasihat Janadi dan Ngasman tidak mempan. "Orang ini memang sulit diatur," kata Ngasman. Tiba-tiba kedua janda itu muncul di Semarang, 16 November 1979, melapor di kantor gubernur. Petinggi Sarpan diadukan sebagai merampok rumah, merampas sawah dan tak berani pulang karena diancam Sarpan. Tiga bulan kemudian Sarminah-Sutiah muncul di Senayan, Jakarta. Kepada Ketua DPR-RI Kartidjo juga diungkapkannya bahwa pengaduan mereka ke kantor Gubernur Ja-Teng ditolak bahkan katanya juga dlancam. Poesaka Semedi, Ka-Humas Pemda Ja-Teng, membantah. "Pengaduan itu diterima, bahkan mereka dikasih uang sangu," katanya. Bukan itu saja, keduanya juga ditampung di Panti Persinggahan Margo Widodo, Semarang, tempat untuk orang-orang telantar. Sebulan di sini, 17 November - 14 Desember 1979 kedua anak-bcranak itu minggat tanpa pamit, sampai terdengar keduanya muncul di depan Kartidjo. Kini Sarminah dan Sutiah sudah pulang kembali ke Babalan, tinggal di rumah mereka yang reyot. Ketika pembantu TEMPO bertamu ke sana, kedua perempuan itu tampak lebih suka tercenung. Enggan menjawab pertanyaan mereka juga lebih suka mengalihkan pembicaraan. Satu-satunya jawaban yang keluar dari mulut Sarminah: "Yang mengantar dan menyuruh saya ke Jakarta bernama Semi dari Desa Tlogowungu". Siapa dia? Di Tlogowungu, ternyata tidak ada orang bernama Semi. Tapi pihak kantor gubernur di Semarang masih penasaran dan ingin melacak jejak orang ini. Kata seorang pejabat di sana: "Berbagai cara ditempuh orang untuk menggagalkan pencalonan Pak Pardjo yang kedua kali. Sampai-sampai memanfaatkan orang gila seperti Sarminah. Memang ada kesan "aneh" pada diri Sarminah, 45 tahun. Cuma sayang, pernyataan bahwa perempuan ini "gila", belum dibuktikan secara medis. Sampai sekarang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus