Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Pengungsi Rohingya Telantar di Segara

Masih banyak pengungsi Rohingya terombang-ambing di lautan. Sikap tak acuh pemerintah menuai kecaman.

20 November 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Sejumlah warga etnis Rohingya ditempatkan di balai nelayan Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Lapang Barat, Kecamatan Gandapura, Aceh Utara, Aceh, 19 November 2023. ANTARA/Rahmad

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIGA kapal kayu merapat diam-diam di tiga pantai di Aceh kemarin pagi. Ratusan penumpangnya, pengungsi Rohingya, bergegas turun. Pendaratan pada dinihari itu, Ahad, 19 November, dilakukan karena santernya kabar bahwa masyarakat Aceh menolak kedatangan mereka.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Lokasinya di Pidie, Bireuen, dan Aceh Timur. Tim kami sudah di lapangan,” kata juru bicara Komisi Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) di Indonesia, Mitra Salima Suryono, kepada Tempo, kemarin.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mitra belum bisa memastikan jumlah pengungsi Rohingya yang mendarat di tiga lokasi tersebut. Sebab, pihak UNHCR perlu melakukan registrasi lebih dulu terhadap mereka. “Estimasinya 500 orang,” ujarnya.

Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Aceh mencatat sebanyak 525 pengungsi Rohingya mendarat, kemarin dinihari. Koordinator Kontras Aceh, Azharul Husna, merinci 249 orang mendarat di Kabupaten Bireuen, 241 orang di Kabupaten Pidie, dan 35 orang lainnya di Kabupaten Aceh Timur. 

“Angka ini belum pasti. Bisa saja berubah setelah registrasi UNHCR. Namun biasanya tidak akan jauh,” kata Husna.

Kapal pengangkut imigran etnis Rohingya yang mendarat di Desa Kulee, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, Aceh, 19 November 2023. ANTARA/Ampelsa

Husna menuturkan kapal imigran Rohingya mendarat di Bireuen, kemarin, sekitar pukul 02.00 WIB. Para pengungsi langsung ditempatkan di gubuk-gubuk nelayan setempat. Sedangkan pengungsi di Pidie mendarat di Kecamatan Batee dan ditempatkan di meunasah atau masjid di Desa Kulee. “Keputusan malam ini, pengungsi di Pidie akhirnya diinapkan di kebun kelapa dekat pantai,” kata Husna tadi malam.

Lain cerita di Aceh Timur. Polisi dikabarkan mencegat truk yang mengangkut 35 pengungsi. Mereka, bersama seorang warga negara Indonesia, dibawa ke pusat olahraga yang berlokasi di depan kantor Bupati Aceh Timur. Hingga berita ini diturunkan, Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Aceh Komisaris Besar Joko Krisdiyanto belum merespons upaya permintaan konfirmasi Tempo ihwal informasi tersebut. 

Ratusan imigran yang mendarat kemarin merupakan gelombang susulan pengungsi Rohingya yang sepekan terakhir terombang-ambing di perairan Pidie. Pada Selasa, 14 November lalu, sebanyak 194 pengungsi terdampar di pantai permukiman Kalee, Gampong Batee, Kecamatan Muara Tiga, Pidie. Sehari kemudian, 147 orang lainnya kembali mendarat di Pantai Beurandeh. Semuanya kemudian ditampung sementara di kamp Yayasan Mina Raya, bergabung bersama 139 pengungsi Rohingya lainnya yang lebih dulu tiba Pidie pada 2022. 

“Persentase pengungsi perempuan dan anak-anak itu sangat tinggi, di atas 50 persen. Itu termasuk sembilan ibu hamil,” kata Husna.

Abai Jakarta terhadap Pengungsi Rohingya 

Asa pengungsi Rohingya untuk mencari tempat selamat sempat ditolak masyarakat. Miftach Tjut Adek, Sekretaris Jenderal Panglima Laot Aceh—lembaga adat para nelayan di Serambi Mekah—mengatakan kapal mesin kayu pengangkut ratusan pengungsi Rohingya sempat merapat di Kuala Pawon, Kecamatan Jangka, Bireun, pada Kamis dinihari, 16 November lalu. Namun penolakan masyarakat memaksa mereka kembali bergerak hingga akhirnya mendarat di kawasan pesisir Gampong Ulee Madon, Kecamatan Muara Batu, Kabupaten Aceh Utara, pada sore hari yang sama.

Warga Gampong Ulee Madon memberikan makanan dan pakaian kepada para pengungsi. Tapi lagi-lagi para pengungsi beserta kapal pengangkutnya kembali didorong ke lautan. “Pemerintah di sana tidak sanggup menerima karena tidak ada yang bertanggung jawab. Masyarakat tidak mau di situ dan (kapal) kembali didorong ke laut,” kata Miftach di Banda Aceh, Kamis malam, 16 November lalu. 

Kepala Perwakilan UNHCR di Indonesia, Ann Maymann, menyatakan apresiasi dibolehkannya pendaratan 341 pengungsi Rohingya pada 14 dan 15 November lalu. Namun Ann berharap kepedulian juga diberikan kepada perahu pengungsi lainnya yang masih terombang-ambing di lepas pantai Aceh. 

Menurut Ann, ada kemungkinan lebih banyak kapal akan berangkat dari Bangladesh serta Myanmar dalam waktu dekat karena para pengungsi Rohingya terus mencari keamanan dan perlindungan. “Para pengungsi Rohingya sekali lagi mengambil risiko yang mempertaruhkan nyawa dalam mencari solusi,” kata Ann dalam keterangan tertulis pada Jumat pekan lalu. 

UNHCR, kata Ann, menyerukan kepada semua negara di kawasan agar meningkatkan koordinasi regional untuk menyelamatkan para pengungsi di laut dan memfasilitasi pendaratan yang aman. Ann mengingatkan agar Indonesia menjunjung tinggi hukum laut internasional kendati belum meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951. “Prioritas utama harus menyelamatkan nyawa dan menghindari tragedi yang lebih besar,” ujarnya. 

Hingga kemarin, pemerintah RI belum menanggapi permintaan UNHCR untuk menyediakan bantuan bagi pengungsi Rohingya. Walhasil, para pengungsi kudu mendarat diam-diam di pesisir Aceh.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Lalu Muhammad Iqbal, tidak membalas pesan Tempo yang meminta penjelasan mengenai rencana pemerintah mengatasi persoalan ini. Setali tiga uang, Deputi Bidang Koordinasi Politik Luar Negeri Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Rina Prihtyasmiarsi Soemarno juga tidak menjawab pertanyaan Tempo

Sebelumnya, Kamis pekan lalu, pemerintah melalui Kementerian Luar Negeri memberikan pernyataan tentang pengungsi Rohingya di Aceh. Namun pernyataan yang disampaikan Lalu Muhammad Iqbal itu seakan-akan menegaskan posisi pemerintah RI yang merasa tak berkewajiban membantu pengungsi Rohingya.

Lalu Muhammad Iqbal menegaskan bahwa Indonesia bukan pihak dalam Konvensi Pengungsi 1951. Konvensi ini mewajibkan negara-negara yang telah meratifikasinya melindungi pengungsi yang berada di wilayahnya sesuai dengan ketentuan Konvensi. “Karena itu, Indonesia tidak memiliki kewajiban dan kapasitas untuk menampung pengungsi, apalagi untuk memberikan solusi permanen bagi para pengungsi tersebut,” kata Iqbal dalam pesan singkat pada 16 November lalu.

Petugas UNHCR meregistrasi imigran etnis Rohingya gelombang kedua sebelum ditempatkan di penampungan sementara di Mina Raya, Kabupaten Pidie, Aceh, 16 November 2023. ANTARA/Ampelsa

Kemanusiaan Semestinya Dijunjung

Azharul Husna menyayangkan pernyataan Kementerian Luar Negeri itu yang seolah-olah lepas tangan dan berlindung di balik alasan bukan penanda tangan Konvensi Pengungsi 1951. Dia menilai sikap pemerintah kontradiktif dengan bergabungnya Indonesia sebagai anggota Dewan Hak Asasi Manusia PBB pada Oktober lalu. “Urusan pengungsi ini kan bicara kemanusiaan,” kata Husna.

Menurut Husna, pemerintah sebetulnya bisa menggunakan Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri. Pasal 17 perpres tersebut mengatur penemuan-penemuan pengungsi dalam keadaan darurat di perairan wilayah Indonesia. Dengan perpres ini, pemerintah pusat semestinya bisa ikut andil dalam penanganan pengungsi Rohingya. 

Husna menilai pemerintah justru lepas tangan ketika terjadi penolakan terhadap kedatangan pengungsi Rohingya di Bireuen dan Aceh Utara. “Jadi seperti rakyat dengan rakyat dibiarkan saja,” ujarnya. “Padahal, menurut perpres, kalau sudah mendarat, tidak boleh ditolak. Jadi otoritas negara membantu melakukan penyelamatan.”

Lewat keterangan tertulis, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid juga menyesalkan munculnya respons dari sejumlah kalangan yang menolak pengungsi Rohingya dan meminta mereka kembali ke negara asal. Menurut dia, tindakan ini tidak bertanggung jawab dan merupakan kemunduran besar keadaban Indonesia. Sebab, masyarakat sebelumnya menunjukkan kemurahan hati dan rasa perikemanusiaan kepada pengungsi Rohingya.

Kapal imigran Rohingya yang terdampar di Desa Lampanah Leungah, Kecamatan Seulimeuem, Aceh Besar, Aceh, 16 Februari 2023. Sebanyak 62 orang Rohingya—23 laki-laki, 21 perempuan, dan 18 anak-anak—menaiki perahu dan terdampar di pantai desa tersebut. REUTERS/Hidayatullah Tajuddin

Usman mengingatkan, pengungsi Rohingya mencari keselamatan atas hidup mereka dengan berlayar penuh menggunakan perahu seadanya di lautan yang berbahaya. Di antara mereka, kata dia, terdapat anak-anak dan bayi. “Indonesia wajib menolong mereka. Kebijakan pengembalian mereka ke negara asal jelas melanggar non-refoulement principle, sendi dasar kehidupan bangsa-bangsa beradab,” ujarnya.

Guru besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Hikmahanto Juwana, mengatakan pemerintah menolak membantu pengungsi Rohingya karena tidak ingin menjadi negara penampung pengungsi. Dia menjelaskan, pengungsi Rohingya yang ditampung di Indonesia bisa saja mengajak sanak saudaranya ke Indonesia. “Dan ini merepotkan dari segi anggaran karena mereka harus dikasih makan. Lalu kebanyakan dari mereka melarikan diri berbaur dengan masyarakat,” kata Hikmahanto.

Hikmahanto membenarkan bahwa Perpres 125 diterbitkan untuk mengakomodasi kehadiran UNHCR di Indonesia. Namun, dia menilai, peraturan tersebut juga tidak adil bagi pemerintah daerah yang harus menanggung beban karena menampung pengungsi. “Itu menjadi beban untuk pemerintah daerah karena anggaran yang tidak ada. Tapi perpres itu diterbitkan oleh pemerintah pusat. Ini tidak fair,” kata pengamat hukum internasional ini.

Menurut Hikmahanto, Indonesia semestinya bisa mengambil peran untuk meminta pemerintah Myanmar mengakui Rohingya sebagai warga negara mereka. Indonesia, kata dia, juga harus memastikan Myanmar tidak mendiskriminasi mereka sehingga bisa tetap tinggal dengan aman. “Kuncinya ada di Myanmar. Maka negara ASEAN yang terkena dampak, seperti Malaysia dan Indonesia, selalu meminta Myanmar menyelesaikan masalah ini,” kata dia.

EKA YUDHA SAPUTRA | NABIILA AZZAHRA | ANTARA
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Eka Yudha Saputra

Eka Yudha Saputra

Alumnus Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Bergabung dengan Tempo sejak 2018. Anggota Aliansi Jurnalis Independen ini meliput isu hukum, politik nasional, dan internasional

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus