Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pergerakan Nyi Ahmad Dahlan untuk Perempuan Dimulai dari Sopo Tresno di Kampung Kauman

Tak banyak yang tahu Siti Walidah. Dia adalah istri pendiri organisasi Muhammadiyah, Ahmad Dahlan. Orang lebih mengenalnya sebagai Nyi Ahmad Dahlan.

2 Agustus 2022 | 06.14 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Siti Walidah Ahmad Dahlan. wikipedia.org

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Tak banyak yang tahu siapa Siti Walidah. Dia adalah istri pendiri organisasi Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan. Nama Siti Walidah terdengar asing sebab biasanya dia dipanggil dengan nama Nyi Ahmad Dahlan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seperti suaminya, pada November 1971, Siti Walidah juga dinobatkan sebagai pahlawan nasional. Lalu, Apa peran Nyi Ahmad Dahlan bagi Indonesia sehingga Presiden Soeharto menetapkan namanya ke dalam jajaran Pahlawan Perempuan Indonesia, berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 42/TK Tahun 1971?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ahmad Dahlan menikahi Siti Walidah pada 1889, setahun setelah kepulangannya dari merantau selama 5 tahun di Mekah. Saat itu, Ahmad Dahlan yang lahir pada 1 Agustus 1868 berusia 21 tahun, sementara Siti Walidah berusia 17 tahun. Dia adalah putri penghulu di Keraton Yogyakarta, Kiai Fadhil Kamaludiningrat. Nur Khozin dan Isnudi dalam buku K.H. Ahmad Dahlan (1868 – 1923) menyebut bahwa Siti Walidah tidak pernah mengikuti pendidikan formal. Kendati begitu, dia adalah perempuan dengan pengetahuan luas.

Karena kecerdasan Siti Walidah itulah yang membuat Ahmad Dahlan jatuh hati. Selain itu, Siti Walidah juga bersedia mendampingi Ahmad Dahlan berjuang melakukan dakwah. Wanita kelahiran 1872 di Kauman, Yogyakarta itu mendukung penuh semua aktivitas dakwah suaminya, termasuk menjadikan rumah mereka sebagai tempat pembaharuan agama. Siti Walidah bahkan rela dimadu oleh Ahmad Dahlan demi agama dan dakwah.

Selain Siti Walidah, Ahmad Dahlan juga menikahi R.A.Y Soetidjah Windyaningrum. Pernikahan ini menjadi tanda Sultan Yogyakarta merestui berdirinya organisasi Muhammadiyah. Ahmad Dahlan juga menikahi Nyai Rum, adik sahabatnya dari Krapyak, Yogyakarta, Kiai Munawar. Pernikahan itu bertujuan memperkukuh hubungan antara organisasi Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah. Dia juga diminta untuk menikahi adik penghulu ajengan bernama Nyai Aisyah ketika berdakwah di Cianjur. Penghulu ajengan itu menginginkan agar keturunan Ahmad Dahlan ada di Cianjur untuk meneruskan dakwahnya.

Pernikahan Ahmad Dahlan dengan Siti Walidah dikaruniai enam orang anak, yaitu Johanah lahir pada 1980, Siradj Dahlan lahir pada 1889, Siti Busjro lahir pada 1903, Siti Aisyah lahir pada 1905, Irfan Dahlan lahir pada 1907, dan Siti Zuharah lahir pada 1908. Sementara pernikahan dengan Aisyah, Ahmad Dahlan dikaruniai seorang putri bernama Siti Dandanah.

Selanjutnya: Nyai Ahmad Dahlan dan Aisyiyah...

Mengutip laman opop.jatimprov.go.id, Nyai Ahmad Dahlan disebut sebagai tokoh perempuan yang berjasa dalam perjalanan bangsa Indonesia. Pada 1914, Nyai Ahmad Dahlan mendirikan Sopo Tresno. Ini adalah perkumpulan gadis-gadis terdidik di sekitar Kampung Kauman. Kampung Kauman merupakan pemukiman bagi abdi dalem Keraton Yogyakarta dari kalangan ulama.

Pada 19 Mei 1917, perkumpulan Sopo Tresno diubah nama menjadi Aisyiyah. Nama itu terinspirasi dari nama istri Nabi Muhammad, yaitu Aisyah. Aisyah dikenal sebagai wanita cerdas dan mumpuni. Dengan bergantinya nama tersebut, diharapkan anggota perkumpulan dapat meneladani istri Nabi Muhammad.

Tak hanya diisi dengan pengetahuan tentang agama, pengajian untuk kalangan perempuan ini juga mengajarkan tentang arti pentingnya pendidikan bagi masyarakat. Nyi Ahmad Dahlan juga dibantu suaminya, terutama dalam hal memberikan pelajaran membaca Alquran dan mendiskusikan maknanya. Dia berfokus pada ayat-ayat Alquran yang membahas isu-isu perempuan. Lewat perkumpulan itu, Nyai Ahmad Dahlan bertekad memperjuangkan hak-hak perempuan.

Melalui Aisyiyah, Nyi Ahmad Dahlan turut mendirikan sekolah-sekolah putri dan asrama. Selain itu, dia turut mendirikan tempat keaksaraan dan program pendidikan Islam bagi perempuan. Nyai Ahmad Dahlan juga getol menentang kawin paksa yang saat itu umum terjadi di masyarakat Jawa yang patriarki. Patriarki adalah sistem sosial di mana laki-laki sebagai pemegang kekuasaan utama dan mendominasi. Kendati apa yang dilakukannya ini mendapat tentangan dari masyarakat pada awalnya. Namun, belakangan pemikiran Nyai Ahmad sedikit demi sedikit dapat diterima. Nyai Ahmad Dahlan berpendapat, perempuan dinikahi dengan maksud untuk menjadi mitra suami.

Setelah Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 1923, Nyi Ahmad Dahlan terus aktif di Muhammadiyah dan Aisyiyah. Dia adalah perempuan pertama yang memimpin Kongres Muhammadiyah. Itu terjadi pada 1926, di Kongres Muhammadiyah ke-15 di Surabaya. Nyai Ahmad Dahlan masih tetap aktif hingga September 1934 setelah akhirnya Aisyiyah dilarang di Jawa dan Madura selama pendudukan Jepang. Setelah itu, Nyai Ahmad Dahlan kemudian bekerja di sekolah-sekolah sembari berjuang menjaga siswa dari paksaan untuk menyembah matahari dan menyanyikan lagu-lagu Jepang.

Nyi Ahmad Dahlan meninggal dunia pada 31 Mei 1946. Dia dimakamkan di belakang Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta. Berkat jasa dalam mengupayakan pendidikan dan memperjuangkan hak perempuan, pada 10 November 1971, Nyi Ahmad Dahlan dinobatkan sebagai Pahlawan Nasional Indonesia oleh Presiden Soeharto. Pada 2017 lalu, kisah Nyai Ahmad Dahlan diangkat ke layar lebar.

HENDRIK KHOIRUL MUHID 

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus