Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
WAJAH ketua tim negosiator, Mar'ie Muhammad, tetap terlihat kalem. Ini kedua kalinya ia memimpin tim negosiasi pembebasan Ferry Santoro ke Nanggroe Aceh Darussalam. Setiap kali ia dibuat pusing oleh skenario yang selalu berubah-ubah. Sabtu pagi pekan lalu, dia dan timnya berangkat menuju Desa Keude Geurubak, sekitar 50 kilometer di utara Langsa.
Dari sana Panglima Operasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) wilayah Peureulak, Ishak Daud, akan memberitahukan di mana titik pertemuan. Sudah lebih dari tiga skenario pembebasan dijalani Mar'ie, sepanjang sepekan kemarin. Tadinya, GAM berjanji membebaskan Ferry pada 13 Mei. Janji itu batal, diundur ke dua hari berikutnya.
Pembebasan Ferry sebenarnya telah dinegosiasikan sejak Januari silam. Rencana itu tak terealisasi karena permintaan GAM untuk gencatan senjata tak dipenuhi. Tak cuma pihak militer, bahkan Wakil Presiden Hamzah Haz pun ikut-ikutan "melarang" TNI memenuhi permintaan GAM. Alasannya, jika tuntutan GAM dikabulkan, sama saja dengan mengakui kedaulatan kelompok separatis itu.
Angin sejuk bertiup lagi ketika muncul informasi yang dilansir Ishak Daud dua pekan silam. Ishak meminta Komite Internasional Palang Merah (ICRC) menjemput Ferry di Bumi Flora, Kecamatan Idi Rayeuk, Aceh Timur, pada 13 Mei. Pada hari berikutnya, Panglima TNI Endriartono Sutarto memberikan sinyal hijau dengan mengatakan mendukung rencana pembebasan itu.
Sekretaris Jenderal Federasi Jurnalis Internasional (IFJ), Aidan White, sampai harus terbang dari Belgia ke Indonesia, tiga hari setelah pernyataan Ishak. Di Indonesia, IFJ dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan lobi-lobi ke ICRC dan Kepala Pusat Penerangan TNI, Sjafrie Sjamsoeddin. White sempat meyakinkan ICRC agar menanggapi positif "isyarat" GAM. Wajar, karena awal tahun ini rencana pembebasan Ferry terpaksa gagal, dan membuat kecut pihak ICRC.
Akhirnya, pada Rabu pekan lalu, tim negosiator PMI, ICRC, RCTI, AJI, dan para jurnalis yang meliput pembebasan Ferry sudah berada di Langsa. Bahkan Panglima TNI Endriartono Sutarto tak mau ketinggalan. Sayangnya, rencana pembebasan pada 13 Mei terpaksa mundur karena Ishak Daud menuding TNI masih melakukan manuver militer di sekitar lokasi yang ditunjuk GAM. "Kami meminta pasukan RI tidak mendekati lokasi, agar semua selamat," kata Ishak. Alhasil, pembebasan diundur dua hari.
Skenario penjemputan pun mulai dirancang. Selepas salat Jumat, tim 1 akan dijemput kurir utusan Ishak menuju Bumi Flora, sekitar 90 kilometer dari Lhok Seumawe. Tim tujuh orang itu harus menginap di Bumi Flora, demi meyakinkan GAM bahwa situasi betul-betul aman. Baru keesokan harinya, atau setelah GAM memastikan keadaan aman, tim 2 menyusul dan bersama-sama menuju titik penjemputan.
Tapi, sekali lagi, skenario ini pun bak asap menggelantung. Lagi-lagi GAM menarik ucapannya. Mereka menuding TNI tidak serius menarik mundur pasukannya. Digelarlah telekonferensi mendadak di kantor Bupati Aceh Timur, pada Jumat siang. Hadir Penguasa Darurat Militer Daerah, Mayor Jenderal Endang Suwarya, Panglima Komando Operasi Brigadir Jenderal George Toisutta, ketua tim negosiator Mar'ie Muhammad (PMI), anggota tim negosiator, dan sejumlah jurnalis.
Di ujung telepon, nada suara Ishak meninggi. Seraya "menyemprot" pembesar TNI, dia juga memperdengarkan pembicaraan radio genggam aparat TNI yang disadap GAM. Intinya, kedua aparat sama-sama bertanya, apa yang harus dilakukan jika selama proses pembebasan Ferry mereka berpapasan dengan GAM di tengah jalan. Prajurit satunya menjawab, "Gimana lagi, tembak saja."
Merasa di atas angin, dedengkot GAM yang paling dicari-cari itu menaikkan "tawaran"-nya. Pada Sabtu pagi, tim penjemput diminta menuju pos PMI di Desa Keude Geurubak, Kecamatan Idi Rayeuk, sekitar 50 kilometer utara Langsa. Setelah sampai di sana, barulah Ishak Daud memberi tahu titik pertemuan.
Segampang itukah? Enggak juga. Di lokasi penjemputan, tim tak diperkenankan langsung pulang. "Mereka harus bermalam satu atau dua hari, sembari menunggu sandera yang lain berkumpul," kata Ishak saat itu. Mendengar pasal tambahan ini, sempat terjadi ketegangan di antara anggota tim penjemput. Mereka menduga ada agenda terselubung di balik permintaan GAM. Jangan-jangan, mereka hanya bertukar sandera.
Tapi, apa lacur, tak ada jalan lain untuk kembali. Beruntung, jaminan gencatan senjata selama 36 jam yang diberikan Panglima TNI diperpanjang enam jam. Tim negosiator pun menunjukkan keseriusannya. Sejak pukul 09.00 Sabtu, rombongan berjumlah 20 orang itu berangkat dari Hotel Kartika, Langsa, menuju Keude Geurubak. Seharian mereka menanti kontak Ishak.
Jalan berliku yang dilalui tim penjemput tentulah belum seberapa dibandingkan dengan penderitaan Ferry. Ayah satu anak ini ditahan GAM sejak 29 Juni 2003, bersama reporter RCTI Ersa Siregar, Rahmatsyah (sopir), dan dua istri perwira TNI, yakni Farida dan Soraya. Ketika sedang berkendara, rombongan itu keserimpet GAM yang melakukan operasi. Karena mobil Ferry "mengangkut" dua istri perwira TNI, GAM pun enggan melepas mereka.
Sejak itu Ferry "bergerilya" naik-turun gunung. Takdir pun menjemput Ersa Siregar, yang tewas dalam kontak senjata antara TNI dan GAM, 29 Desember lalu. Sedangkan Rahmatsyah, Farida, dan Soraya dapat meloloskan diri ketika pasukan GAM yang mengawal mereka terlibat kontak senjata dengan pasukan TNI yang sedang patroli.
Kontak senjata di Aceh memang bukan hal luar biasa. Apalagi sejak darurat militer ditetapkan melalui Keputusan Presiden No. 28 Tahun 2003, pada 19 Mei 2003. Operasi militer besar-besaran pun digelar. Sekitar 30 ribu pasukan TNI dikerahkan untuk menghabisi sekitar 5.000 anggota GAM bersenjata.
Setelah enam bulan, status darurat militer diperpanjang. Padahal, menurut data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, hingga November 2003 saja tercatat korban sipil tewas 319 orang, 115 hilang, dan puluhan ribu orang harus mengungsi. Angka itu masih ditambah dengan 600 gedung sekolah yang dibakar. Aksi pembakaran yang dilakukan di tengah proses ujian akhir ini menyebabkan sekitar 100 ribu siswa terkatung-katung.
Menurut data yang dipampangkan situs Acehkita.com, pemberontak GAM yang tewas mencapai 728 orang, tertawan 783 orang, menyerah 421 orang, dan senjata yang disita 327 pucuk. Dari pihak TNI, 105 prajurit gugur dalam pertempuran. Beruntung, akhirnya pemerintah mencabut status darurat militer dan menggantinya dengan darurat sipil, terhitung sejak 19 Mei.
Ferry Santoro pun optimistis dirinya bebas. Pertengahan pekan silam, dia mendengar Ishak Daud sudah mengumpulkan semua tahanan. "Semoga musibah ini segera berakhir," katanya. Sayang, hingga Sabtu malam pekan lalu, TEMPO belum menerima kabar terakhir dari Aceh. Harapan Ferry kini menjadi harapan kolektif semua pihak yang prihatin atas hilangnya nyawa tak berdosa di kancah perang.
Rommy Fibri, Nezar Patria (Langsa)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo