UMURNYA sudah 10 tahun. Ia kadang disebut dalam pembicaraan ~ politik Indonesia. Tapi apa itu "Petisi 50"? Kenapa "petisi" itu lahir dan disebut "petisi"? Tak pernah jelas - apalagi bagi jutaan orang Indonesia yang kini berumur antara 17 dan 20 tahun. Isi "petisi" itu sendiri tak pernah dipublikasikan dalam pers Indonesia. Siapa saja 50 orang yang menandatanganinya, hanya sedikit yang diingat. Bayangan yang umum tentang mereka hanyalah: ada sejumlah orang tua, di atas usia 60-an tahun, umumnya bekas pejabat ABRI ataupun sipil, yang bikin suatu pernyataan yang dianggap kurang patut terhadap pemerintah, khususnya pimpinan negara. Benarkah? Pekan lalu, mulai ada tanda perihal "Petisi 50" tersingkap, meskipun tak sepenuhnya. Lima orang penanda tangan petisi itu mengundang pers ke rumah Ali Sadikin, bekas gubernur Jakarta Raya, di Jalan Borobudur, Jakarta Pusat. Peminat belum banyak. Di antara 10 media cetak yang diundang, hanya empat yang mengirim wakilnya. Tapi di antaranya ada Antara. Juga, tokoh pers nasional B.M. Diah yang memimpin harian Merdeka. Berhadapan dengan wartawan, antara lain dari TEMPO, Sadikin didampingi oleh Slamet Bratanata, bekas menteri pertambangan Aziz Saleh, tokoh gerakan Pramuka Anwar Haryono, seorang tokoh Islam Suyitno Sukirno, purnawirawan perwira ~tinggi TNI AU dan Chris Siner Keytimu, mantan pemimpin organisasi mahasiswa Katolik. Niat Sadikin tampaknya sederhana saja: ingin menyambut bola yang dilemparkan Presiden Soeharto dalam pidato 16 Agustus silam, yang mengumandangkan agar tak perlu mencemaskan perbedaan pendapat. Menurut Sadikin, belakangan ini Menteri Koordinator Politik dan Keamanan Sudomo, Menteri Dalam Negeri Rudini, dan Menteri Sekretaris Negara Moerdiono, memberi keterangan yang mengesankan bahwa penulisan tentang - dan juga penampilan - kelompok "Petisi 50" bukan sesuatu yang tabu. Pidato Presiden dan penjelasan ketiga menteri itu bagi Sadikin merupakan sesuatu yang disyukuri. Baginya, kini ada kesempatan untuk menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan "Petisi 50". Maka, ia pun menerangkan bahwa petisi itu, yang judulnya sebenamya "pernyataan keprihatinan", yang dikirimkan ke DPR, dikembangkan dari "pemikiran yang hidup" di kalangan para senior TNI AD dalam forum yang dibentuk oleh KSAD (waktu itu) Jenderal Widodo. Sadikin, pensiunan jenderal marinir, ikut ke da~lamnya bersama sejumlah orang yang membentuk Lembaga Kesadaran Berkonstitusi, yang pendirinya antara lain almarhum Bung Hatta. Ia sendiri tak tahu siapa sebenarnya yan~ menyusun naskah petisi. Dan sejak lahirnya "Petisi 50", telah meluncur, kata Sadikin sekitar 100 pucuk surat ke MPR/DPR, lembaga eksekutif dan judikatif dengan tembusan ke media massa. Tapi tak pernah ada pers yang berani memuatnya. Satu-satunya tempat di mana petisi itu diterbitkan justru dalam memoar berjudul Memori Jenderal Yoga. Dalam bagian tambahan buku yang banyak dibicarakan itu, mantan Kepala Bakin Yoga Soegomo memuat lengkap isi "Petisi 50". Bahkan, menurut Sadikin, dengan lega, "tulisan itu tidak menunjukkan adanya ada dendam atau kebencian." Nah, bagaimana dengan pers? Sejak pidato kenegaraan 16 Agustus yang lalu, ada perubahan: Kompas memuat surat Slamet Bratanata, dan Merdeka memuat surat Azis Saleh. Pekan lalu Antara menyiarkan pertemuan di rumah Ali Sadikin itu, dan dikutip pelbagai koran. Merdeka memuat lebih lengkap ketimbang pers mana pun. Kompas, setelah tiga hari berselang, memuat sebagian pernyataan Sadikin dan tanggapan sebagian anggota DPR. Keterbukaan? Insya Allah. Atau wallahualam bisawab. ~Priyono B. Sumbogo
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini