SEBUAH tragedi mungkin paling baik dicoba untuk dilupakan. Tapi apakah Peristiwa Gerakan Tiga Puluh September 1965 harus juga dicoba untuk dilupakan, lebih-lebih karena dalam tragedi itu begitu banyak darah telah tersimbah? Dari satu sisi mungkin tidak. Peristiwa itu telah banyak memberi pelajaran pada kita semua tentang suatu pengkhianatan, dan hal itu perlu diingat dan dikaji terus. Sisi yang lain, tewasnya (konon) ratusan ribu anggota PKI oleh amukan massa, mungkin akan dilupakan. Tetapi, dapatkah? Ternyata sulit. Misalnya saja, karena tampilnya Kathy Kadane. Wartawati States News Services dari AS itu Mei 1990 silam menulis artikel berjudul US Officials Lists Aided Indonesian Bloodbath in 60's. Isi tulisan itu membeberkan adanya campur tangan sejumlah pejabat kedutaan AS dan CIA yang bertugas di Jakarta ketika pecah peristiwa G30S-PKI di tahun 1965. "Mereka memang terlibat dalam peristiwa itu," kata Kathy dengan tegas kepada TEMPO. Kata Kathy Kadane, para pejabat AS itu telah memberikan daftar 5.000 nama tokoh PKI kepada TNI AD, yang kemudian "dihabisi" setelah ambruknya G30S-PKI. Maka, timbul pertanyaan, seberapa jauh sebenarnya keterlibatan AS - khususnya CIA - dalam usaha penggulingan Presiden Soekarno. H.W. Brands, seorang sejarawan dari A&M University, Texas, menjawab teka-teki itu: Washington tak ikut campur dalam dalam peristiwa G30S-PKI yang kemudian mengakibatkan jatuhnya Presiden Soekarno. Uraian Brands itu dituangkan dalam artikelnya yang berjudul The Limits of Manipulation: How the United States Didn't Topple Sukarno, dimuat pada majalah Journal of American llistory edisi Desember 1989. Sebagian bahan-bahan yang digunakan oleh Brands, juga Kathy Kadane, antara lain berasal dari dokumen-dokumen korespondensi Kedubes AS dan laporan CIA dari Jakarta kepada Washington pada 1963-1968. Dokumen yang tadinya bersifat rahasia itu sejak 1975 boleh diketahui oleh umum, dan disimpan di Perpustakaan Lyndon B. Johnson. Banyak hal yang menarik dari dokumen-dokumen itu. Dari situ bisa dilihat bagaimana AS melihat Indonesia pada kurun waktu itu. Pada 30 Desember 1964, misalnya, CIA membuat sebuah memorandum intelijen yang mengkaji masalah suksesi di Indonesia. Buruknya kesehatan Soekarno, tulis memorandum tersebut, telah menimbulkan kekhawatiran bagi semua pihak di Indonesia karena perundangan yang ada tidak mengatur jelas prosedur suksesi. Celakanya, Soekarno tidak mempersiapkan seseorang untuk menggantikannya. Menurut UUD, wakil presiden akan menggantikan presiden jika yang bersangkutan meninggal, dicopot, atau tidak bisa melanjutkan tugasnya. Namun, Indonesia tak punya wapres sejak Hatta mundur pada 1956. UUD juga menyebutkan, presiden dan wapres dipilih oleh MPR untuk jangka waktu lima tahun, dan bisa dipilih kembali. Namun, Soekarno telah menjabat sejak 1945, dan pada 1963 malah diangkat sebagai presiden seumur hidup oleh MPRS. Pada 1960 dibuat ketentuan, jika wapres tidak ada, dan presiden meninggal, menteri pertama akan menjalankan tugas kepresidenan sampai presiden baru terpilih. Tapi, pada 1963 Soekarno menggantikan jabatan menteri pertama dengan ti~ga waperdam (wakil PM). Ketiganya adalah Subandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh. Karena Subandrio adalah Waperdam I, mungkin dialah yang akan menjalankan tugas kepresidenan, jika sesuatu terjadi pada Soekarno. Di luar ketentuan perundangan, menurut laporan CIA tadi, hanya ada dua organisasi besar di Indonesia: TNI AD dan PKI. Begitu Soekarno meninggal, PKI mungkin akan menyatakan dukungannya buat suatu suksesi sipil. TNI AD bisa jadi tidak akan langsung menentangnya, tapi akan membentuk suatu pemerintahan sipil yang bisa didominasinya. Yan~g mun~gkin akan bersaing memperebutkan kepemimpinan sipil itu nanti adalah Subandrio dan Chaerul Saleh. Keduanya tak punya basis politik yang kuat. Subandrio mungkin akan berpaling ke PKI dan PNI. Setidaknya, dalam dua tahun PKI mungkin akan mau bekerja sama dengan Subandrio. Chaerul Saleh, yang antikomunis dan berkiblat ke Murba, diduga akan berpaling ke TNI AD. Kata Memorandum CIA itu, TNI AD kabarnya punya rencana yang akan dilaksanakan begitu Soekarno meninggal. Namun, kemungkinan adanya rencana ini tampaknya kecil. Diduga Angkatan Darat akan mencoba bekerja sama dengan orang sipil yang berhasil maju. Memang ada nama yang disebut-sebut. Hatta dan Sultan Yogyakarta. Tapi Hatta sedang sakit, sedang Sultan Hamengku Buwono IX telah lama tidak memegang peranan penting. Keduanya dinilai kurang lincah bermanuver, dan mungkin tidak bersedia menjadi sekadar simbol. Calon yang lebih mungkin adalah Adam Malik yang saat itu menjabat menteri perdagangan luar negeri. Berdasar pengalaman, kerja sama kelompok nonkomunis mungkin akan berakhir dengan intrik, perencanaan, dan omong melulu. Jika pemerintahan sipil ini kehabisan tenaga karena konflik intern, kata laporan CIA ini, tentara akan masuk untuk menggantikannya dengan pemerintahan militer. Jika itu terjadi, sifat pemerintahan militer itu susah diramalkan. Tentara akan sulit mencari pemimpin nasional. Dua nama mungkin muncul, Jenderal Nasution dan Jenderal Yani. Nasution, meski tak punya tentara langsung di bawah komandonya, diduga mungkin akan lebih dapat dukungan. Peluang PKI untuk berkuasa bergantung pada Soekarno. Jika ia meningg~al dalam satu atau dua tahun mendatang, yang akan terbentuk mungkin suatu pemerintahan sipil yang didukung ABRI. Jika pemerintahan ini dipimpin Subandrio, PKI akan lebih leluasa bergerak. Namun, bila Soekarno bisa bertahan hidup selama empat atau lima tahun, dan jika kecenderungan politik sekarang berlanjut, PKI mungkin akan cukup kuat untuk merebut kekuasaan, tanpa perlawanan yang berarti. Buat CIA (dan AS tentunya), skenario terburuk tentu saja adalah bila PKI bisa berkuasa. Dan kunci ke arah kemungkinan terburuk ini ada pada Soekarno. Soekarno memang telah lama membuat AS "pu sing". Sebuah studi CIA pada 1961 mengungkapkan hal itu. Soekarno, menurut studi itu, sebenarnya bukan orang yang penuh teka-teki. Riwayat hidupnya jelas. Banyak tokoh Barat yang telah berjumpa dengan dia, dan sebagian menjadi teman baiknya. Presiden Soekarno tidak pernah menyembunyikan kecenderungan ideologinya. "Seperti Hitler, ia serupa buku yang terbuka, yang bisa dibaca," tulis studi tersebut. Karena kegagalannya di dalam negeri, Presiden Soekarno memerlukan sukses dalam politik luar negerinya. Namun tanpa dukungan blok komunis, di dunia internasional Soekarno tak akan mun~gkin memperoleh hasil. Dan Soviet tahu,Soekarno gampang dimanipulasikan. Analisa CIA itu selanjutnya mengutip pendapat sejumlah pengamat Barat: bahwa Soekarno terdorong oleh kekuatankekuatan sejarah untuk bergerak ke satu jurusan tertentu: dia anti-Barat dan ingin meneruskan revolusi Indonesia. Soekarno tak punya pilihan lain kecuali melindungi PKI, karena ia memerlukan dukungan dari suatu kelompok revolusioner, dan itu hanya bisa diberikan oleh PKI. ABRI, meski lahir dalam revolusi, dianggap Soekarno tidak cukup revolusioner untuk mencapai keinginannya. Selama PKI mendukung dia, Soekanno tak akan mengusik PKI. Dan ternyata ia juga memanfaatkan mereka, untuk mencegah Angkatan Darat memperkuat diri secara politis. Soekarno mirip seorang yan~g in~gin menun~ggan~g harimau, tapi akan berakhir dalam perut sang macan. PKI sendiri tampaknya telah meninggalkan sikap konfrontasi lansun~g den~gan lawan-lawannya, dan beralih ke taktik untuk memperoleh kekuasaan secara legal, yang kelihatannya berhasil. Sedang ABRI, di bawah pimpinan Jenderal Nasution, agaknya telah meninggalkan semua pikiran untuk menghancurkan komunis dengan kekuatan. Analisa CIA itu menyimpulkan: kekuatan komunis di Indonesia akan tumbuh makin kuat selama Soekarno tetap berkuasa. Dan pertumbuhan itu akan mengarah ke satu hal: PKI akan mengambil alih kekuasaan. Yang perlu diingat: an~alis~a itu dibuat CIA setelah kegagalan mereka pada 1958 untuk menjatuhkan Soekarno lewat dukungan pada pemberontakan PRRI/Permesta sesuatu yang diakui pula oleh dokumen itu. Yang menarik, sebuah laporan khusus CIA yang dibuat pada 23 Oktober 1964 mengambil kesimpulan yang mirip: PKI masih memerlukan perlindungan Soekarno, yang diharapkan akan bertahan hidup beberapa tahun lagi. Dalam pada itu, jika kecenderungan yang ada berlangsung terus, penyusupan PKI ke berbagai kalangan akan begitu efektif hingga, begitu Soekarno meninggal, PKI mungkin sekali akan berhasil mengambil alih kekuasaan. Bisa dimengerti bila CIA, dan Kedubes AS di Jakarta, senantiasa memantau langkah-langkah PKI. Apalagi sekitar 1964-1965, saat Konfrontasi dengan Malaysia, sewaktu semangat "Ganyang Nekolim" (neokolonialisme dan kolonialisme) makin menjadi-jadi. Saat itu kantor-kantor perwakilan Inggris dan Amerika sering menjadi sasaran demonstrasi massa, sebagian besar di antaranya digerakkan oleh PKI. Dubes AS di Jakarta, Marshall Green menurut sebuah dokumen lain, pada 7 September 1965, pernah bertemu dengan Brigjen. D.I. Panjaitan. Dalam pertemuan yang berlangsung selama tiga jam itu, antara lain, dibahas permintaan Green kepada Panjaitan untuk mengamankan kantor konsulat AS di Surabaya yan~g diserbu demonstran anti-AS. Patut pula dicatat, banyak informasi dalam dokumen dan korespondensi itu yang tak akurat. Ini wajar karena pengumpulan informasi oleh CIA dan Kedubes AS -- setidaknya seperti yang bisa dilihat dalam berbagai dokumen it~u kumpulkan dengan cara yang konvensional, dan sama sekali tidak seperti yang tergambar dalam film-film spy -- lewat penyadapan misalnya. Misalnya, ada yang disebut "sumber PSI". Banyak pula informasi yang diperoleh dari obrolan dengan sejumlah orang, termasuk ajudan atau asisten dari tokoh-tokoh tertentu. Pihak Kedubes AS tampaknya memang sudah tahu bahwa bakal ada usaha pembunuhan terhadap para jenderal Angkatan Darat. Agen CIA di Jakarta, La~arsky, seperti yang diceritakannya pada Kathy Kadane, sudah memberi peringatan kepada Jenderal S. Parman, Asisten I/Intelijen AD. "Sebuah serangan yang mengancam nyawa Anda kini sedang disiapkan," kata Lazarsky. Namun, tampaknya, Parman tak acuh atas peringatan itu. Tapi dalam sebuah studi CIA yang lain disebutkan, pada 14 Setember 1965 Brigjen Parman menyampaikan laporan tentang situasi keamanan pada Panglima AD (kini KSAD) Jenderal A. Yani, termasuk kegiatan PKI. Laporan itu khususnya menyebutkan adanya rencana membunuh para pimpinan AD, dan dilengkapi dengan nam~a-nama jenderal yang akan dibunuh. Laporan itu menyimpulkan: "sesuatu akan terjadi". Konon, Jenderal Yani kemudian menyampaikan laporan itu kepada Preiden Soekarno, termasuk daftar nama itu. Menurut laporan itu, selain nama tujuh jenderal--yang kemudian tewas dibunuh parapelaku G30S-PKI - ada pula tiga nama lain: Soeharto, Mursyid, dan Sukendro. Laporan itu menyebutkan tanggal 18 September sebagai hari penyerbuan, dan malam itu penjagaan keamanan memang diperketat. Tapi tak terjadi sesuatu pun hingga Yani kurang mempercayai kebenaran laporan itu lagi. Pada akhir September, kata laporan tadi selanjutnya, Brigjen. Sudono, bekas atase pertahanan di Beijing, menyampaikan pada Brigjen M.T. Haryono (Pahlawan Revolusi), ia mendengar bahwa sejumlah jenderal akan diculik dalam beberapa hari mendatang. Meski tak mempercayai informasi itu, atas desakan Sudono, Haryono menyelenggarakan rapat untuk membicarakan info tadi. Kabarnya, dalam rapat itu Sudono ramai-ramai ditertawakan oleh yang hadir. Belum jelas, seberapa jauh laporan itu benar. Setidaknya ia memberikan gambaran bagaimana upaya CIA dan Kedubes AS di Jakarta untuk mengumpulkan informasi . Meski tidak ada konfirmasi, di antara dokumen-dokumen itu ada bagian-bagian yang menarik. Misalnya, adanya informasi dari beberapa sumber Kedubes AS bahwa Jenderal Sutoyo ikut diculik dan dibunuh karena dialah yang pada 1948 menandatangani perintah hukuman mati kepada para pentolan PKI yang terlibat peristiwa Madiun. Informasi itu termuat dalam laporan Edward E. Masters, Kepala Bagian Politik Kedubes AS di Jakarta pada 1965 (ia kemudian menjadi dubes di sini). Laporan setebal 46 halaman dan berjudul The 30 September Affair itu dibuat tiga pekan setelah terjadinya G30S. Yang menarik laporan itu mencoba bersikap imbang, tidak berpihak, dan memaparkan semua informasi yang masuk, dan disebutkan mana yang meragukan, mana yang tidak. Misalnya, disebutkan bahwa meski belum jelas motif PKI yang pasti, serta sejauh mana peranan mereka, tidak diragukan lagi bahwa PKI memang terlibat. Ada petunjuk bahwa Soekarno ikut terlibat meski seberapa jauh belum diketahui dengan jelas. Masters juga mengemukakan berbagai pertanyaan dan keragu-raguannya. Antara lain: Mengapa PKI, jika mereka memang telah memutuskan untuk merebut kekuasaan, mengandalkan pada sekelompok kecil orang, dan bukannya memanfaatkan massa anggotanya yang begitu banyak - sesuatu yang la~im dilakukan oleh aksi komunis? Bukti-bukti yang ada kemudian menunjuk pada suatu rencana terbatas dengan sasaran terbatas pula, bukan untuk merebut kekuasaan, tapi untuk menyingkirkan suatu kelompok tertentu, yakni pimpinan Angkatan Darat. "Untunglah," tulis Masters, "beberapa jenderal penting lolos, dan salah satunya, Soeharto, siap untuk melawan, dan ia punya tentara untuk melaksanakannya". Buat AD, yang paling baik adalah bila PKI memberontak secara terbuka, atau melancarkan perang gerilya, hingga mereka bisa terus ditumpas. Masalahnya, kata Masters, bisa menjadi hitam-putih, dan manuver politik yang tak disukai AD akan tertunda. Kampanye pengganyangan PKI, jika berhasil, akan mematahkan kekuatan dan prestise PKI sampai seperti 1948 (setelah peristiwa Madiun), dan akan menjadikan AD sebagai kekuatan yang tak tertandingi di Indonesia. Yang terjadi kemudian memang mirip ramalan Masters. Di mana-mana massa rakyat mengganyang PKI hingga partai itu praktis porak-poranda. Perkembangan berjalan begitu cepat hingga, pada Januari 1966, CIA dalam sebuah laporannya ke Washington menyimpulkan bahwa PKI di Indonesia sudah lenyap. PKI kemudian memang dibubarkan pemegang Supersemar, Jenderal Soeharto, pada Maret 1966. Namun, seperti terbukti kemudian, PKI ternyata belum lenyap. Sejumlah pimpinannya, seperti Oloan Hutapea dan Sukatno, mencoba melakukan konsolidasi di Blitar Selatan. Namun, mereka pun akhirnya bisa ditumpas. Sebuah drama pun telah berlalu. Helai-helai halaman sejarah bangsa pun telah dibalikkan. Kini, di berbagai penjuru dunia, komunisme bergelimpangan. Pelajaran apa yang bisa kita catat dari semua ini? S~usanto Pudjomartono, A~~~~hmed K. Soeriawidjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini