KEDUDUKAN pasar di Sumatera Barat beda dengan di daerah lain.
Disamping oleh pemerintah daerah tingkat dua, nasib sesuatu
pasar juga banyak ditentukan negari (desa). Pasar Payakumbuh
misalnya ada 51 negari yang berserikat, demikian istilah
persekutuannya, yang menguasai. Tak heran ribut soal pasar itu
selalu muncul. Sampai sekarang.
Bermula adalah dengan meningkatnya status beberapa kota kecil
yang sebelumnya termasuk wilayah beberapa kabupaten menjadi
kotamadya Payakumbuh, Bukittinggi, Solok, Padang Panjang. Dengan
statusnya yang baru kota-kota itu dengan sendirinya mempunyai
wewenang dan memang ditugaskan oleh peraturan ketata-negaraan
mengelola segala sesuatu menyangkut kehidupan warga kota.
Dalam hal pasar, di satu pihak mempunyai kedudukan daerah otonom
(tingkat dua), di lain pihak harus tunduk kepada lembaga adat.
Akibatnya, kendati pengelolaan sesuatu pasar menjadi kewajiban
pemerintah satu kotamadya, hasilnya malah dibagi dengan instansi
lain. Apa boleh buat, sebagian besar dari 51 negari yang
menguasai Pasar Payakumbuh misalnya, berada di wilayah Kabupaten
Lima Puluh Kota. Karenanya, "seperti sebuah perusahaan, saham
kami cuma kecil," sebagaimana dikatakan seorang pejabat di
Balaikota Payakumbuh. Desa yang berada di Kotamadya Payakumbuh
memang cuma 7 buah.
Pola kerok (dualisme) penguasaan pasar itu ada dasar hukumnya
yaitu Surat Keputusan Gubernur No. 18/1971. Itu tampaknya
terpaksa ditempuh Gubernur Sumatera sarat dulu (Harun Zain)
karena di Sumatera sarat banyak orang tahu lembaga adat memang
kuat. Ketika Gubernur Azwar Anas yang tampil kemudian
mengemukakan gagasan menerbitkan SK baru yang isinya melepaskan
keikut-sertaan negari-negari atas penentuan nasib sesuau pasar,
niatnya ini dicegah stafnya. "Sebab hal itu bisa menimbulkan
akibat politis," sebagaimana dikatakan salah seorang staf Anas
kepada Muchlis Sulin dari TEMPO.
Jadi Kecil
Kesulitan yang dialami para walikota antara lain menyangkut soal
pendapatan daerah. Sebab dengan SK Gubernur tahun 1971
ditentukan 40% pendapatan pasar diserahkan kepada negari, 30%
untuk perbaikan. Jadi, persentase bersih yang bisa dimanfaatkan
kotamadya untuk kepentingan lain hanya sebagian kecil saja.
Bertolak dari keinginan meningkatkan pendapatan, beberapa
walikota pernah mencoba menaikkan tarif. Ini tal gampang
dilaksanakan. Sebab para pedagang sebagaimana biasa terjadi di
berbagai tempat, pada umumnya selalu keberatan. Maka kericuhan
sering terjadi. Sebab kaum pedagang selalu mempersoalkan bahwa
yang berwenang atas pasar-pasar itu tak cuma pemerintah
kotamadya, tapi juga negari yang sebagian besar terletak di luar
kota.
Belum jelas kapan kericuhan-kericuhan tersebut berakhir. Tapi
belakangan ada usul dari para Walikota agar pasar-pasar itu
dijadikan Perusahaan Daerah. Menurut kalangan pejabat di kantor
gubernur usul itu bagus. Sebab dengan begitu campur tangan
pemerintah kotamadya tidak akan begitu kelihatan. Tak kecuali
tentunya campur tangan serikat negari.
Hanya masalahnya, usul ini tak juga mudah dilaksanakan.
Terdengar suara, jangan-jangan dalam penentuan komposisi saham
serikat negari ingin lebih besar. Hal mana dianggap tidak adil
oleh kalangan orang-orang kotamadya. Maka ketika ditanya kapan
rencana menjadikan pasar di beberapa kotamadya di Sumatera Barat
itu dilaksanakan, drs Hawari Sidik sebagai jurubicara kantor
gubernur cuma berkata "pokoknya masih disiapkan."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini