Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NOVEL Baswedan bergegas memenuhi panggilan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Agus Rahardjo, Selasa pekan lalu. Siang itu, di tengah kesibukannya sebagai penyidik, dia mendadak diminta segera menemui Agus di ruangannya di lantai 3 gedung KPK. Setiba di sana, Novel ternyata sudah ditunggu Agus dan empat pemimpin Komisi lainnya.
Menurut seorang pejabat menengah KPK yang hadir dalam pertemuan itu, Novel diundang lima pemimpin KPK untuk membahas nasib kasus yang tengah membelitnya. Akhir pekan sebelumnya, kasus dugaan penganiayaan tersangka pencuri sarang burung walet yang dituduhkan ke Novel saat ia bertugas di Kepolisian Resor Bengkulu sudah dilimpahkan jaksa ke pengadilan. "Dalam pertemuan itu, Novel disodori dua opsi," katanya Kamis pekan lalu.
Opsi pertama, Novel bisa berjuang membuktikan kasus yang disidik Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI ini adalah kriminalisasi lewat persidangan. Pilihan kedua, Novel bisa bebas dari kasus itu dengan syarat ia tak lagi mengabdi di KPK. Pilihan kedua ini langsung ditolak Novel. Tapi pimpinan KPK tidak mau buru-buru. Novel diberi waktu beberapa hari untuk memutuskan pilihannya.
Kepada Tempo, Novel membenarkan dipanggil pimpinan KPK pada Selasa itu. Tapi dia tak bersedia menceritakan isi pertemuan. "Silakan tanya pimpinan," ujarnya. Wakil Ketua KPK Saut Situmorang membenarkan kabar bahwa pimpinan KPK menawari dua opsi tersebut. Menurut Saut, Novel bisa mengembangkan keahlian di luar KPK. "NB (Novel) akan menentukan pilihan," ucap Saut.
Menurut seorang petinggi Kejaksaan Agung, dua opsi itu merupakan kesepakatan pimpinan KPK, petinggi Markas Besar Polri, dan petinggi Kejaksaan Agung. Tapi, kata dia, petinggi polisi, yang berkantor di Jalan Trunojoyo, Jakarta Selatan, yang menghendaki opsi hengkang dari KPK. Menurut dia, pimpinan KPK aktif melobi petinggi institusi itu karena tak sudi melihat Novel menjadi pesakitan di pengadilan. Upaya penarikan berkas Novel dari pengadilan pekan lalu adalah bagian dari hasil lobi tersebut.
Saut menyangkal ihwal adanya lobi ini. Kepala Polri Badrodin Haiti tidak membantah atau membenarkan soal itu. "Penghentian perkara tidak ada syarat apa-apa. Kalau perkara mau dihentikan oleh Jaksa Agung, ya, silakan," ujar Badrodin kepada Dewi Suci dari Tempo. Adapun Jaksa Agung M. Prasetyo memilih tak berkomentar. "Saya ada rapat."
Jumat dua pekan lalu, Kejaksaan Negeri Bengkulu melimpahkan berkas perkara Novel ke Pengadilan Negeri Bengkulu karena kasus ini akan kedaluwarsa pada 18 Februari nanti. Pengadilan bahkan sudah menetapkan jadwal sidang, yakni 16 Februari ini. Majelis hakim juga sudah dibentuk, yang terdiri atas Dellis Sinambela sebagai ketua dan empat hakim sebagai anggota. Keempat hakim itu adalah Jooner Manik, Suparman, Immanuel, dan Zainal Mutakim.
Novel dijerat kasus usang. Dugaan ada upaya kriminalisasi mencuat dalam perkara tersebut. Kasus ini diusut Kepolisian Bengkulu dibantu Bareskrim Polri ketika Novel memimpin penyidikan kasus dugaan korupsi simulator surat izin mengemudi yang melibatkan mantan Kepala Korps Lalu Lintas Polri Inspektur Jenderal Djoko Susilo, awal Oktober 2012. Novel dituduh menganiaya tersangka pencuri sarang burung walet sampai mati pada 2004. Saat itu Novel menjabat Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Bengkulu.
Pada 5 Oktober 2012, sekitar 200 polisi mengepung gedung KPK untuk menangkap Novel. Namun rencana tersebut tak terlaksana karena ratusan pegiat antikorupsi ketika itu datang ke gedung KPK untuk melindungi Novel. Kegaduhan ini menjadi perhatian serius Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Ia kemudian meminta Kepolisian tidak melanjutkan penanganan kasus itu. Perkara ini diungkit lagi oleh Kepolisian pada Februari 2015 setelah Novel menjadi penyidik KPK yang menetapkan Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai tersangka dugaan rekening gendut. Saat itu Budi tengah diusulkan Presiden Joko Widodo sebagai calon Kepala Polri. Gagal jadi Kapolri, Budi kini menjadi orang kedua di Kepolisian.
Pengusutan kembali kasus Novel ini memantik reaksi keras publik karena sarat rekayasa. Bahkan hasil temuan Ombudsman Republik Indonesia mengungkap penyalahgunaan prosedur penanganan kasus Novel. Hasil rekomendasi lembaga itu, misalnya, menyebutkan Brigadir Yogi Haryanto sebagai pelapor tidak memenuhi kualifikasi karena tidak melihat langsung kejadian. Ombudsman juga mengungkap ada pembiaran perkara Novel oleh polisi selama 11 tahun sejak 2004.
Selain itu, terungkap ada banyak rekayasa yang dilakukan polisi. Misalnya, adanya rekayasa di berita acara surat pengambilan proyektil di kaki Irwansyah Siregar, salah seorang pencuri sarang burung walet, di Rumah Sakit Polri Said Sukanto, Kramat Jati, Jakarta Timur, pada 15 Oktober 2012. Faktanya, pengambilan proyektil dilakukan di Rumah Sakit Bhayangkara Jitra, Bengkulu, sepuluh hari sebelumnya. Itu pun atas permintaan Irwan, bukan permintaan polisi untuk kepentingan penyidikan.
Kendati kasus Novel dikecam publik dan dianggap banyak rekayasa oleh Ombudsman, Kepolisian dan Kejaksaan Agung jalan terus mengusut kasus itu sampai berkas dakwaannya dilimpahkan ke pengadilan. Dari salinan dokumen dakwaan yang diperoleh Tempo, Novel akan dikenai dakwaan primer menggunakan jerat Pasal 351 ayat 3 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tindakan penganiayaan sampai mati. Ancaman hukuman maksimal pasal ini tujuh tahun.
Selanjutnya, penuntut umum mempersiapkan dakwaan penganiayaan bersama-sama dan berkelanjutan sampai korban luka berat, yang memiliki ancaman hukuman maksimal dua tahun delapan bulan. Sebagai alternatif, penuntut umum menyiapkan jerat terakhir yang mengatur tindakan pejabat yang memaksa untuk mendapat keterangan, yang mengandung ancaman penjara paling lama empat tahun dan bisa ditambah sepertiga. "Dakwaan ngawur dan banyak bohongnya," kata Novel.
Menurut Novel, Kepolisian dan Kejaksaan mengabaikan hasil investigasi Ombudsman yang mengungkap keserampangan polisi dalam mengusut perkaranya. "Artinya, rekomendasi Ombudsman yang merupakan amanah undang-undang itu diabaikan juga," ucapnya.
Ketika Kejaksaan memastikan pelimpahan kasus Novel ke pengadilan, sejumlah pegiat antikorupsi mendesak Presiden Jokowi turun tangan. Kamis pekan lalu, suara mereka didengar Jokowi, yang khusus memanggil M. Prasetyo dan Badrodin Haiti untuk membahas kasus Novel. "Khusus Novel, masih ada kesempatan untuk menarik berkas yang sudah dilimpahkan. Kasus ini harus selesai, jangan berlarut-larut," ujar juru bicara presiden, Johan Budi Sapto Pribowo.
Johan mengatakan dasar hukum penarikan berkas yang sudah dilimpahkan adalah Pasal 144 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Ayat 1 pasal tersebut memberi kewenangan kepada penuntut umum sehingga dapat mengubah surat dakwaan untuk menyempurnakan ataupun untuk tidak melanjutkan penuntutan.
Pengacara Novel, Muji Kartika Rahayu, belum sepenuhnya percaya penanganan kasus Novel akan dihentikan. "Sebelum ada surat keputusan penghentian penuntutan, kriminalisasi Novel belum berhenti," katanya.
Muhamad Rizki (Jakarta), Phesi Ester (Bengkulu)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo