Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ragam Masalah Sistem Penerimaan Siswa Baru

Sistem penerimaan peserta didik baru (PPDB) didesak agar dievaluasi. Masalah berulang terjadi saban awal tahun ajaran. Apa saja?

15 Juli 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Petugas memberikan penjelasan kepada orang tua calon peserta didik terkait pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) di Posko Pelayanan PPDB 2023 di SMA Negeri 70 Jakarta, 25 Mei 2023. Tempo/ Hilman Fathurrahman W

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Sejumlah aktivis pendidikan meminta pemerintah meninjau ulang pelaksanaan PPDB.

  • Sumber kegaduhan PPDB disebut bermula dari Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021.

  • Kementerian Pendidikan mengawasi pemerintah daerah, bukan sekolah.

JAKARTA – Sejumlah aktivis pendidikan meminta pemerintah meninjau ulang pelaksanaan penerimaan peserta didik baru (PPDB) tahun ajaran 2023/2024. Mereka menilai kebijakan pendaftaran ini justru menimbulkan masalah baru. Anggota Suara Orang Tua Peduli, Rahmi Yuniarti, mengatakan pelaksanaan PPDB di DKI Jakarta yang dianggap bermasalah salah satunya adalah jalur prestasi. Menurut dia, definisi prestasi tidak dijelaskan secara tegas dalam sistem penerimaan siswa baru. Tidak adanya definisi itu menyebabkan kesenjangan untuk mengatur skor prestasi dalam sistem. "Apakah prestasi itu dimaksudkan dengan kompetitif, pengalaman organisasi, ataukah ahli tahfiz? Itu tidak dijelaskan dengan tegas," kata Rahmi kepada Tempo pada Jumat, 14 Juli 2023.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sistem PPDB memiliki empat jalur, yakni jalur prestasi akademik dan non-akademik, afirmasi, zonasi, serta perpindahan orang tua. Sistem pendaftaran ini diberlakukan untuk para siswa tingkat sekolah dasar, menengah pertama, dan menengah atas yang mendaftar di sekolah negeri.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selain tidak ada definisi yang jelas, Rahmi mengatakan, dinas pendidikan setempat juga tidak secara detail menetapkan standar kategori skor tertinggi dalam menentukan jenjang prestasi. Berdasarkan temuannya, dia mencontohkan, ada anak yang pernah meraih juara pertama lomba penelitian tingkat nasional, tapi mendapat nilai lebih rendah daripada juara pertama lomba penelitian di tingkat internasional.

Menurut dia, bukan berarti lomba di tingkat internasional itu kompetitif. "Tidak semua orang asing itu pintar. Bisa saja peserta kompetisi itu juga sedikit," ujar Rahmi. "Banyak kasus siswa yang mendapat juara pertama lomba tingkat nasional itu mendapat secara berjenjang dan tingkat kompetitifnya tinggi," ujarnya.

Siswa melihat tautan pelayanan penerimaan peserta didik baru (PPDB) di Posko Pelayanan PPDB 2023 di SMA Negeri 70 Jakarta, 25 Mei 2023. TEMPO/Hilman Fathurrahman W.

Masalah lainnya adalah kebingungan dan kesulitan mengecek sertifikat prestasi. Sekolah biasanya ditugasi mengecek keaslian sertifikat. Tapi, kata Rahmi, ada beberapa kejadian sekolah tidak mengecek keaslian sertifikat prestasi itu.

Di samping itu, tidak semua bidang prestasi non-akademik memiliki induk organisasi untuk mengecek keaslian sertifikat. Misalnya, prestasi bidang olahraga bisa dicek ke dinas olahraga atau Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI). "Tapi untuk seni dan musik bagaimana? Kalau tahfiz, siapa yang mengecek?" ujar Rahmi.

Menurut Rahmi, kondisi itu terjadi karena dinas pendidikan hanya terpaku pada hal formalistis dan prosedural. Mereka tidak mencoba menangkap esensi dari proses seleksi jalur prestasi itu. "Jadinya, anaklah yang lagi-lagi menjadi korban," ucapnya.

Suara Orang Tua Peduli juga menemukan adanya kalangan yang bermain melalui jalur perpindahan orang tua yang memiliki kuota 5 persen. Jalur perpindahan ini biasanya membutuhkan surat pendukung perpindahan orang tua dan keterangan domisili terbaru dari kelurahan setempat. Jalur ini sejatinya disediakan agar orang tua yang sering berpindah tugas, seperti tentara dan pegawai negeri, tidak kehilangan hak zonasinya. Namun jalur ini justru diakali agar siswa yang tidak lolos melalui jalur zonasi tetap bisa diterima lewat PPDB. "Orang tua yang anaknya tak lolos jalur zonasi mengakali dengan membuat surat perpindahan. Kalau di DKI Jakarta, mereka pindah dari Jakarta Timur ke Jakarta Barat, dari Jakarta Barat ke Jakarta Timur. Pokoknya ada surat mutasi," ujarnya.

Koordinator Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, juga mendesak Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi meninjau ulang dan mengevaluasi sistem PPDB yang sudah dilaksanakan sejak 2017. "PPDB mulai melenceng dari tujuan riilnya. Ini menjadi persoalan klasik yang kerap terjadi tiap tahun," kata Satriwan.

Menurut dia, masih ditemukan sejumlah masalah dalam sistem PPDB jalur zonasi. Misalnya, ia mencontohkan, terjadi migrasi domisili calon siswa melalui kartu keluarga di sekitar sekolah yang dinilai favorit oleh orang tua. Ini terjadi di wilayah yang memiliki sekolah unggulan. Modusnya, memasukkan atau menitipkan nama calon siswa dalam kartu keluarga kerabat atau warga sekitar di sekolah yang dituju. "Kasus ini terjadi di Jawa Tengah, Jawa Barat, Jakarta, Jawa Timur, dan terbaru di kota Bogor," kata Satriwan.

Masalah lainnya, banyak sekolah yang tidak bisa menampung calon peserta didik baru karena terbatasnya daya tampung, khususnya di perkotaan. Sebab, jumlah sekolah negeri dan daya tampung sekolah lebih sedikit ketimbang jumlah calon siswa, sehingga jumlah kursi dan ruang kelas tidak dapat menampung calon siswa baru. "Walhasil, calon siswa terlempar meskipun di satu zona. Faktor utamanya adalah sebaran sekolah negeri tak merata," ujarnya.

Di DKI Jakarta, dia memaparkan, jumlah calon peserta didik baru (CPDB) 2023 jenjang SMP/MTs adalah 149.530 siswa, tapi total daya tampung hanya 71.489 siswa atau sekitar 47,81 persen. Sementara itu, untuk jenjang SMA/MA/SMK, calon siswa baru sebanyak 139.841 siswa, sementara total daya tampung 28.937 atau hanya 20,69 persen. Adapun daya tampung jenjang SMK justru lebih sedikit, yakni hanya 19.387 siswa atau 13,87 persen. "Data menunjukkan kondisi sekolah negeri di Jakarta, makin tinggi jenjang sekolah, makin sedikit ketersediaan bangkunya. Implikasinya, bisa dipastikan bahwa tidak semua calon siswa dapat diterima di sekolah negeri sehingga sekolah swasta menjadi pilihan terakhir," kata Satriwan.

Menurut dia, masalah ini bisa diatasi dengan membangun unit sekolah baru atau tambahan ruang kelas, tapi dengan mempertimbangkan agar sekolah swasta tetap mempunyai siswa. Ia mengatakan DKI Jakarta menyiasatinya dengan solusi PPDB Bersama. "Anak-anak yang tidak diterima di sekolah negeri kemudian masuk ke swasta, yang dibiayai pemerintah provinsi. Tapi sayangnya PPDB Bersama ini tak begitu diminati sekolah swasta terbaik di Jakarta."

Kepala Bidang Litbang Pendidikan P2G, Feriansyah, menuturkan masalah lain akibat sistem zonasi adalah ada sekolah yang kekurangan siswa karena sepi peminat. Sebab, banyaknya sekolah negeri dan berdekatan lokasinya serta lokasi sekolah jauh di pelosok pedalaman atau perbatasan yang aksesnya sulit.

Kasus kekurangan siswa terjadi di Jawa Tengah, seperti di Magelang, Temanggung, Solo, Sleman, Klaten, dan Batang, serta di Pangkal Pinang, Bangka Belitung. Di Batang, sebanyak 21 SMP negeri kekurangan siswa pada PPDB 2022. Di Jepara, Jawa Tengah, dalam PPDB 2023, hingga akhir Juni lalu tercatat 12 SMP negeri masih kekurangan siswa. "Di Yogyakarta, ada tiga SMA negeri yang kekurangan siswa. Di Kabupaten Semarang, dalam PPDB 2023, sebanyak 99 SD negeri tak dapat siswa baru sehingga guru harus mencari murid dari rumah ke rumah," ujar Feriansyah.

Menurut dia, persoalan sekolah kekurangan siswa ini berdampak serius pada jumlah jam mengajar guru. Bagi guru yang sudah mendapat tunjangan profesi guru, mereka bisa terancam tidak menerima lagi tunjangan karena kekurangan jam mengajar 24 jam/seminggu yang disyaratkan peraturan. Solusinya, kata Feriansyah, pemerintah daerah bisa menggabungan sejumlah sekolah negeri dan memperbaiki akses infrastruktur serta transportasi ke sekolah.

Masalah lainnya, dugaan praktik jual-beli kursi, pungli, dan siswa "titipan" dari pejabat atau tokoh di wilayah setempat. Perhimpunan Pendidikan dan Guru mencatat kasus seperti itu terjadi di Bali, Bengkulu, Tangerang, Bandung, dan Depok. Ironisnya, panitia PPDB sekolah, yaitu kepala sekolah dan guru, tidak punya kekuatan untuk menolak sehingga praktik yang diam-diam terus terjadi ini. "Pernah ramai terjadi di Bandung pada 2022, seorang anggota DPRD menitipkan calon siswa di sekolah yang dituju," katanya.

Di Bengkulu, pada PPDB 2023, seorang guru diduga melakukan jual-beli bangku kepada calon orang tua siswa agar anaknya diterima. "PPDB kini seakan-akan tak hanya jalur zonasi, prestasi, dan afirmasi, tapi juga ada jalur intervensi, intimidasi, dan surat sakti," ujar Feriansyah. 

Audit PPDB dan Revisi Permendikbud 

Kordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, mengatakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan terkesan cuci tangan dan mengarahkan tudingan kisruh PPDB 2023 kepada pemerintah daerah. Padahal, menurut JPPI, pangkal masalah ini sistemik ada pada pemerintah pusat, Kementerian, bukan di level pemerintah daerah.

Menurut dia, sumber kegaduhan PPDB adalah Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 1 Tahun 2021. Regulasi ini dijadikan acuan di daerah dan ditafsirkan secara beragam oleh setiap pemerintah setempat. Dampaknya, sistem PPDB menuai protes di sejumlah tempat dengan ragam kegaduhan masalah yang berbeda-beda. "Misalnya, protes karena seleksi berdasarkan usia, ketidakjelasan parameter jalur prestasi, serta banyak ditemukan manipulasi di jalur zonasi dan afirmasi."

Dengan begitu, kata dia, regulasi ini melahirkan peraturan turunan di daerah-daerah yang satu sama lain bertabrakan. Masyarakat kemudian bingung, lalu terjadilah kegaduhan. "Bila hanya ada satu atau dua daerah yang gaduh, bisa jadi daerah tersebut salah tafsir. Tapi, jika kericuhan terjadi di mana-mana, hampir di semua daerah, berarti permendikbudnya yang bermasalah," kata Ubaid.

Pelaksanaan PPDB, kata dia, tidak pernah diaudit. Permendikbud tentang PPDB terakhir diterbitkan pada 2021 dan belum direvisi. Padahal, sejak diberlakukan pada 2017, pemerataan akses dan mutu belum nyata adanya. "Dari sisi akses, mayoritas anak tak dapat jatah bangku di sekolah negeri. Soal mutu juga masih terjadi kesenjangan. Tahun ini, pendaftar PPDB masih saja numpuk di sekolah-sekolah unggulan dan favorit," ujar Ubaid.

Ia menilai sistem PPDB belum mampu menjamin semua anak mendapat haknya untuk bisa memperoleh pendidikan yang berkualitas. Padahal itu amanah Pasal 31 UUD 1945 dan Pasal 34 UU Sistem Pendidikan Nasional. 

Kementerian Awasi Pemerintah Daerah, Bukan Sekolah 

Menanggapi hal itu, Kementerian Pendidikan melihat bahwa pengawasan oleh inspektorat daerah dalam pelaksanaan PPDB kurang berjalan dengan baik. "Salah satunya terlihat saat Kementerian turun ke lapangan, inspektorat daerah bahkan tidak tahu bahwa PPDB zonasi terdiri atas empat jalur," ujar Inspektur Jenderal Kementerian Pendidikan, Chatarina Muliana Girsang, dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi X DPR di Jakarta, Rabu, 12 Juli lalu. 

Kendati begitu, Chatarina membantah anggapan bahwa dikatakan Kementerian lepas tangan dalam permasalahan PPDB. Dia menjelaskan, sekolah-sekolah negeri diselenggarakan pemerintah daerah sehingga pengawasan atas penyelenggaraan PPDB di setiap sekolah negeri adalah tanggung jawab pemda melalui inspektorat daerah. "Tugas Kementerian mengawasi pemerintah daerah dalam penyelenggaraan pendidikan, jadi bukan mengawasi sekolahnya," ujarnya.

Chatarina mengatakan setiap sosialisasi kepada pemerintah daerah dilakukan melalui dinas pendidikan sesuai dengan kewenangannya. Kementerian Pendidikan meminta agar peraturan kepala daerah tentang petunjuk teknis PPDB tidak bertentangan dengan Permendikbud PPDB. Dinas pendidikan, kata dia, harus memastikan sejak persiapan sampai setiap tahap pelaksanaan PPDB sesuai dengan aturan. "Dinas pendidikan perlu memastikan seluruh orang tua atau wali serta siswa mengetahui aturan PPDB. Seluruh kepala sekolah bisa melakukan sosialisasi ke orang tua murid," ucapnya. 

HENDRIK YAPUTRA | DEVY ARNIS

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus