Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JAKARTA – Praktik overcharged (biaya terlalu tinggi) dalam penempatan pekerja migran masih sering terjadi. Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) dituding menjadi pihak yang paling diuntungkan dalam praktik ini. "Ada praktik overcharged dan saya menyebut ini kejahatan," kata Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI), Benny Rhamdani, kemarin.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kasus terbaru terjadi dalam penempatan pekerja ke Inggris oleh PT Al Zubara Manpower. Perusahaan itu mematok biaya Rp 60-80 juta kepada setiap pekerja. Biaya ini harus dibayarkan lunas sebelum pekerja bertolak ke Inggris. Karena itu, sebagian dari mereka memaksakan diri mengajukan pinjaman ke bank dengan menggadaikan rumah. "Bagaimana mereka sejahtera kalau terikat utang?" kata Benny.
Atas dasar itulah, BP2MI melaporkan PT Al Zubara ke polisi. Selain itu, BP2MI merekomendasikan kepada Kementerian Ketenagakerjaan untuk mencabut izin perusahaan itu. "Kami sudah memproses hukum. Sekarang sudah didorong ke Bareskrim Polri," ujar Benny.
Berdasarkan catatan BP2MI, mulai April 2022, lebih dari 1.400 pekerja migran diberangkatkan ke Inggris. Mereka ditempatkan di 15 perkebunan. Namun, hingga akhir November lalu, sebanyak 239 pekerja migran dipulangkan lebih awal karena musim panen buah telah berakhir. Padahal sebagian besar pekerja yang dipulangkan ini baru berangkat pada Juli dan Agustus.
Salah satu kantor PT Al Zubara Manpower Indonesia di Jatibening, Bekasi. Dok Google
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para pekerja musiman ini direkrut melalui PT Al Zubara berdasarkan permintaan dari AG Recruitment, salah satu agen resmi pekerja musiman di Inggris. Agen inilah yang menempatkan para pekerja di berbagai perkebunan. Ketika musim panen berakhir, para pekerja diharuskan pulang. Padahal penghasilan yang mereka peroleh belum cukup untuk membayar utang ke bank.
Dikutip dari BBC yang dimuat Tempo.co, PT Al Zubara melalui direkturnya, Yulia Guyeni, mengakui bahwa masalah pekerja yang dipulangkan lebih awal dari masa kerja enam bulan ini karena keterlambatan pengiriman. Dia justru menuding AG Recruitment tidak bertanggung jawab melakukan pembayaran kepada pekerja migran.
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran (JBM), Savitri Wisnuwardhani, mengatakan visa yang didapat para pekerja di Inggris ini adalah seasonal worker visa. Dengan visa ini, pekerja hanya bisa bekerja, secara spesifik, di perkebunan. Maka, ketika masa panen berakhir, mereka tidak bisa bekerja di sektor lain. Selain itu, karena ada masalah ketidakjelasan dengan status P3MI, pekerja migran di Inggris sulit mengakses hak finansial.
Di sisi lain, kata Savitri, P3MI tidak segera merespons dan bertanggung jawab atas nasib pekerja migran di Inggris tersebut. "Padahal dalam Undang-Undang PPMI Pasal 52 ayat 1 dijelaskan, salah satu tugas P3MI adalah menyelesaikan permasalahan pekerja migran yang ditempatkan," ujar dia.
Savitri berharap pemerintah segera membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi para pekerja migran itu, baik yang sudah dipulangkan maupun yang masih berada di sana. Menurut dia, masih ada pekerja yang tidak bisa pulang ataupun yang masih bekerja, tapi mendapat masalah selama bekerja.
Adapun Benny menilai pemberangkatan lebih dari 1.000 pekerja migran ke Inggris ini merupakan pelanggaran karena belum ada struktur biaya atau cost structure. Pekerja migran hanya dapat bekerja di negara yang telah memiliki cost structure. Struktur biaya adalah biaya-biaya yang dibutuhkan untuk bekerja di luar negeri, seperti pembuatan paspor, visa, tiket pesawat, asuransi, pelatihan, tes psikologi, dan pemeriksaan kesehatan. Pembuatan struktur biaya diatur dalam Pasal 30 ayat 2 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2018 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia.
Ilustrasi pekerja pemetik buah musiman. Shutterstock
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, berharap Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI memastikan PMI yang pulang dari Inggris tidak lagi dibebani oleh utang yang diklaim PT Al Zubara. Menurut dia, dalam hal ini, pemerintah harus bertindak tegas dengan membebaskan pekerja migran dari beban tersebut. Juga memastikan upah mereka yang belum dibayar segera dituntaskan sesuai dengan perjanjian kerja. "Karena mereka dipulangkan tidak sesuai dengan perjanjian kerja," kata Timboel.
Menurut Timboel, PT Al Zubara tidak boleh membebani pekerja migran yang pulang dari Inggris untuk membayar biaya-biaya yang ada. Seharusnya PT Al Zubara menagih biaya-biaya tersebut ke pemberi kerja di Inggris.
Mengacu pada Pasal 30 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, pekerja migran tidak dapat dibebani biaya penempatan. Juga dalam Pasal 3 Peraturan BP2MI Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pembebasan Biaya Penempatan Pekerja Migran Indonesia, yang menyatakan pekerja yang bekerja di perkebunan dibebaskan dari biaya penempatan.
Kurang Pengawasan
Timboel melihat saat ini masih ada perusahaan P3MI yang nakal dan tidak mau mematuhi ketentuan UU PPMI serta regulasi operasional tentang pekerja migran. Pihak perusahaan P3MI merasa berkuasa sehingga pekerja migran dibebani terus dalam pembiayaan. Pihak P3MI juga kerap kali tidak akan memberangkatkan para pekerja kalau tidak patuh pada keputusan BP3MI. "Hal ini kerap terjadi sejak lama," ujar Timboel.
Menurut Timboel, Kementerian Ketenagakerjaan dan BP2MI mesti meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum atas proses rekrutmen, pemberangkatan, dan pemulangan pekerja migran sesuai dengan hukum positif yang ada.
Savitri mengatakan banyak kasus pekerja migran lainnya terjadi karena minim serta terbatasnya pengawasan secara rutin dan reguler kepada P3MI atau agensi baik di negara asal maupun di negara tujuan. Hal itu menyebabkan pekerja migran kurang mendapatkan hak-haknya.
Benny mengatakan pemerintah tidak mengetahui perusahaan yang menaikkan nominal biaya, kecuali ketika mendapat laporan. Dia mengatakan yang memberi izin P3MI adalah Kementerian Ketenagakerjaan. Karena itu, menurut dia, tugas pengawasan pada praktik-praktik P3MI dilakukan oleh Kementerian. Kementerian juga dapat mencabut izin P3MI. Tempo sudah menghubungi Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Tenaga Kerja, Suhartono, tapi tidak direspons.
HENDARTYO HANGGI
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo