Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nusa

Punya sira dan tebango

Pamenang, desa paling selatan kecamatan tanjung, lombok barat, bermata pencaharian sebagai petani dan nelayan. kondisi jalan dari mataram ke sana rusak parah. daerah ini punya potensi wisata.(ds)

15 Mei 1976 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DESA Pamenang ini terletak di wilayah paling selatan dari kecamatan Tanjung kabupaten Lombok Barat. Dari Mataram, ibu kota propinsi Nusatenggara Barat yang kini sedang dipersiapkan untuk jadi sebuah kota administratif, letak desa Pamenang ini 25 km. Tapi lebih separoh dari jalan itu saat ini mengalami kerusakan berat. Lebih parah lagi adalah kondisi jalan-jalan yang menghubungkan Pamenang dengan desa-desa di sebelah utaranya, yang masih banyak terdiri dari tanah melulu. Ini menyebabkan kendaraan-kendaraan (baik truk maupun macro & micro bus) yang lewat di sana terpaksa berlari seperti menjangan. Melompat-lompat. Padahal kecamatan Tanjung ini banyak menghasilkan hasil bumi yang diperdagangkan baik seara antar pulau maupun ekspor: kacang tanah, kedele, kopra, lombok merah, dlsbnya. Dari desa Pamenang sendiri tiap bulannya dikeluarkan sebanyak paling kurang 50 ton kopra. Sebagian besar dari penduduk desa Pamenang yang berjumlah 20 ribu jiwa ini bermata pencaharian pokok sebagai petani kelapa. Luas kebun kelapa di desa ini 15 ribu ha. Sedangkan luas areal tanah sawah cuma 250 ha. Di samping sebagai petani, tak sedikit dari penduuk desa ini yang bermata pencaharian sebagai nelayan, terutama yang berkampung di tepi laut. Di kabupaten Lombok Barat, hanya di sekitar Pamenang yang mengalami produksi ikan terus menerus sepanjang tahun. Sedangkan daerah lain seperti Ampenan, Gili Gede dan Batu Layar. produksi ikan ini hanya berjalan selama 3-6 bulan setiap tahunnya. Sira adalah nama sebuah pantai indah di desa Pamenang. Oleh pihak Bapparda di sana, pantai ini disulap menjadi sebuah obyek pariwisata yang nantinya konon bakal mampu menandingi keindahan taman laut di Maluku sana. Pantai indah di Pamenang ini dipromosikan dengan nama Pantai Sira. Di depan pantai ini terdapat sebuah pulau mini. Air lautnya tenang dan tak seberapa dalam. Sejak beberapa tahun belakangan ini orang-orang banyak yatlg pelesir ke pantai Sira dan bersampan menuju pulau mini itu. Dari Majapahit? Ada satu hal yang unik di desa Pamenang ini. Di sini ada sebuah kampung bernama Tebango. Kampung Tebango ini berpenduduk sebanyak 9000 jiwa. Penduduk sebanyak itu tinggal menempati rumah-rumah yang kondisinya masih sangat jauh dari memenuhi persyaratan rumah sehat. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa Sasak (bahasa penduduk asli pulau Lombok. Dan Sasak juga adalah nama penduduk asli pulau Lombok). Pada umumnya, orang-orang Sasak di pulau Lombok memeluk agama Islam. Tapi penduduk kampung Tebango yang sehari-harinya berbahasa Sasak dan menempati rumah-rumah yang bentuknya tak berbeda dengan bentuk rumah orang-orang Sasak lainnya ini, memelihara babi. Babi-babi itu' dipelihara di tiap rumah. Babi itu mereka pelihara sedari kecil, dan dijual kalau sudah besar dengan harga yang lumayan tinggi. Tentu saja tak sedikit yang disembelih untuk keperluan upacara-upacara adat. Kepada TEMPO,I Tawiyah (kepala kampung Tebango) mengatakan, bahwa penduduk kampung Tebango ini berasal dari Majapahit. Dari Majapahit menyeberang ke Bali dan dari Bali melompat ke Lombok. I Tawiyah terbingung-bingung ketika ditanyai: penduduk kampung Tebango ini suku apa? "Oleh karena kami sudah terlalu lama menetap di Lombok, yah kami termasuk suku Sasak", kata I Tawiyah pada akhirnya. Sebagaimana halnya I Tawiyah, penduduk kampung Tebango lainnya juga selalu menambahkan'I' di depan nama mereka. Ini mirip dengan orang-orang Bali, seperti: I Wa-yan, I Nyoman, l Ketut dlsbnya. Tidak demikian halnya dengan nama orang-orang Sasak. Apa agama yang dianut oleh penduduk kampung Tebango ini? Menurut I Tawiyah, sejak tahun 1972 mereka telah diresmikan sebagai pemeluk agama Budha oleh biksu Putu Girirakhito dari SingaLdja (Bali). Sejak diresmikan hingga kini, menurut I Tawiyah, mereka sudah berkali-kali merayakan hari raya Waisak, Asadha dan Kathina. Sebelum memeluk agama Budha, mereka menganut kepercayaan semacam animisme. Di kampung Tebango ini, mereka mempunyai tempat persembahyangan (Cintya) yang terletak di atas bukit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus