DESA Pamenang ini terletak di wilayah paling selatan dari
kecamatan Tanjung kabupaten Lombok Barat. Dari Mataram, ibu kota
propinsi Nusatenggara Barat yang kini sedang dipersiapkan untuk
jadi sebuah kota administratif, letak desa Pamenang ini 25 km.
Tapi lebih separoh dari jalan itu saat ini mengalami kerusakan
berat. Lebih parah lagi adalah kondisi jalan-jalan yang
menghubungkan Pamenang dengan desa-desa di sebelah utaranya,
yang masih banyak terdiri dari tanah melulu. Ini menyebabkan
kendaraan-kendaraan (baik truk maupun macro & micro bus) yang
lewat di sana terpaksa berlari seperti menjangan.
Melompat-lompat. Padahal kecamatan Tanjung ini banyak
menghasilkan hasil bumi yang diperdagangkan baik seara antar
pulau maupun ekspor: kacang tanah, kedele, kopra, lombok merah,
dlsbnya.
Dari desa Pamenang sendiri tiap bulannya dikeluarkan sebanyak
paling kurang 50 ton kopra. Sebagian besar dari penduduk desa
Pamenang yang berjumlah 20 ribu jiwa ini bermata pencaharian
pokok sebagai petani kelapa. Luas kebun kelapa di desa ini 15
ribu ha. Sedangkan luas areal tanah sawah cuma 250 ha. Di
samping sebagai petani, tak sedikit dari penduuk desa ini yang
bermata pencaharian sebagai nelayan, terutama yang berkampung di
tepi laut. Di kabupaten Lombok Barat, hanya di sekitar Pamenang
yang mengalami produksi ikan terus menerus sepanjang tahun.
Sedangkan daerah lain seperti Ampenan, Gili Gede dan Batu Layar.
produksi ikan ini hanya berjalan selama 3-6 bulan setiap
tahunnya.
Sira adalah nama sebuah pantai indah di desa Pamenang. Oleh
pihak Bapparda di sana, pantai ini disulap menjadi sebuah obyek
pariwisata yang nantinya konon bakal mampu menandingi keindahan
taman laut di Maluku sana. Pantai indah di Pamenang ini
dipromosikan dengan nama Pantai Sira. Di depan pantai ini
terdapat sebuah pulau mini. Air lautnya tenang dan tak seberapa
dalam. Sejak beberapa tahun belakangan ini orang-orang banyak
yatlg pelesir ke pantai Sira dan bersampan menuju pulau mini
itu.
Dari Majapahit?
Ada satu hal yang unik di desa Pamenang ini. Di sini ada sebuah
kampung bernama Tebango. Kampung Tebango ini berpenduduk
sebanyak 9000 jiwa. Penduduk sebanyak itu tinggal menempati
rumah-rumah yang kondisinya masih sangat jauh dari memenuhi
persyaratan rumah sehat. Bahasa sehari-hari mereka adalah bahasa
Sasak (bahasa penduduk asli pulau Lombok. Dan Sasak juga adalah
nama penduduk asli pulau Lombok). Pada umumnya, orang-orang
Sasak di pulau Lombok memeluk agama Islam. Tapi penduduk kampung
Tebango yang sehari-harinya berbahasa Sasak dan menempati
rumah-rumah yang bentuknya tak berbeda dengan bentuk rumah
orang-orang Sasak lainnya ini, memelihara babi. Babi-babi itu'
dipelihara di tiap rumah. Babi itu mereka pelihara sedari kecil,
dan dijual kalau sudah besar dengan harga yang lumayan tinggi.
Tentu saja tak sedikit yang disembelih untuk keperluan
upacara-upacara adat. Kepada TEMPO,I Tawiyah (kepala kampung
Tebango) mengatakan, bahwa penduduk kampung Tebango ini berasal
dari Majapahit. Dari Majapahit menyeberang ke Bali dan dari Bali
melompat ke Lombok. I Tawiyah terbingung-bingung ketika
ditanyai: penduduk kampung Tebango ini suku apa? "Oleh karena
kami sudah terlalu lama menetap di Lombok, yah kami termasuk suku
Sasak", kata I Tawiyah pada akhirnya. Sebagaimana halnya I
Tawiyah, penduduk kampung Tebango lainnya juga selalu
menambahkan'I' di depan nama mereka. Ini mirip dengan
orang-orang Bali, seperti: I Wa-yan, I Nyoman, l Ketut dlsbnya.
Tidak demikian halnya dengan nama orang-orang Sasak.
Apa agama yang dianut oleh penduduk kampung Tebango ini? Menurut
I Tawiyah, sejak tahun 1972 mereka telah diresmikan sebagai
pemeluk agama Budha oleh biksu Putu Girirakhito dari SingaLdja
(Bali). Sejak diresmikan hingga kini, menurut I Tawiyah, mereka
sudah berkali-kali merayakan hari raya Waisak, Asadha dan
Kathina. Sebelum memeluk agama Budha, mereka menganut
kepercayaan semacam animisme. Di kampung Tebango ini, mereka
mempunyai tempat persembahyangan (Cintya) yang terletak di atas
bukit.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini