Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang membidangi pertahanan melaksanakan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) pada 3-4 Maret 2025 untuk mendengar masukan pakar dan lembaga swadaya masyarakat terhadap isu-isu mengenai revisi Undang-Undang tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau revisi UU TNI.
Dalam rapat pada Senin, 3 Maret 2025, Ketua Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan pembahasan RUU TNI harus menyerap aspirasi agar memenuhi syarat untuk hak menyampaikan masukan, hak untuk dipertimbangkan, dan hak untuk menjelaskan agar tidak terjadi protes seperti pembahasan UU Cipta Kerja. “Dalam Undang-Undang Cipta Kerja, Mahkamah Konstitusi meminta pembuat undang-undang mengulang karena minim partisipasi yang dianggap belum memenuhi syarat,” kata dia, seperti dikutip dari Antara.
Sebelumnya, Rapat Paripurna DPR pada 18 Februari 2025 menyetujui RUU TNI masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025. Wakil Ketua DPR Adies Kadir, yang memimpin rapat paripurna, mengatakan pembahasan RUU TNI selanjutnya ditugaskan kepada Komisi I DPR selaku alat kelengkapan dewan dengan ruang lingkup tugas mencakup bidang pertahanan, luar negeri, komunikasi dan informatika, serta intelijen.
Revisi UU TNI itu mendapat tanggapan dari berbagai kalangan, termasuk dari para pengamat dan anggota DPR.
Pengamat Desak DPR Hapus Pasal 74 UU TNI
Pengamat militer dan Ketua Badan Pekerja Centra Initiative, Al Araf, mendesak Komisi I DPR menghapus Pasal 74 dalam UU TNI. Hal ini berkaitan dengan proses hukum terhadap personel TNI. Dia mengatakan Pasal 74 itu telah menghambat reformasi peradilan militer untuk hukum yang adil dan setara.
Menurut dia, mekanisme peradilan militer tidak memenuhi kaidah-kaidah prinsip fair trial. “Tidak memenuhi prinsip peradilan adil dan baik. Revisi Undang-Undang TNI, kalau ingin mendorong reformasi peradilan militer, harusnya menghapus Pasal 74 UU TNI Nomor 34 Tahun 2004 tentang bab peralihan,” kata Al Araf saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi I DPR di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Selasa, 4 Maret 2025.
Al Araf mengatakan, sebetulnya peradilan yang adil sudah tertera pada Pasal 65 UU TNI. Pasal 65 ayat (2) menyebutkan prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang.
Namun Pasal 65 UU TNI, kata dia, tidak bisa diterapkan karena ada Pasal 74 pada bagian bab ketentuan peralihan. Pasal 74 ayat (1) menyebutkan Pasal 65 berlaku pada saat undang-undang tentang peradilan militer yang baru diberlakukan. Sedangkan Pasal 74 ayat (2) menyatakan, selama undang-undang peradilan yang baru belum dibentuk, prajurit TNI tetap tunduk pada ketentuan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Al Araf melihat dalam draf RUU TNI yang dihapus justru Pasal 65 dan bukan Pasal 74. Dia menyayangkan logika terbalik tersebut. Dia mengatakan RUU TNI seharusnya menghapus Pasal 74. “Kalau Pasal 74 dihapus, maka secara mutatis mutandis Pasal 65 berlaku. Maka seperti kasus kejadian bos rental (mobil) Tangerang bisa masuk di dalam peradilan umum. Pakai apa? Pasal 65,” kata dia.
Setara Institute: RUU TNI Penting untuk Cegah Munculnya Konflik TNI-Polri
Dalam rapat yang sama, Direktur Riset Setara Institute Ismail Hasani mengungkapkan RUU TNI penting untuk mencegah munculnya kasus-kasus konflik antara TNI dengan Polri. Dalam 10 tahun terakhir, dia mencatat ada sekitar 37 kasus ketegangan antara kedua institusi aparat negara tersebut di tingkat bawah.
Hasan menilai ketegangan itu muncul karena masalah sosiologis pragmatis yang dialami TNI. “Sebenarnya adalah soal argumen sosiologis pragmatis, ada ketimpangan kesejahteraan, ada ketimpangan peran, ada ketimpangan perlakuan, dan seterusnya, khususnya dalam 20 tahun terakhir,” kata dia, seperti dikutip dari Antara.
Menurut dia, dalam 20 tahun terakhir, TNI adalah entitas yang keberadaannya sudah tidak lagi dioptimalkan sebagaimana mestinya. Di era sebelumnya, TNI yang masih bernama Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) merupakan institusi militer yang juga memiliki kekuatan sosial dan politik.
Selain itu, kata dia, TNI merasa terpinggirkan sejak 20 tahun terakhir karena masih ada yang memandang tentara seperti di era-era awal Reformasi. Menurut dia, saat itu banyak kritik keras agar tentara kembali ke barak dan kewenangannya dibatasi sedemikian rupa. “Yang pada akhirnya dia berada dalam satu handicap yang ‘tidak berguna’, padahal menurut banyak kalangan dan pimpinan TNI banyak keahlian yang bisa dimanfaatkan oleh mereka,” ujar Hasan.
Meski demikian, dia meminta revisi UU TNI harus mempertegas jaminan demokrasi, khususnya dalam penataan hubungan antara sipil dan militer. “Pendasaran filosofis bahwa Tentara Nasional Indonesia bertugas melindungi dan seterusnya, ini betul, harus dipertahankan, tetapi juga mesti diimbangi dengan pendasaran filosofis,” tuturnya.
Hasan juga meminta Komisi I DPR mengkaji cost and benefit (biaya dan manfaat) perpanjangan usia pensiun tentara dalam RUU TNI. “Saya ingatkan penting untuk dikaji cost and benefit analysis. Penting juga dikaji transisi ketika batasan usia ini diadopsi,” kata Hasan.
Dia menuturkan usia 62 tahun pada TNI tidak bisa dikatakan sama dengan profesi lain. Guru besar, misalnya, yang bisa tetap mengajar karena tidak membutuhkan aktivitas fisik yang besar. “Jadi, sebagai sebuah kebijakan hukum terbuka, saya kira penting dipertimbangkan cost and benefit analysis, ketersediaan anggaran, sehingga tidak mengganggu politik anggaran negara,” ujarnya.
Komisi I DPR: RUU TNI Tak akan Kembalikan Orde Baru
Adapun Ketua Komisi I DPR Utut Adianto mengatakan RUU TNI tidak akan mengembalikan Indonesia ke era Orde Baru. Dia mengatakan semangat zaman saat ini sudah berbeda dengan masa lalu.
Untuk itu, Komisi I DPR pun mendengar aspirasi dari berbagai kalangan dalam penyusunan RUU TNI. “Zaman dulu tuh kamu lulusan mana, pemikiranmu apa, kepalamu saja udah diteropong satu per satu. Semangat zamannya udah nggak bisa," kata Utut usai memimpin rapat dengar pendapat soal RUU TNI di kompleks parlemen, Selasa.
Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan atau PDIP itu mengatakan Komisi I DPR akan menampung sejumlah pendapat dari berbagai elemen masyarakat mengenai RUU TNI. Sejauh ini, kata dia, pihaknya sudah mendengar masukan dari purnawirawan jenderal bintang dua TNI hingga masyarakat sipil yang mengkritik keras RUU TNI. “Tentu nggak bisa satu per satu ini saya jawab. Niatnya kan pasti baik, kalau ada ketakutan kembali ke Orde Baru, saya rasa kita nggak bisa memutar balik jarum jam,” ujarnya.
Dia menjelaskan RUU TNI akan memperbaiki peran institusi militer dengan konsep keadilan, dan perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI agar serupa seperti ASN. “Kalau pegawai negeri misalnya 60 tahun, kenapa teman-teman TNI tidak boleh. Tentu kita pikirkan jangan sampai juga memberatkan keuangan negara,” kata dia.
Revisi UU TNI Perlu Mengatur Piramida Promosi Jabatan
Sementara itu, pakar keamanan dan pertahanan Universitas Pertamina, Ian Montratama, mengatakan revisi UU TNI perlu mengatur piramida promosi jabatan. “Jika esensinya adalah masalah personnel planning (perencanaan personel), maka piramida promosi jabatan perlu dibangun,” kata Ian saat dihubungi dari Jakarta, Selasa.
Ian menyampaikan pernyataan tersebut ketika ditanya mengenai poin-poin yang perlu diubah dan diatur dalam UU TNI hasil revisi. Dia menjelaskan piramida promosi jabatan perlu diatur agar semakin tinggi kepangkatan, maka semakin sedikit prajuritnya. “Sehingga, jika personel senior sudah tidak memenuhi kualifikasi, maka dia harus dipensiunkan. Hanya yang berkualifikasi yang bisa lanjut promosi ke atas,” tuturnya.
Eka Yudha Saputra, Daniel Ahmad Fajri, dan Antara berkontribusi dalam penulisan artikel ini.
Pilihan editor: Poin-poin Penting SPMB 2025 yang Baru Diluncurkan Kemendikdasmen
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini