Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Ramai-Ramai Mengurus Kartini

Kartini mengaku diperkosa, padahal sebelumnya di pengadilan ia mengaku berzina. Pemerintah sibuk setelah kasus ini diramaikan media massa.

19 Maret 2000 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DINDING penjara itu tak dingin. Sebuah sel penjara di Kota Fujairah, Uni Emirat Arab. Tak ada bunyi derit pintu besi atau derak suara gembok-gembok besar yang dibuka oleh sipir penjara berwajah datar. Tak ada kesan penjara. Sesekali ada polisi perempuan yang hilir-mudik dengan seragam putih khaki. Tapi sikapnya ramah. Ruang besuk napi pun hampir mirip ruang keluarga. Pembesuk dan napi bebas berinteraksi karena tak dibatasi jeruji atau kaca tebal. Ruangan kunjungan lumayan besar, 16 meter persegi. Nyaman dengan kursi tamu yang lebih mirip sofa. Halaman penjara luas. Tak ada pagar tinggi atau kawat berduri seperti penjara-penjara di Tanah Air. Sepintas, bangunan itu lebih mirip gedung perkantoran biasa. Menurut Tati Krisnawaty, aktivis lembaga swadaya masyarakat Solidaritas Perempuan yang berkunjung ke sana pekan lalu, penjara itu lebih mirip hotel berbintang empat ketimbang tempat menyimpan tahanan. Tapi, senyaman apa pun, penjara tetap penjara. Di hotel prodeo itulah Kartini binti Karim, tenaga kerja Indonesia berusia 35 tahun itu, telah sembilan bulan mendekam karena tuduhan berzina. Pengadilan Syariah Islam di Fujairah memutuskan Kartini bersalah sehingga harus menjalani hukuman rajam (dilempari batu sampai mati). Kasus Kartini memang membuat banyak kalangan di Indonesia kalang-kabut. Pemerintah pekan lalu mengirim Tim Dukungan untuk Pembelaan Kartini—yang terdiri atas Direktur Jenderal Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja Dien Syamsuddin, Sumarti W. Djatniko dari Korps Wanita Indonesia (Kowani), dan Tati Krisnawaty—ke sana. Seperti menebus rasa bersalah, kedatangan tim ini adalah untuk memberikan dukungan moral dan menyusun tim pembela Kartini pada pengadilan banding. Soalnya, dalam persidangan sebelumnya, Kartini praktis tanpa penerjemah, apalagi pembela. Kedutaan Besar Republik Indonesia di Abu Dhabi sendiri baru mengetahui kasus ini setelah diramaikan media massa di sini. Dalam persidangan tingkat pertama itulah Kartini—perempuan asal Dusun Rawakepu, Desa Sidangmukti, Karawang, Jawa Barat—mengaku berzina dengan Muhamad Sulaiman Frangoan, seorang warga India yang bekerja pada majikan yang sama. Dalam sistem hukum Emirat, seseorang yang telah bersuami atau beristri jika kedapatan berzina akan diganjar rajam, sedangkan bila belum beristri/suami, hukumannya bisa lebih ringan. Dan malang bagi Kartini: ia telah melahirkan anak haramnya tersebut 13 Januari lalu. Tapi pengakuan ini belakangan dibantah Kartini. Kepada Tati, ia mengaku digauli secara paksa alias diperkosa. Kelakuan zalim itu, menurut dia, dilakukan Sulaiman di dapur yang tempatnya terpisah dari rumah inti. Pengakuannya berzina kepada polisi, jaksa, dan pengadilan disebabkan oleh pengetahuan bahasa Arabnya yang terbatas. "Selain itu, karena ia putus asa dan keliru menerapkan bahasa tubuh. Dalam menjawab pertanyaan, sering kali dia menggelengkan kepala, yang artinya tidak. Ternyata di sana menggeleng artinya ya," kata Tati. Untuk menghindari kesalahpahaman seperti itulah pemerintah akan memasang pembela dan penerjemah dalam pengadilan tingkat kedua kelak. KBRI saat ini sudah menunjuk kantor pengacara As-Shams and Partners sebagai pengganti pengacara sebelumnya yang ditunjuk pemerintah Uni Emirat Arab. Selain itu, upaya diplomasi juga akan ditempuh. Jika serius, upaya ini mestinya bisa mendatangkan hasil yang baik. Tapi, tim Departemen Tenaga Kerja dalam prakteknya ternyata tidak cukup percaya diri. Dirjen Dien Syamsuddin, misalnya, pada awalnya berupaya menyelamatkan Kartini dengan menyulap status ibu dua orang anak itu—bukannya membuktikan kasus pemerkosaan. Dengan status bersuami, rajam terhadap perempuan bertubuh subur itu memang tak terhindari. Untuk itulah Dien meminta suami Kartini, Warsin, agar mengaku bukan lagi suaminya, dan status Kartini yang sebenarnya adalah janda. Tujuannya agar hukuman menjadi lebih ringan. "Saya kaget dengan permintaan itu," kata Warsin. "Padahal, saya kan suaminya, yang ikut melampirkan keterangan (bersuami) ketika Kartini berangkat." Tapi buruh tani berusia 49 tahun itu toh mau saja meneken surat yang disodorkan Dien tentang keterangan status itu. Dien Syamsuddin membantah telah menyodorkan surat keterangan status janda tersebut. Menurut dia, data awal yang diterimanya dari KBRI memang menyebutkan Kartini bersatus janda. Ia sendiri mengaku kaget ketika staf Depnaker yang menjemput keluarga Kartini ternyata membawa suami dan anak Kartini. "Karena itu, saya bilang, tolong, pintar-pintarlah bersikap demi menyelamatkan Kartini," katanya. Dien berpesan agar Warsin menghindari bicara kepada wartawan agar fakta bahwa Kartini bukanlah janda tidak meluas. Lepas dari itu, Warsin telanjur menganggap Depnaker tidak serius menangani kasus ini. Dia menerima tawaran Serikat Buruh Sejahtera Indonesia (SBSI) pimpinan Muchtar Pakpahan untuk membela Kartini. "Saya sungguh senang karena perjuangan SBSI berbeda dengan cara Depnaker, yang enggak ada kelanjutannya," kata Warsin. SBSI kemudian menyusun tim. Salah seorang aktivisnya, Nelson Nadeak, bersama pengacara dari Threaad's Associates, Desmond J. Mahesa, dipasang untuk mendampingi Warsin. Mereka berencana berangkat ke Uni Emirat Arab. Tapi, sampai akhir pekan lalu, mereka belum berhasil memperoleh visa masuk ke negara kaya minyak itu. Sementara belum terbang, SBSI menampung Warsin dan anaknya. Di ruang belakang kantor SBSI di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, yang biasa dipakai sebagai ruang salat itulah keduanya sehari-hari tergeletak. Lusuh dengan pakaian seadanya. Yang menarik, menurut Desmond J. Mahesa, ia punya jurus sendiri untuk bisa membebaskan Kartini. Menurut dia, ia akan memanfaatkan bekas Komandan Jenderal Kopassus, Prabowo Subianto--orang yang pernah dituduh terlibat dalam penculikan dirinya beberapa tahun lalu—sebagai jembatan. Prabowo akan diminta untuk membujuk petinggi Uni Emirat Arab agar bisa mengampuni Kartini. Menurut Desmond, Prabowo sudah setuju. Terlepas dari berhasil atau tidaknya jurus Desmond ini, kasus Kartini akhirnya melahirkan dua tim: Depanaker dan KBRI di satu pihak dan SBSI di pihak lain, sebuah kerepotan yang mestinya bisa terhindari jika kasus Kartini ini bisa diketahui dan ditindaklanjuti sejak dini. Sistem informasi akurat lagi cepat serta perhatian yang memadai memang merupakan dua hal yang sering lalai dilakukan pemerintah menyangkut nasib tenaga kerja Indonesia di luar negeri. Khususnya bagi mereka yang bekerja baik dan menjadi korban tindakan kriminal seperti pemerkosaan serta perlakuan buruk majikan. Bahkan, bagi mereka yang disangka melakukan tindakan kriminal juga diperlukan pembelaan hukum, misalnya Sumiyem, yang dituduh meminumkan air raksa ke balita keluarga majikannya di Singapura, atau Mariana, yang menghadapi ancaman hukuman mati karena dituduh membunuh anggota keluarga majikannya di Malaysia. Sektor tenaga kerja adalah salah satu "industri" yang menyumbang pendapatan pemerintah. Dengan 450 ribu orang tenaga kerja yang dikirim ke luar negeri pada 1999, Indonesia mendapat US$ 3,2 miliar—sebuah lompatan besar dari tahun sebelumnya, yang hanya US$ 1,2 miliar. Sektor ini berada di urutan ketiga penghasil devisa setelah tekstil dan kayu. Dengan kata lain, kepedulian pemerintah terhadap nasib tenaga kerja kita memang sedang diuji. Kartini hanya salah satu kasus. Arif Zulkifli, Dwi Arjanto, Hani Pudjiarti

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus